Perasaan Yang Campur Baur (3)

2140 Kata
POV Rheinatta Aku meredakan debar-debar yang terasa di dadaku saat Kelvin bertanya dari mana aku mendapatkan informasi mengenai cutinya Kalista. Aku berusaha memperlihatkan ketenanganku, sebagaimana seharusnya.  Iyalah, aku kan tidak mungkin mengatakan dari Siapa mengetahui tentang cutinya Kalista. Alamat bisa gawat, nanti. Dobel gawat malahan. Bukan sekadar Kelvin bakal tahu bahwa aku sudah berbohong dengan mengatakan tidak keluar rumah pada akhir pekan lalu, melainkan tetap hang out, tetapi bisa jadi Kelvin juga bakal cemburu buta ke aku. Memang sih, saat itu aku bukan pergi ke Pasadena, club yang biasa aku kunjungi bersama Teman-temanku. Aku memenuhi ajakan Abang-ku, Rusli Azkha Wahyudi, yang sedang mengambil cuti kerja beberapa hari sekaligus mengurus penjualan unit apartemennya yang ada di Jakarta. ... “Rhein, minggu ini gue ke Jakarta. Mau ketemuan nggak sama gue?” tanya Bang Rusli melalui telepon, sebelum kedatangannya. Pertanyaan macam apa coba? Seorang Abang kok bisa-bisanya mempertanyakan tentang itu ke Adiknya, Adik kandungnya pula! Minta dicakar apa ya, mukanya? “Pakai tanya segala! Ya mau lah, Bang! Banyak yang mau gue ceritain ke elo tahu nggak. Gue mulai nggak betah, tahu!” “Nggak betah apa?” tanya Bang Rusli dengan sabar. “Nggak betah kelamaan di rumah.” “Lho, kok begitu sih? Elo minta dibeliin apa sama Bokap yang nggak dipenuhi? Kalau memang penting dan harganya terjangkau sama gue, gue coba beliin deh.” “Seenaknya nuduh. Enggak, enggak ada hubungan sama soal minta apa-apa.” “Terus apa?” Aku diam sesaat, menelan ludah yang terasa pahit. “Bang, Bokap tuh sekarang sudah sama, sebelas dua belas sama Nyokap. Menyebalkan! Gue pengen cepet-cepet lulus dan keluar dari rumah Bokap rasanya!” kataku dengan lesu. “Hah? Kenapa? Jangan macem-macem, deh Rein! Nggak boleh mikir begitu! Sudah, dari pada uring-uringan mendingan nanti elo ikut gue. Nanti elo bisa cerita-cerita ke gue. Gue mau ketemuan sama Teman-teman. Ada kafe baru yang asyik katanya. Ajak Kelvin sekalian, Rhein. Lo masih sama dia, kan?” potong Bang Rusli cepat. Senyap beberapa saat. “Rheina.., lo masih di sana? Jangan bilang, elo sudah putus sama Kelvin! Gue gebukin dia kalau berani meninggalkan elo!” terdengar ancaman Bang Rusli. Serius kuadrat nadanya. Aku mendesah enggan. “Hhh....! Apa sih, Bang? Sok tahu, deh. Kelvin lagi melanglang buana, biasa. Bukan itu yang bikin gue gerah, melainkan Bokap. Entar gue ceritain semuanya. Lo nginap di rumah sini ya Bang, please?” bujukku kemudian. Gantian Bang Rusli yang diam. “Hei Bang! Enggak ketiduran, kan?” tegurku. “Enggak, lah! Lihat nanti deh Rhein. Gue sudah janji mau menginap di rumah Handi, soalnya. Kalaupun gue nggak menginap di rumah, gue jemput elo jam tujuh, Sabtu nanti,” kata Bang Rusli lagi. Aku tak bisa menawar lagi. “Ya sudah, deh,” balasku dengan pasrah. Yang berkecamuk di pikiranku hanya satu : Yay! Akhir pekan bakalan menghirup udara segar! Siapa sangka, di kafe tersebut, aku justru ketemu dengan Michael, yang menatap bingung melihat aku tidak datang dengan Kelvin. Michael juga datang sendirian, ke kafe baru yang super cozy itu. Usut punya usut, rupanya Om-nya Michael adalah salah satu Pemilik kafe ‘Selepas Senja’ yang aku datangi dengan Bang Rusli. ... “Kenapa, Bee? Kok kamu gelagepan begitu?” tanya Kelvin, membuyarkan lamunan singkatku. Aku agak cemas. Jangan-jangan radar Scorpio Kelvin memberinya tanda, ada sesuatu yang aku sembunyikan darinya. Ah. Enggaklah. Aku kan nggak ngapa-ngapain sama Michael! “Enggak, kok, Hon. Aku kasihan. Sohibmu satu ini, terhalang proyek ‘K’-nya. Proyek Kalista. Ya, kecuali kalau dia mau uber terus tuh, si Kalista. Datangin terus rumahnya kek kalau memang Kalista-nya ada di Jakarta. Atau minimal cari tahu dia ada di mana dan samperin, tempel terus jangan sampai lepas, biar Noel terus kayak lintah,” aku buru-buru mengalihkan perhatian Kelvin dengan manis. Bramantyo terbahak. Aku menyipitkan mata. Tawa Bramantyo terasa sumbang. Membuat aku menerka-nerka, apakah dia bersandiwara? Aku kok malahan menangkap adanya bias rasa kehilangan di sana? Ah! Dasar Bramantyo payah! Semudah itu, dia menyerah? “Proyek Kalista. Ada-ada nih, Cewek lo, Vin. Tapi ngomong-ngomong, kalau dia cuti kuliah, terus apa kabarnya tuh, buletin kampus sama yang lain-lainnya?” tanya Bramantyo, asal saja. “Ooh..., itu kan nggak musti dianya datang. Bisa lewat email. Begitu, sih, menurut sumber yang bisa dipercaya,” aku memasang wajah penuh teka-teki. “Siapa, Bee?” tanya Kelvin. Dia terlihat penasaran. Aku menggeleng dan berkata, “Nggak penting deh, Hon. Aku sebutkan juga kalian berdua belum tentu tahu.” Kelvin mengedikkan bahu, terkesan betapa dia berusaha mengesampingkan bahasan yang dirasanya tak perlu ini. Mungkin yang terpenting baginya adalah aku sudah tidak ngambek lagi ke dia. Ah, aku juga sih, kurang tertarik untuk melanjutkan bertengkar sama dia lagi. Aku menarik napas lega karena Kelvin tidak bertanya lagi. Sungguh tidak lucu kalau Kelvin sampai tahu bahwa aku tetap pergi bersenang-senang, padahal saat di telepon oleh Kelvin, aku sengaja marah-marah dan mengatakan bahwa aku bete dan mati gaya berada di rumah, sementara Orang yang satu rumah asyik dengan acara masing-masing di luar rumah. Aku mengulum senyum, terkenang akan pertemuan tak sengajaku dengan Michael di kafe ‘Selepas Senja’. Ternyata, semakin malam, kafe tersebut juga mempunyai nuansa yang romantis. Suasana yang semestinya aku lewatkan bersama Orang yang aku sayangi. Huh, tapi Seorang Kelvin apa mungkin, bisa dengan suka rela berada di sana atau bahkan punya inisiatif untuk mengusulkan candle light dinner di sana? Ah! Aku mengkhayal itu namanya. Tampaknya untuk mengunjungi sebuah kafe yang baru dibuka dan pasti dianggap Kelvin tengah ramai-ramainya, malahan harus sedikit dipaksa dulu. Mungkin harus digeret sedikit. Beda sekali dengan Michael. Dia terlihat gembira lantaran bertemu secara tidak sengaja di kafe yang begitu romantis. Dia mengambil inisiatif untuk memperkenalkan diri kepada Bang Rusli yang kemudian bergabung dengan Teman-temannya yang telah datang dan memesan meja untuk mereka. Dan setelah mengetahui bahwa Bang Rusli adalah Kakak kandungku, dengan percaya diri dia meminta ijin untuk mengobrol sama aku. Keren, kan? Enggak ada minder-mindernya karena dia adalah Adik kelasku. Kami berdua hanya mengobrol hal-hal umum, termasuk yang seputar kegiatan di kampus dan yang menyangkut Kalista. Pun begitu, toh aku nggak bisa menyangkal bahwa aku juga senang mengobrol dengan Cowok satu itu. Sesekali aku juga memerhatikan outfit yang menempel di tubuh atletisnya. Aku pulang dari kafe dengan suasana hati yang jauh lebih baik karenanya. Aku tidak tahu mengapa. Mungkin karena aku bisa melewatkan akhir pekan di tempat yang menyenangkan. Mungkin juga lantaran aku melalui waktu tersebut dengan Seseorang yang menyenangkan. Seseorang yang dianggap kutu buku, namun ternyata cukup banyak berceloteh di sepanjang waktu yang kami habiskan di kafe itu. Seseorang yang membuatku terkagum karena wawasannya begitu luas, yang dibicarakan beragam. Tidak melulu tentang alam, alam, dan alam lagi sebagaimana halnya Kelvin. Dan juga tidak melulu bicara tentang extreme sport. Apalagi saat aku menengarai bahwa Michael tampaknya sudah tidak mengejar Kalista lagi. Entah mengapa. Bisa jadi dia sudah pernah menyatakan cinta namun ditolak, atau belum sempat mengungkapkan isi hatinya tetapi Kalista keburu cuti kuliah. Aku tidak ingin tahu. Setidaknya sekarang. Yang aku tahu, sepertinya ada sesuatu perasaan indah yang terbawa pulang denganku. Perasaan yang mirip dengan yang aku dapatkan ketika pertama kali aku dan Kelvin bertemu dulu. ... “Bee, minggu ini kamu jangan pergi ke club, ya,” kata Kelvin kemudian. Lagi-lagi Cowok ini membuyarkan lamunan singkatku. “Maksudnya minggu depan boleh, dan ditemani sama kamu?” Aku balik bertanya dengan sorot menantang padanya. Hei, nggak perlu dijawab. Aku sudah tahu jawabnya kok. Buat Kelvin, clubbing is not his thing. And maybe, forever! Kelvin berdecak. “Tuh, kan! Kamu curang!” kataku. “Ini masih mau berlanjut, ya, perang dunia ke tiga? Tampaknya gue harus menyelamatkan diri, sebelum kena imbas,” goda Bramantyo. “Jahat amat sih, Bram, nyumpahin Orang suruh ribut. Namanya Orang pacaran itu wajar kalau ada perbedaan pendapat, namanya juga dua kepala. Ribut-ribut kecil juga biasa. Dasar Jomblo! Makanya, cepat cari Gandengan, gih, Bram! Biar nggak datar, sunyi, dan sepi, hidup elo. Nggak ada dinamika. Flat itu Bram, kalau di mesin pendeteksi detak jantung, artinya the end, finish, selesai. How pitty you are.” Aku mengerucutkan bibirku di ujung kalimatku. “Tahu, nih, Sahabat macam apa, coba? Orang kitanya sudah damai, sudah adem, malahan pakai dikomporin lagi,” tambah Kelvin, membelaku. Bramantyo menepuk jidatnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Siapa sih, Orangnya, yang berani bilang yang statusnya pacaran itu salah? Selalu deh, Jomblo yang disalahin. Itu peraturan mutlak. Kalian selalu benar. Gue yang salah,” ucap Bramantyo, sok sinis. “Nah, itu! Maka carilah Pasangan! Betah banget sih, ngejomblo!” sahutku cepat, karena merasa mendapat angin. Bramantyo terlihat enggan menanggapi. Bagus deh. Sudah tahu kan dia, berdebat sama aku itu merupakan hal paling sulit di dunia, sekaligus materi uji kesabaran yang punya bobot nilai tinggi, bagi yang mampu melewatinya tanpa terpancing emosi. Jadi kalau nggak kuat mental atau lagi nggak kengangguran, mendingan menjauh deh! “Aku pergi sama Bang Rusli saja, ya, akhir pekan nanti. Teman-temannya asyik-asyik,” kataku kemudian. Hm. Jujur kan aku? Memang aku perginya sama Bang Rusli, kok! “Ke mana? Memangnya Bang Rusli masih di sini?” tanya Kelvin, ingin tahu. “Belum tahu. Tapi dia cuti sekitar dua mingguan. Mau membereskan beberapa urusan di Jakarta,” sahutku memperjelas. Kelvin manggut kecil. “Kalau kamu perginya sama Bang Rusli, aku lega. Ada yang jagain kamu. Tapi ingat, jaga sendiri tuh, hati kamu. Jangan sampai nanti lirik-lirik ke salah Satu Temannya,” telunjuk Kelvin terarah ke tengah d ada ku. Aku terkesiap. Ucapan Kelvin barusan, seolah bermakna dalam. Aku jadi teringat, saat di kafe, Bang Rusli yang mendapati aku bertegur sapa dengan Michael yang menyebut dirinya sebagai Teman kampus, tidak keberatan memberi kesempatan bagi kami berdua untuk mengobrol. Tentu saja di meja terpisah, makanya bisa mengobrol begitu banyak. Dan mungkin karena memperhatikan sikap Michael yang sopan, Bang Rusli juga mengijinkan Michael mengantarkan aku pulang duluan. Aku sempat terusik ketika Michael kelepasan bertanya mengapa aku tidak menghabiskan malam minggu dengan Kelvin. Pertanyaan yang cepat-cepat dialihkannya ke hal lain. “Ups, sorry. Nggak usah dijawab, Rheina,” kata Michael saat itu. Dan aku melihat ada bias penyesalan di wajah Michael. Aku berusaha memakluminya. Mungkin dia bukan bermaksud iseng, kan? Itu toh pertanyaan yang wajar. Maka aku menjawab sesantai mungkin kepadanya, “Dia lagi pergi sama Bram. Biasa deh mereka, kegiatan yang seram-seram begitu. Makanya kalau gue sih ikut yang sebatas mirip sama kegiatan di klub Edelweiss doang.” Dan Michael tidak memperpanjang pertanyaannya. Itu juga bagus. Dari pada dia menebak-nebak dengan tepat, apa yang aku rasakan, kan? Ya, betapa sesungguhnya aku sibuk memerangi debar di hati selama bersamanya, versus perasaan bersalah pada Kelvin, sepanjang perjalanan pulang. Cuma diantar pulang dan ngobrol biasa. Salahnya di mana? Itu terus yang aku afirmasi ke diriku untuk membela diri. Sebelum aku terjajah lebih jauh dengan rasa tak nyaman yang mendadak muncul, aku segera menghabiskan jus alpukatku. “Bayarin ya, Hon … aku mau ke kelas duluan. Ada kuliah sebentar lagi. Bram, gue duluan, ya.” Aku bersiap bangkit dari duduk, setelah mendaratkan ciuman sekilas di pipi Kelvin. Kelvin mengangguk dan tersenyum padaku. Aku masih mengelus rambut Kelvin dengan sayang, dan Kelvin meraih tanganku dari kepalanya, untuk kemudian mendaratkan ciuman lembut di punggung tanganku. Kini ganti aku yang tersenyum diperlakukan semanis itu. Sebentar kemudian, aku mengisyaratkan akan segera berlalu meninggalkan kantin Mang Suria tanpa menunggu jawaban lisan dari Kelvin ataupun Bramantyo. “Sob, Cewek lo itu emang hiperaktif,” goda Bramantyo pada Kelvin. Aku menyipitkan mata mendengarnya. Aku jadi tergoda dan berusaha menerjemahkan, perasaan apa gerangan yang mendominasi hati Bramantyo saat ini. Apakah dia kecewa, lantaran aku terlalu cepat meninggalkan kantin Mang Suria, sebelum membahas lebih banyak perihal Kalista, ataukah justru harus bersyukur, karena terhindar dari kemungkinan ucapan serta tindakanku selanjutnya, yang kadang dengan seenaknya dikatakan, ‘ajaib dan berpotensi membuatnya malu’. “Energik, periang,” ralat Kelvin cepat-cepat, meluruskan opini Bramantyo atasku. “Tuh,  catat Bram!" ucapku. Bramantyo mengulum senyum. “Ya, ya, ya, maksud gue itu, rada kepeleset, tadi,” sahut Bramantyo sekenanya. Sukurin! Sepertinya, dia mulai terpapar ‘virus cocokologi’ aku kan? “Kita cabut juga nggak? Atau … elo mau nambah?” tanya Kelvin, mendapati mangkuk bakso Bramantyo sudah kosong. Aku tak tertarik mendengar apa sahutannya. Aku melambaikan tangan dan beranjak dari kantin Mang Suria. “Enggaklah, Vin. Kenyang, lagi! Yuk, kita langsung jalan,” ucap Bramantyo setelah melambaikan tangan pada Estu dan membayar semua yang kami makan. “Oke. Terus gimana Bram, akhir bulan depan? Jadi mau diving, sama grupnya Rio? Hitung-hitung escape pas weekend. Bakal asyik, pokoknya,” sahutan Kelvin ini masih terdengar di telingaku. “Boleh juga sih. Tapi mending elo ajak Rheinatta, deh, Vin. Dia pasti mau, dan siapa tahu jadi nggak ngambekan lagi. Percaya sama gue,” jawaban dari Bramantyo kemudian membuatku mengayuh langkah kaki lebih cepat, menjauhi area Kantin Mang Suria serta Dua Sahabat Karib itu. Dalam hati aku berbisik, “Iya Bram, ajarin Sohibmu itu.” * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN