POV Kelvin
“Hai..., Kelvin?” seru sebuah Suara pada saat gue selesai membayar ongkos taksi konvensional yang gue tumpangi ke tempat kumpulnya Bramantyo sama Teman-temannya, dan turun dari taksi itu. Suaranya terdengar antusias dan ceria.
Suara Cewek. Dan sepertinya itu bukanlah suara yang asing buat telinga gue.
Gue menoleh ke asal suara dan langsung mendapati Siapa yang meneriaki gue.
Gue mesem kecil, melambaikan tangan dan menyapa dia, “Hello Nick!”
Dalam hati gue kepengen bilang, “Lha, tahu begitu tadi kita bisa berangkat sama-sama dong kalau kamu juga kemari. Dengan penampilan kamu yang seperti sekarang, tentunya kamu bukan berangkat dari stasiun radio atau tempat sulih suara dong. Tapi bisa jadi Bram jemput kamu, ya? Masa sih? Se’rapi’ itu Si Bram? Nggak ada menyinggung sedikit saja kalau dia jemput kamu. Malahan juga nggak bilang dia ajak kamu juga. Hm...”
Eh tapi ngomong-ngomong soal pekerjaannya dia yang dobel itu, kok Si Nicky masih sempat kemari, ya? Tapi pemikiran lain segera hinggap di kepala gue. Yach, namanya Orang yang sedang saling pendekatan, pastinya ya disempat-sempatkan dong? Pekerjaan Si Nicky ini salahs atunya kan pekerjaan paruh waktu, sementara yang satunya pekerjaan magang doang.
Nggak terhindarkan pemikiran ini hinggap di benak gue.
Yang gue sapa tersenyum riang.
“Vin, kamu ikut juga? Kamu diajak sama Bram, ya?” sapa Nicky saat akhirnya gue mendekat dan kami saling bertatapan. Wajah Cewek bertubuh mungil yang berambut pendek dan dalam beberapa kali kesempatan aku lihat saat berada di alam bebas begini sepertinya senang mengenakan topi dengan arah terbalik, yakni menghadap ke belakang, serta berkacamata hitam itu, terlihat demikian cerah. Tak ubahnya Seseorang yang baru mendapatkan hadiah kejutan senilai jutaan dolar saja. Penampilan Nicky ini memang memberikan kesan lebih muda sampai 6 – 7 tahun di bawah usianya yang sebenarnya. Hm, dengan begitu dia jadi terlihat macam Anak Remaja saja. Pas banget lah buat Bramantyo.
Memang sih, sempat terpikir sama gue, wajah imut Nicky ini dan gayanya yang tampak easy going ini kadang bertentangan dengan sikap dewasanya.
Huft, gue jadi ingat saat dia menghibur gue, sewaktu gue yang begitu emosional karena terkenang peristiwa nahas yang menimpa Kezia, sampai lepas kendali. Nangis di depan dia.
Beda banget kesan yang itu dengan yang sekarang.
Oh, oke. Jatuh cinta bisa membuat Siapa pun juga mempunyai lebih dari seribu wajah dan seribu penampilan, kan?
Gue langsung menatap penuh arti kepada Bramantyo, berniat sedikit ‘meminta konfirmasi’ apakah dia dan Nicky ternyata telah berkomunikasi secara intens dan sedikit menggoda. Sedikit lho ya, namanya juga dia itu kan Sohib gue. Lagi pula, soal ini kan juga Rheinatta nggak tahu. Kalau tahu, bisa habis Si Bramantyo diolok sama dia.
Anehnya, dia seperti nggak peduli apa maksud gue. Seperti pura-pura begitu. Tapi gue sebagai Sahabat kental dia salut bangeet, pura-puranya Si Bramantyo ini sungguh natural.
Ya sudah jelas gue kepengen cari tahu, apakah dia mengajak Nicky? Dan eh, lebih dari itu, mereka sudah jadian, jangan-jangan? Gue rasa itu juga mungkin. Siapa tahu dia juga punya prinsip seperti Kendra, malas ‘melibatkan’ gue karena takut ada intervensi dari Rheinatta, dan lebih memilih ‘berbagi cerita’ sama Kendra?
Kalau itu betul, ya memang dia berhak sih.
“Vin, elo diajak sama Bram?” tanya Nicky lagi, karena gue belum menjawab pertanyaan dia.
“Iya,” sahut gue.
Gue yang sengaja datang kemari setelah menyempatkan pulang ke tempat kost dulu, bukannya sama-sama dengan Bramantyo yang langsung mengarah kemari seusai latihan di kampus tadi, mendadak mengenali Salah Satu ‘Teman Bramantyo. Dialah Shendy!
Wow! Dunia sempit, ya. Lihat tuh! Lingkaran pertemanan gue, Bramantyo, sama Shendy, ternyata punya irisan satu sama lain. Kalian yang nggak tahu irisan, silakan di googling deh. Atau, tanya sama yang pintar Matematika.
“Hei Vin, elo nggak bawa motor?” sapa Shendy yang kemudian memperkenalkan gue ke sejumlah Orang yang ada di situ.
Pakai tanya segala sih, kan tadi dia lihat gue datang pakai taksi!
“Enggak, kan kata Bram, nanti dia boncengin gue. Gue beluma da motor soalnya,” kata gue.
Shendy mengernyitkan kening.
Dia langsung menggoyang-goyangkan telapak tangannya. Sepertinya dia nggak setuju.
“Enggak. Enggak. Elo sama gue deh, mendingan. Bramantyo biar boncengin Si Nicky,” kata Shendy.
“Boleh juga sih,” sahut gue santai.
Nicky tersenyum lebar mendapatkan ‘kesepakatan’ itu.
Sementara Bramantyo, tampak agak rikuh.
Dia menatap Nicky sesaat dan berusaha tersenyum.
Gue tahu banget senyumnya itu sangat tanggung. Tapi apakah Nicky cukup peka atau nggak, gue nggak tahu pasti.
Tapi sepertinya Nicky ini terlalu ‘positive thinking’. Dia membalas senyum Bramantyo dengan wajah yang masih semringah.
Wow. Gue langsung seperti mendapat wangsit.
Wah, jelas banget ini. Pasti Shendy yang kebetulan kenal sama Teman-teman Bram, yang ajak Nicky kemari. Tapi Bram ini kenapa kok begini? Sambutannya kok biasa-biasa saja, terkesan canggung malahan?
“Jadi kita nunggu Siapa lagi?” tanya Putra, teman Bramantyo yang sepertinya ‘paling disegani’ di sini.
“Gue sih nggak ngundang Siapa-siapa,” kata Shendy.
Hm. sekarang gue jadi bisa menghubung-hubungkan. Ini pastinya Shendy berteman sama Putra, dan Putra yang bilang mau motoran terus menyebutkan Siapa saja yang dia bakal ikut. Terus Shendy terkaget karena tahu Putra juga kenal Bramantyo. Dan setelah memastikan yang dimaksud adalah Bramantyo yang ditaksir sama Nicky, ya dia mengajak Nicky. Gue rasa seperti itu kejadiannya.
“Nggak ada, Put,” kata Bramantyo.
“Oh, kalau begitu kita siapsiap berangkat deh. Kita nggak usah ke Bandung, ya. Kita ke Cianjur dan asyik-asyikkan bakar-bakar jagung deh di sana. Kebetulan rumah Orang tua gue kan banyak banget kamar kosongnya. Pekarangannya juga lumayan. Pas Orang tua gue juga lagi nggak di sana. Nah, gue sudah bilang kok ke Penjaga rumah untuk beli ini itu,” kata Putra.
“Oke. Nanti kita patungan ganti ya.”
Kalimat ini terlontar dari mulut Bramantyo.
Putra langsung mengibaskan tangannya.
“Nggak usah. Anggap gue mengundang kalian kali ini. Nanti lain kali kita motoran ke Bandung atau ke mana yang lebih jauh. Nah, boleh deh ke depannya itu kita patungan,” kata Putra.
“Terserah deh.”
Kami segera bersiap-siap.
Shendy memberi isyarat supaya gue mengikuti dia.
Gue mengerling saat melihat Nicky menerima helm yang diangsurkan oleh Bramantyo.
Gue nggak bisa mencegah keinginan gue untuk menerka-nerka walau nggak terkatakan sama mulut gue, apa benar mereka berdua lagi saling pedekate? Dan kenapa, kok rasanya ada yang beda ya? Gue juga nggak paham. Seperti gue rada nggak rela Nicky diboncengin sama Bramantyo.
Eh, ngelantur banget ya, gue?
Apa sih! Malah bagus dong kalau mereka berdua jadian sungguhan nantinya? Kan, Bramantyo nggak akan diledekin Jomblo lagi sama Si Rheinatta. Dan Rheinatta yang semakin kehabisan bahan buat celetukan Orang, tentunya bakal semakin tertib, iya kan? Pikir gue.
*
Kami konvoi dari tempat ngumpul menuju ke arah Puncak.
Putra berada paling depan.
Sepeda motor ang dikendarai sama Bramantyo dan sepeda motor yang dikendarai sama Shendy, kadang-kadang bersisian. Itu membuat gue memergoki betapa bdan Nicky sudah seperti tas ransel, yang ‘nemplok’ di punggung Bramantyo. Gue jadi senyum-senyum sendiri.
“Bagusnya kita duluan mereka berdua, Shen. Biar kita nggak perlu melihat mereka berdua rikuh,” teriak gue.
“Sip! Gue sepemikiran sama elo.”
Shendy langsung mengambil tindakan nyata, mempercepat laju sepeda motornya.
Teman-teman yang lain, tanpa dikomando juga menempatkan diri di depan sepeda motor Bramantyo, dan menempatkan Bramantyo di barisan paling belakang. Siapa juga yang berminat ‘nontonin’ Orang yang lagi pedekate, kan?
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $