Bermula Dari Sana (1)

1175 Kata
POV Kelvin “Ngapain pakai merem segala? Dasar Cowok penakut!” Bentakan galak yang berpadu dengan rajukan itu terdengar nyaring di telinga gue. Gue nggak tahu pasti, apakah gue harus mengeluh karena terusik, ataukah justru mengucapkan terima kasih sama Cewek yang satu ini, karena secara nggak langsung sudah ‘menyelamatkan’diri gue dari deraan rasa bersalah yang datang. Suaranya bagaikan benar-benar pikiran mengembalikan gue ke masa sekarang, sebelum gue terlarut dalam potongan kenangan masa silam, episode paling kelam, yang andai saja merupakan sebuah rangkaian cerita, gue nggak akan ragu untuk memotong habis dan membuang bagian itu karena memuat kepahitan yang terpahit. Sialnya, kepahitan itu membekas pula. Tapi mau bilang apa, semuanya kenyataan, bukan cerita doang. Sangat mustahil buat membuang episode itu. Gue menggelengkan kepala. “Kaki kamu sakit banget, ya?” tanya gue. “Pakai tanya segala sih! Jadi Cowok nggak peka amat sih! Memangnya nggak bisa lihat!” rajuk Rheinatta. Dan entah kenapa, mendadak saja gue trdoron buat mengucapkan, “Sorry,” dengan nada rendah namun penuh kesungguhan hati. Cukup satu patah kata saja, tetapi gue bisa melihat, ekspresi wajah Rhainatta yang sedari tadidisetel cemberut dan kencang, sedikit mengendur. Ada senyum samar yang gue tangkap di sana. Ogah membuang waktu lebih lama, gue langsung berjongkok di depan dia. “Ngapain?” tanya Rheinatta. Gue nggak menoleh sama sekali ke dia sewaktu gue bilang, “Aku gendong kamu ke perkemahan. Aku nggak yakin kamu akan kuat kalau berjalan. Kakimu bisa makan parah nanti. Nah, ayo cepetan, nanti keburu gelap. Biar nanti di perkemahan aku minta tolong Bu Shandra. Katanya dia bisa mengurut kaki yang keseleo.” Dia diam saja. Gue menoleh. “Mau dibantu balik ke perkemahan nggak? Atau, mau ditinggal di sini?” tanya gue. Seketika dia cemberut. “Dasar Cowok jahat! Nggak tulus bantu Orang. Sudah, tinggalin saja aku di sini kalau memang terpaksa buat bantu aku,” dumal Rheinatta yang kembali mencebik. Gue nyaris tertawa geli. Ya ampun, pipinya yang nyaris menggembung dalam kondisi ngambek begitu sungguh menggemaskan. Lha tapi kan dia ini Anak kuliahan, apa masih wajar bertingkah seperti Anak kecil yang kehilangan permen? Tapi nggak tahu kenapa, gue gemas melihatnya. Hampir gue tergoga untuk mengoloknya. Tapi di saat bersamaan, gue tertegur. Nggak tega. “Ayo Rhein, selagi aku belum berubah pikiran,” bujuk gue. Dia bergerak sedikit, membungkukkan badan dan menaruh kedua tangannya melingkari leher gue. Tapi gue merasa dia agak kesulitan untuk melingkarkan kedua kakinya di pinggang gue. Gue tergerak untuk membantu dia. Serius, gue nggak ada unsur kesengajaan sewaktu membantu dia dan menyenggol empuknya p****t dia. Tapi memang, godaan itu datang begitu saja. Mendadak gue iseng dengan meremas sedikit bagian lunak itu. Sekilas doang, kan supaya posisi dia lebih mantap saat gue bangkit berdiri. Nggak disangka-sangka, gue mendapat ‘bonus’ dari dia. Bukan hal yang menyenangkan, melainkan toyoran yang lumayan keras di kepala gue. “Dasar Cowok m***m! Cari-cari kesempatan!” umpatnya lirih. Aneh. Alih-alih mangkel sama kosa kata dia, gue malah kepengen ngakak mendengarnya. Alamak, Cewek satu ini memang termasuk spesial, ya. Jarang-jarang gue mau ‘beramah-ramah’ sama kaum Cewek selama ini. Ya, sejauh ini gue masih rada malas untuk menjalin yang namanya pendekatan sama Cewek apalagi pacaran. Soalnya, kalau diingat-ingat, selain keluarga gue rada rumit, kemarin-kemarin itu, sampai ke kejadian nahas yang menimpa Adik tersayang gue, jadwal gue termasuk padat. Buat menyeimbangkan antara kegemaran dan ‘tanggung jawab’ gue untuk tetap mempunyai prestasi belajar sebagaimana yang diharapkan sama.... Bokap gue saja, rasanya gue sudah kelimpungan. Bisa dibilang nggak sempat deh, buat dekat-dekat sama Cewek. “Nggak sengaja,” ucap gue pelan. “Hh! Aku tahu apa yang ada di otak kamu. Sudah, buruan jalan,”ujar Rheinatta. Gue hanya mengangkat bahu sedikit dan ambil ancang-ancang untuk setengah berlari. Rheinatta seeprtinya menyadari hal itu. “Nggak usah pakai lari. Cukup jalan yang cepat saja. Kalau lari nanti malah jatuh nyungsep berduaan. Siapa lagi yang bakalan menolong, coba?” protes Rheinatta. “Katanya mau cepat,” timpal gue iseng. “Cepat tapi selamat,” ralat Rheinatta. “Oke.” Gue berjalan mantap menuju lokasi perkemahan. Dan entah siapa yang memulai, senyapnya suasana di hutan pinus yang kami lewati kemudian terpecah oleh percakapan kami. Mendadak saja gue tertarik mau tahu mengapa Rheinatta ikut kegiatan ini, yang menurut gue sebetulnya kurang sesuai buat dia. Nggak tahu deh, firasat gue mengatakan, Cewek satu ini akan lebih menikmati kalau dirinya berada di keramaian, ketawa-ketiwi sama Teman-temannya, makan minum dan ngobrol akrab, bercanda, sampai menonton film atau hang out sama Teman sepergaulannya. Malahan barangkali, loncat-loncat kegirangan dan teriak histeris saat menonton konser. Oh! Nggak! Nggak! Kenapa pikiran gue melayang ke sana lagi! “Aku itu diajak sama Teman-teman sekelas, buat ikut berkemah. Mereka bilang bakalan seru. Pokoknya beda kata mereka, dan tempat berkemahnya asyik. Mereka bilang, udara segara kan bagus buat kesehatan paru-paru, dan juga kesehatan emosional. Ya sudah, aku sih ayok saja. Eh, ternyata benar. Aku langsung suka sewaktu sampai di lokasi. Dan sampai nggak sabar menunggu acara bebas. Sudah kepengen eksplor tempat sekitar. Kepengen main air di sungai, dan seterusnya. Siapa sangka, aku kelihatannya jalan terlalu cepat deh. Teman-temanku ketinggalan di belakang. Dan jahatnya, mereka kok nggak cariin aku sih,” tuturnya. Hm. Tebakan gue ternyata nggak meleset, kan? Dia ikut berkemah ini karena ikut-ikutan saja. Dasar Cewek kota. “Mungkin mereka cari kamu, tapi kamunya terlalu jauh dari jalur. Atau mereka mencari ke arah lain.” “Apanya yang terlalu jauh dari jalur?Orang dari tadi aku nggak mendengar suara mereka meneriaki aku. Terus kamu sendiri bagaimana? Kok bisa-bisanya kamu pergi begitu jauh dari lokasi kemah?” bantah Rheinatta, membela diri. Dari rencana untuk menerangkan kemungkinan bahwa bisa saja Rheinatta tak mendengar seruan Teman-temannya, suara gue jadi serasa tertahan di tenggorokan gara-gara pertanyaannya. Gue beda, lah. Beda banget sama dia. Buat apa dia pakai tanya segala? Buat gue, ini pertanyaan yang agak sensitif. “Rhein, lain kali kalau ikut kegiatan macam ini, harus selalu memperhatikan sekitar. Jangan sampai terpisah lagi dari kelompok. Soalnya...,” ucapan gue seketika menggantung. “Soalnya apa?” kejar Rheinatta. Gue menggeleng. “Enggak.” “Bilang dong! Jangan baut Orang jadi penasaran.” Gue berdeham sesaat dan mencoba mencari diksi yang paling pas. Gue nggak mau ada perbantahan antara gue dan dia. “Nanti deh, sampai di lokasi perkemahan aku kasih tahu. Intinya, kalau kita berada di alam bebas begini, kita harus lebih selaras dengan alam,” kata gue. “Maksud kamu..., tadi itu..., aku..., disesatkan..? Ih, kamu bikin aku takut. Aku merem saja ya. Nanti kalau sampai ke perkemahan, kamu kasih tahu aku,” rengeknya. Yang gue rasakan kemudian adalah tindakan spontan dia dengan merapatkan badannya ke gue. Tangannya yang mengalung di leher gue terasa lebih ketat dari semula. Dan gue enggak bisa menyangkal, rasanya seperti gue kesetrum sewaktu bagian atas tubuh dia, tepat di bagian yang lunak, seakan menempel sama bagian atas punggung gue. Belum lagi napas dia yang terasa begitu dekat dengan tengkuk gue. Benar-benar bikin gue sibuk untuk meredakan debar-debar yang terasa di hati gue. Astaga! Ya kali gue jatuh cinta sama Cewek ini? Semudah ini? * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN