POV Rheinatta
Suasana di dalam GOR yang aku yakin sudah dibekali dengan pendingin udara dengan daya yang cukup itu bagai tak terasa ‘kesejukan’nya.
Entahkah karena Penonton di partai final ini cukup banyak, dan merelakan waktu Malam Minggu mereka dengan Pacar mereka untuk duduk menonton pertandingan, ataukah karena Pendukung kedua kubu yang berseberangan di partai final ini, yaitu perwakilan dari Dojang Bumi Satu Mandiri dengan perwakilan dari Dojang Satu Griya Elok Sejahtera, yang keduanya disponsori oleh dua perusahaan besar, sama-sama bersemangat mendukung Dojang masing-masing.
Yang aku tahu, Michael dan Kawan-kawannya mewakili Dojang Bumi Satu Mandiri.
Di nomor beregu, Dojang Bumi Satu Mandiri sudah dikalahkan oleh Dojang Aruna Media walau Michael sendiri sudah menyumbang angka kemenangan sehingga mempertipis angka kekalahan timnya. Dojang Bumi Satu Mandiri harus puas dengan hanya menduduki tempat ketiga.
Dan sekarang, Michael akan turun di nomor perorangan.
Aku rasa Michael tahu bahwa aku hadir di GOR yang menurut Bang Rusli termasuk baru ini, meski tidak mungkin baginya untuk membalas pesanku selagi mempersiapkan diri untuk menampilkan yang terbaikd alam pertandingan yang sebentar lagi akan dimulai. Aku yakin dia pasti telah menonaktifkan perangkat telepon genggamnya semenjak siang, malahan mungkin sejak pagi, supaya tidak mengganggu konsentrasinya.
Bang Rusli menyenggol lenganku ketika Michael memasuki arena pertandingan.
“Biarpun dia ini Junior elo, entah kenapa kesan pertama gue ke dia lebih baik dari pada kesan pertama gue ke Kelvin, deh. Tambahan lagi, kemarin elo cerita kalau sekarang begitu gampang kles dan merasa ‘ada yang aneh’ sama hubungan kalian,” bisiknya.
Aku mengerling sebagai isyarat bahwa aku tak berminat untuk membahas hal itu.
Dia manggut-manggut kecil dan mengangkat bahu.
“Yang penting nantinya elo itu mendapatkan yang terbaik deh. Asalkan...”
“Apa sih Bang?” aku jadi terusik dan menuntut penjelasannya.
Bang Rusli menunjuk ke areana pertandingan, memintaku memusatkan perhatian ke sana. Beberapa Pendukung Dojang Bumi Satu Mandiri meneriakkan nama Michael.
“Ikut teriak dong, biar Michael makin semangat,” bisik Bang Rusli.
“Yang ada ganggu konsentrasi,” tepisku.
Aku melihat Michael dan Sang Lawan saling membungkukkan tubuh, memberi hormat. Sang Referee (Wasit) memberikan aba-aba dengan tangannya.
Lawan Michael sangat agresif, tahu-tahu dia melancarkan sebuah pukulan ke arah ulu hati Michael. Tanpa aku minta, Bang Rusli yang tahu sedikit mengenai olahraga Tae Kwon Do membisiki aku, “Itu namanya Momtong Jireugi. Dan tangkisan yang dilakukan sama Michael itu namanya Momtong Bakat Makki.”
Ya. Aku melihat Michael sangat sigap dan menangkis serangan yang dilakukan lawannya itu. Lantas dengan lincah dia melompat ke belakang dan melakukan sebuah tendangan keras.
Lagi-lagi Bang Rusli berbisik, “Tendangan Michael itu namanya Mal Badat chagi.”
Aku yang tak terlalu tahu dan tak terlalu tertarik dengan nama-namanya pukulan, tendangan, tangkisan ataupun sabetan yang dilakukan oleh Kedua Orang yang saling berhadapan itu, hanya berharap bahwa serangan dari Lawan Michael bisa selalu ditangkis dengan baik oleh Michael, dan pada saat yang bersamaan aku juga berharap serangan-serangan Michael bisa mendapatkan angka.
Aku hanya tahu, pertandingan yang hanya berlangsung dalam tiga ronde itu berlangsung dengan sangat ketat dan seru. Di dua menit pertama, Lawan dari Michael tampak begitu garang dan terus berusaha merangsek, untuk meruntuhkan pertahanan Michael.
Aneh. Aku deg degan parah.
Aku takut Michael terluka. Aku takut dia cedera.
Namun saat jeda antara ronde pertama dengan ronde kedua, Bang Rusli memberikan komentarnya tanpa aku minta.
“Pertahanan Michael lumayan bagus, Rhein. Tapi Lawannya ini super agresif. Dia benar-benar mau segera mendapatkan angka. Jadi Michael juga hanya mendapatkan sedikit peluang untuk menyerang balik. Semoga di ronde selanjutnya Michael bisa mengembangkan permainan setelah membaca kekuatan dan kelemahan Lawannya.”
Aku manggut saja.
Sudah jelas aku di Pihak Michael dong? Tidak mungkin di Pihak Lawannya!
Saat jeda tersebut, secara tak sengaja tatap mataku dan tatap mata Michael bersirobok. Aku tidak berani melambai. Tetapi aku sungguh-sungguh berdoa dalam hati dan mengirimkan energi baik kepadanya di dalam diam.
Jujur saja, aku tergoda untuk membayangkan bahwa yang tengah bertanding di sana adalah Kelvin-ku tersayang. Ya, dia tetap yang tersayang, biarpun aku sedang agak mangkel sama dia. Lihat saja, malam Minggu begini, nggak ada inisiatif untuk menghubungi aku atau bagaimana. Masa iya menghabiskan waktu sama Bramantyo dan Teman-temannya seasyik itu buat dia, sampai mengabaikan aku segala? Ah, sudahlah! Mendingan aku memerhatikan Michael saja sekarang. Aku kan ada di sini sekarang untuk mendukung dia.
Ronde kedua berjalan dengan lebih seru.
Michael seperti menggila.
Aku nggak mau gede rasa dan berpikir bahwa itu gara-gara dia sempat bertatapan secara nggak sengaja sama aku sekian detik tadi, ya.
Yang jelas, Pendukungnya berteriak memberi semangat. Bahkan Lawan Michael juga jatuh. Hanya saja, setelah itu Sang Lawan kembali bangkit berdiri dan melanjutkan pertandingan. Dia tak mau menyerah dan berbalik menyerang.
Maka akhirnya ronde ketiga digulirkan.
Michael terlihat sangat mendominasi.
Kalau pinjam istilah Bang Rusli, dia benar-benar di atas angin. Lawannya jatuh sampai dua kali.
“Wah, ini kalau sekadar menang angka sudah pasti. Tapi nggak tahu nih dia bisa menang Knock Out nggak ya,” gumam Bang Rusli yang memperlihatkan tampang serius.
Baru saja Bang Rusli mengucapkan hal itu, di lapangan sana aku melihat Lawan Michael jatuh terkapar akibat tendangan memutar yang dilakukan oleh Michael. Dan Sang Lawan tiada kunjung bangkit sampai Sang Referee usai menghitung batas waktunya.
Maka akhirnya Sang Referee mengangkat tangan Michael, menyatakan kemenangan Michael.
Spontan aku berdiri dan berteriak, “Kamu hebat, Michael!”
Bang Rusli menarik tanganku.
Aku baru tersadar, para Pendukung Dojang Bumi Satu Mandiri ikut-ikutan menatap ke arahku. Barangkali mereka bertanya-tanya dalam hati, Siapa pula Cewek ini, tadi diam saja kok sekarang begitu heboh? Tapi aku tak peduli. Menurutku, Michael patut diapresiasi.
Aku tidak dapat langsung bertemu dengan Michael.
Yang aku tahu, seusai pertandingan, pasti dilakukan serangkaian tes, termasuk tes doping dan juga ada penyerahan hadiah. Setelah itu, aku pastikan bahwa Michael akan bergabung dengan Teman satu Dojang-nya. Setelah itu bisa jadi akan dilakukan konferensi press. Bahkan aku rasa, Keluarga dan Teman dekatnya belum tentu bisa segera bertemu.
Tapi herannya, aku sangat ingin bertemu dan mengucapkan selamat secara langsung kepadanya. Aku ingin menyentuh medali yang dia menangkan barusan. Aku ingin berfoto berdua dengannya, meski hanya untuk koleksi aku sendiri, bukan untuk aku pamerkan di profil picture atau bahkan di akun media sosial milikku. Huh, aku nggak kepengen cari ribut sama Kelvin, ya! Walau ya, saat ini perasaanku bergelombang, dan selintas terpikir bahwa hubunganu sama Kelvin kok jadi nggak menentu begini. Pemikiran yang segera aku halau jauh-jauh dengan menghibur diri sendiri di dalam diam. Ya, anggap saja kami berdua lagi sama-sama butuh ruang pribadi yang selama bertahun-tahun ini mungkin terampas karena lebih sering berduaan melakukan kegiatan ini dan itu. Ya sudahlah ya.
Aku rela menunggu Michael.
Dan Bang Rusli juga tidak keberatan mendampingi aku.
“Gue beliin elo minum lagi, ya. Michael kayaknya masih agak lama deh itu,” kata Bang Rusli.
“Boleh, Bang.”
Bang Rusli beranjak meninggalkanku.
Aku mengecek telepon genggamku, mencari tahu adakah panggilan tak terjawab atau sekadar pesan teks dari Kelvin. Sayangnya, nihil.
Aku menggeleng-gelengkan kepala.
Aku bersandar pada dinding di belakangku.
Saat itulah, sebuah notifikasi masuk ke dalam perangkat telepon genggamku.
Aku membelalakkan mataku.
Michael! Sang Bintang yang sedang dikelilingi banyak Orang itu.
Luar biasa. Dalam keadaan seperti ini dia bisa menyempatkan diri untuk mengirimkan sebuah pesan teks ke aku?
Aku segera membaca pesan yang masuk itu.
From : Michael
Hai Rhein, terima kasih banyak atas dukungan kamu ya. Kamu di sebelah mana? Bisa ke samping GOR sekitar sepuluh menit lagi? Nanti aku sempatkan buat menyelinap sebentar sebelum kembali melayani wawancara. Aku tadi juga sudah sempat saling melambaikan tangan sama Om aku yang juga datang kemari.
Aneh. Ada rasa senang yang berlebihan menyapaku.
Tanpa pikir panjang aku membalas pesan teks Michael. Aku menyanggupi usulannya.
Lantas aku menghubungi Bang Rusli.
Dia segera menjawab panggilan telepon dariku.
“Sebentar Rhein, gue lagi jalan ke situ. Ini tadi gue minta yang dingin, jadi dia cari-cari di cooling box dia. Elo kan sukanya yang dingin. Gue beliin elo roti juga, buat sekadar ganjal perut. Takut elo kelaparan.”
“Eng, Bang, Michael ngajak gue ketemu di samping GOR.”
“Lho, dia bisa melepaskan diri sebentar dari keriuhan di sekitar dia?”
“Kata dia sih begitu.”
“Kalau begitu cepetan elo temui dia. Waktu dia pasti singkat itu. Dia pasti curi-curi waktu. Nanti gue susul elo.”
“Oke, Bang. Thanks ya.”
“Yui.”
Aku segera menuju titik yang ditunjukkan oleh Michael lewat pesan teks lanjutan yang aku terima kemudian. Sepertinya Michael sangat mengenal situasi bangunan GOR ini. Ya, wajar saja, sudah beberapa hatri dia bertanding di sini soalnya.
Aku sampai terlebih dahulu dan celingukan, mencari-cari Michael.
Situasi di samping GOR ini relatif sepi.
Tidak ada Orang lain di dekatku.
Lalu aku mendengar suara Michael. Begitu dekat. Dan aku nggak sempat tahu dia muncul dari mana. Ya ampun, aku ini melamun atau Michael ini selain piawai dengan Olahraga bela diri, juga diam-diam sempat menuntut ilmu ‘menghilangkan diri’ sih? Masa aku nggak mendengar langkah kakinya?
“Rhein...”
Aku menoleh ke belakang.
Dan hatiku bergetar hebat.
Ya ampun! Aura Michael bersinar sekali!
Dia nggak terkesan seperti Adik kelasku, Junior-ku.
Dia lebih mirip seperti.... Seseorang yang semestinya menjagaku.
Ups...! Bukan begitu, maksudku... ah, sudahlah!
Aku mengulurkan tanganku.
“Selamat ya Michael. Kamu hebat sekali tadi.”
Michael membetot tanganku, dan menghelaku ke dalam pelukannya. Herannya, aku pasrah.
“Kemenangan ini selain untuk Dojang Bumi Satu Mandiri, Kedua Orang tuaku yang nggak bisa datang karena sedang berada di Perth sekarang, Kakakku yang sedang kuliah di Singapura, juga buat..., kamu. Terima kasih ya. Kamu bikin aku makin bersemangat,” bisik Michael di telingaku.
Aku tak dapat mengatakan apa-apa kecuali mengangguk saja.
“Ehm. Ehem...”
Suara deheman yang berada tak jauh dari kami, membuat kami serempak menoleh.
Ada Seorang Pria paruh baya berdiri di sana. Dan beberapa langkah di belakang Pria paruh baya itu, ada Bang Rusli yang tampk sedang melangkah mendekati kami.
Sontak aku melepaskan pelukan Michael.
Gila ya aku ini! Bagaimana coba, kalau Kelvin sampai tahu aku dipeluk Cowok lain? Sudah begitu, aku nggak ada usaha untuk menghindar dan mengurai pelukannya? Malah seakan menikmatinya?
Hon, sorry. Enggak ada maksud begitu. Tadi itu spontan saja. Luapan kegembiraan dan kebanggaan. Aku rasa, Michael juga begitu, bisikku dalam hati.
Bang Rusli pasti melihat kami berdua berpelukan. Buktinya dia mengerutkan kening, meski setelah itu menyeringai.
Aku berpura-pura tak melihat. Aku berlagak tidak pernah terjadi apa-apa.
“Om Haris,” sapa Michael.
Tidak ada rasa rikuh di wajahnya karena terpergok tengah berpelukan denganku.
Nah, kan! Itu artinya memang dia jua spontan saja melakukannya.
Saat itu dia juga meihat Bang Rusli.
“Om, ini Rheinatta, Teman kuliah. Dan ini..., Bang Rusli, Kakaknya. Bang Rusli, Rheina, ini Om aku, Adiknya Papa. Om Haris, namanya,” ucap Michael dengan percaya diri.
Kami saling berkenalan.
Om Haris dan Bang Rusli mengucapkan selamat atas kemenangan yang diraih oleh Michael dan Michael mengucapkan terima kasih.
Lantas Michael memberi isyarat bahwa dia harus segera kembali bergabung dengan Teman-temannya. Namun dia berkata ingin berfoto denganku, dengan medali yang masih terkalung di lehernya. Waaah..., sesuai benar dengan apa yang aku inginkan juga.
Bang Rusli segera menawarkan diri untuk menjadi Fotografer dadakan.
Hanya beberapa kali jepretan, Michael mengucapkan terima kasih dan memberi isyarat harus meninggalkan kami.
Aku mengangguk.
Tapi sebelum pergi, dia sempat berbisik di telingaku, “Tenang saja. Aku nggak akan memamerkan foto kita ke Siapa-siapa. Biar dia ada di telepon genggam aku. Buat aku saja.”
Nah, ini juga sama dengan keinginanku, kan? Anggap saja aku ini Penggemar Seorang Atlet tae Kwon Do bernama Michael, iya toh.
Tapi ucapan lirihnya kemudian kupastikan membuat pipiku memerah.
Tahu dia bilang apa?
“Supaya bisa aku tatap setiap malam sebelum tidur. Dan juga setiap kali aku mau bertanding.”
OMG! Ada badai yang melanda hatiku. Bahkan tsunami!
Aku harus bagaimana?
Aku hanya mampu terbengong menatap kepergiannya yang terburu-buru itu.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $