Siapa Yang Main Hati? (5)

1669 Kata
POV Kelvin Akibatnya benar-benar luar biasa. Sebagian beban gue seolah terlepas karenanya. Sedikit rasa yang gue penjarakan sekian lama, gue jaga begitu ketat supaya nggak meloncat keluar, sekarang gue bebaskan. “Nggak apa Vin. Nggak ada yang salah dengan menangis, kok,” kata Nicky lembut. Dan tepat seusai dia mengatkan itu, gue tersadar, nggak seharusnya gue begini. “Sorry, aku emosional banget. Gara-gara aku, Kezia jadi kehilangan keceriaan masa remaja dia. Kezia jadi..., cacat. Harusnya aku saja yang mengalami apa yang dia alami.” Kezia menggenggam tangan gue. “Jangan bilang begitu. Itu kan kecelakaan, Vin. Bukan salah kamu. Dan kamu tahu sendiri, Kezia nggak selemah itu. Sejujurnya, mungkin dia malah mencemaskan Kakaknya ini.” Iya. Kezia itu kuat. Kezia itu selalu memikirkan yang lainnya dulu, baru dirinya. Dan Kakaknya ini sungguh pengecut, malahan nggak bisa menerima kondisi fisik Adiknya yang sudah berubah. Nggak tega menyaksikan Adiknya yang menangis histeris dan sempat terpuruk begitu tahu sebelah kakinya terancam diamputasi. Nggak punya nyali untuk mendampingi dia supaya ‘benar-benar pulih’ baik secara fisik maupun mental. Kakaknya ini memang semenyedihkan itu, selemah itu. Kakaknya ini sampai seeprti Orang gila yang menangis tersedu-sedu di taman rumah sakit, meratap dan meminta pada Tuhan supaya menukar saja kakinya dengan kaki Adiknya, supaya kaki Adiknya tetap utuh. Supaya Adiknya itu bisa tetap berlari. Ya, dia itu selalu juara satu kalau ada pertandingan olah raga lari jarak pendek di sekolahnya. Oh, enggak, bukan hanya sekolahnya. Tapi juga antar sekolah. Lalu ke depannya nanti, setelah dia mengalami kecelakaan, bagaimana bisa dia berlari bak kijang lagi? Dan itu gara-gara Kakaknya! Kakaknya yang bodoh ini! Gue sibuk memaki diri gue sendiri di dalam diam. “Vin..., sudah cukup, ya. Jangan terus-terusan menyalahkan diri kamu.” Gue merasakan kehangatan mengalir lewat genggaman tangannya. Gue merasa sedang bermain api jadinya. Tapi herannya, nggak ada niat sama sekali untuk melepaskan genggaman tangan Nicky. Tapi Nicky santai saja tuh. Dia malah bilang, “Vin, aku tahu pasti, berat buat kamu memendam semua penyesalan itu. Kamu sudah sekianlama menghukum diri kamu. Mama kamu saja nggak tega dan selalu khawatir. Jujur, kalau aku di posisi kamu, harus meninggalkan sesuatu yang pernah menjadi bagian penting dari hidup aku, jangan-jangan aku gila.” “Sebetulnya aku lebih rela aku yang gila, dari pada harus terima kenyataan bahwa Kezia sekarang berbeda,” kata gue pelan. Nicky menatap gue dengan sedih. Dengan luwes dia menempelkan jarinya di depan bibir gue. “Jangan ngomong apa-apa lagi. Kamu sudah terhukum. Mama kamu sudah cerita,” kata dia. Gue nggak menyahut. Gue nggak tertarik untuk bertanya apa saja yang sudah diceritakan sama Mama gue. Apakah mengamuk hebatnya Papa di salah satu sudut rumah sakit, lalu saat pulang ke rumah dia merusak semua alat band di garasi? Apakah tentang bagaimana Papa yang seperti gelap mata menghajar aku, menampar pipi aku, menendang perutku, menginjak kakiku sambil berkata, “Seharusnya kamu yang celaka! Seharusnya kaki kamu yang jadi cacat. Kalau perlu dua-duanya sekalian! Bukan permata hati Papa!” Dan gue memang nggak melawan sama sekali waktu itu. Gue nggak peduli darah yang mengalir di bibir gue, rasa mual di lambung gue, rasa sakit di kaki gue. Gue juga nggak peduli dengan Oang yang mulai bertetiak ketakutan karena melihat ada kekerasan yang terjadi di area rumah sakit. Dan kekerasan itu dilakukan Seorang Ayah kepada Anak kandungnya! Di muka umum, pula! Enggak, itu semua nggak gue pikirkan. Masa bodoh. Malah kalau saja dengan Papa gue hajar gue lebih lama bisa mengembalikan gue ke peristiwa yang terjadi beberapa jam sebelumnya, rasanya gue rela. Dan andai gue adalah seorang Jumper yang bisa melompat ke masa itu lalu ‘memperbaiki dan menghindarkan’ apa yang terjadi sama Adik gue, rasanya itu sudah gue lakukan. “Tunjukkan tanggung jawab kamu! Kamu harus jadi kakinya dia seumur hidup dia! Dan kalau sampai ada yang menghina dia, menatap dia dengan pandangan iba ke depannya nanti karena perubahan fisiknya, kamu harus menghukum dirimu sendiri. Setiap kali hal itu terjadi, kamu pukul sendiri pipi kamu sekeras mungkin. Lalu kalau sampai suatu saat nanti dia jatuh cinta pada Seorang Laki-laki dan Laki-laki itu menolaknya hanya lantaran keadaan fisiknya, kamu yang harus bertanggung jawab. Kamu yang harus tangani Laki-laki itu! Kamu ini bisa nggak sih, berguna sebagai Seorang Kakak? Atau memang hidupmu itu hanya menjadi beban buat Adikmu yang adalah Anak Perempuan?” maki Papa kala itu. Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut gue. Menurut gue, gue layak untuk dimaki, dihajar, bahkan kalau saja amarah Papa gue bisa mereda, gue akan persilakan papa gue untuk mematahkan kaki gue saat itu. Mama gue yang teriak histeris sewaktu memergoki gue dihajar dan dimaki. Mama gue yang langsung berkacak pinggang dan menantang tatapan Papa gue. “Papa pukul Mama saja. Jangan sentuh Kelvin lagi. Papa boleh pukul Mama sepuas Papa, sampai hilang semua kemarahan Papa. Sudah tahu semua itu kecelakaan, masih saja menyalahkan Kelvin,” bentak Mama kala itu. “Ma, sudah. Kelvin yang salah. Kelvin patut mendapatkan hukuman,” kata gue lirih. “Nah, dengar itu, Anak Kesayanganmu yang besar kepala itu bilang apa? Dia bersalah! Memang dia salah! Hidupnya sama sekali nggak berguna. Hanya membuat kesialan buat Adiknya saja,” serang Papa. “Tarik kata-kata Papa barusan! Jangan sekali-kali mengutuk Anak-anak kita sendiri. Yang Papa lakukan ini nggak akan merubah keadaan. Papa harus berbesar hati dan justru membantu Mama untuk menguatkan hatinya Kezia. Kezia butuh dukungan kita, Pa. Jangan melukai hati Kelvin. Ini juga bukan maunya Kelvin. Dia sudah terguncang sedari tadi. Semestinya Papa juga memerhatikan kondisi mental dia.” Saat itu Papa gue hanya berlalu. Gue tahu, Papa gue pasti sebetulnya sadar bahwa apa yang dia perbuat ke gue itu keliru. Dan Mama gue menangis memeluk gue sambil meminta tolong kepada Seroang Perawat yang kebetulan lewat untuk membawa gue ke ruang IGD. Gue ingat, saat itu gue memastikan gue baik-baik saja tapi Mama gue berkeras supaya gue diperiksa secara mendalam. Dan gue nggak mau menambah kepedihan hati Mama gue. Maka gue menuruti permintaannya. Mana mungkin gue tega membuat Mama gue makin pusing, setelah apa yang menimpa Adik gue? “Vin..., akhir bulan depan kemungkinan aku pulang. Kamu nggak mau ikut pulang sama aku? Kezia pasti kangen sekali. Dan Papa kamu..., aku yakin Papa kamu sudah berdamai dengan keadaan. Orang aku pernah ketemu pas Papa kamu, Mama kamu dan Kezia lagi makan di mal. Mereka kelihatannya ceria. Sayangnya keceriaan itu kurang lengkap. Nggak ada kamu sih.” “Syukurlah kalau begitu. Itu yang aku harapkan. Akan lebih baik kalau aku nggak terlalu dekat-dekat sama Adikku. Kasihan, aku ini jadi biang sial-nya dia. Kalau aku berjauhan begini, mereka jadi bisa melanjutkan hidup dengan lebih baik.” “Kamu ngaco deh. Nggak boleh ngomong begitu, Vin. Kamu harus belajar memaafkan diri kamu dan apa yang sudah terjadi. Ayo Vin, jangan biarkan semua berlarut-larut.” Gue mengibaskan tangan. “Memaafkan, Nick? Kejadiannya itu berlangsung tepat di depan mataku. Dan aku malahan nggak bisa berbuat apa-apa,” ucap gue dengan penuh sesal. Nicky mengelus punggung gue. Ya ampun, rasanya benar-benar nyaman! Gue seperti dikasih energi yang menguatkan gue. “Aku ngerti, semuanya itu butuh waktu. Makanya, kamu harus mulai dari sekarang, Vin. Coba deh, kamu afirmasi tiap malam. Kamu bilang bahwa semua yang terjadi itu di luar kendali kamu dan kamu memaafkan kekurangan kamu karena nggak kuasa untuk mencegahnya.” “Itu sama saja membenarkan diri.” “Enggak begitu, Vin.” Gue sudah malas berdebat. Yang ada malah gue terusik sama potongan peristiwa itu. Potongan peristiwa paling kelam yang pernah gue saksikan seumue hidup gue. Lebih seram, ketimbang adegan film horor dari segi mana pun. Semua yang segera mengintimidasi gue dengan dahsyatnya. Hari itu memang Cheerfull band mendapat kehormatan untuk menjadi Band pembuka dalam konser dari Band Extreme yang sedang naik daun. Tadi malam, Kezia sampai harus merengek kepada Papa untuk diijinkan menonton karena Papa tampak keberatan. Papa bilang, Penggemar Band Extreme itu banyak yang berkelakuan brutal. Tapi sperti biasa, Sang Putri Mahkota selalu menang kalau melawan Sang Baginda Raja. Kezia mendapatkan tempat duduk yang termasuk bagian depan. Orang gue juga masih bisa melihat dia kok saat gue beraksi di panggung. Gue masih bisa melihat senyumnya yang seakan sampai ke telinga. Penonton masih tertib dari awal lagu sampai pertengahan. Tapi nggak tahu penyebabnya apa, mendadak ada teriakan yang bersahutan dengan teriakan.Pendukung Band Extreme menuntut supaya Band kesayangan mereka segera dihadirkan. Pendukung Band Cheerfull merasa panas dan menyahut dengan santai tapi dirasakan menantang bagi Pendukung Band Extreme, “Sabar woyyy!!!” Lalu entah bagaimana mulanya, mendadak ada perang botol air mineral di antara Penonton. Gue terkesiap. Yang terpikir sama gue adalah Adik gue. Memang sih, nggak ada satu botol pun yang melayang ke arah panggung. Dan keadaan semakin nggak kondusif. Gue sudah nggak memikirkan apa-apa lagi, sewaktu gue sadar ada yang menarik tangan gue ke belakang panggung. Gue berontak. “Adik gue! Adik gue ada di antara Penonton! Gue harus selamatkan dia,” kata gue. “Lo gila! Itu keadaannya sudah serusuh itu. Nggak mungkin elo balik ke sana. Kita diperintahin untuk ke ruangan yang disiapkan buat kita!” Gue semakin berontak. “Rusuh? Rusuh seperti apa?” Tanpa pikir panjang, gue balik lagi ke arah panggung. Gue penasaran dengan definisi ‘rusuh’ yang gue dengar. Dan apa yang gue saksikan kemudian membuat kepala gue serasa berasap. Adik gue nggak kelihatan. Sementara di bawah situ sudah bukan botol air mineral lagi yang melayang, sudah mulai ada beberapa barang-barang aneh, yang penggarislah, yang macam-macam. Gila itu kalau sampai kena kepala atau mata bisa gawat! Apa sihyang diributkan? Ini Panitia kemana? Mau gue cekek semua apa? Ya Tuhan! Rasanya dengkul gue lemas. “Kezia! Keziaaaa! Kezia kamu di mana? Teriak biar Kak Kelvin bisa cari kamu!” gue berseru lantang. Dan mendadak gue menjangkau mikropon karena merasa suara gue barusan sia-sia. Gue meletakkan mikropon tepat di depan mulut gue lalu teriak sekencangnya, “Keziaaaa! Teriak Keziaaaa! Biar Kak Kelvin bisa cari kamu di mana!” Stress gue memuncak. Itu Orang-orang sudah nggak jelas. Sekarang mereka lari-larian pula, bagaimana caranya gue bisa menemukan Adik gue!!! * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN