Bermula Dari Sana (2)

2326 Kata
POV Kelvin Huft! Gue konsisten mengatur napas gue. Lucu sekali. ‘Perjalanan’ dari dalam hutan pinus sampai ke area perkemahan jadi terasa begitu berat. Beda tipis sama sebuah perjuangan maha hebat saja. Bukan, bukan gara-gara gue mengendong Cewek bernama Rheinatta yang ternyata super ekspresif dan doyan cerita. Badan dia nggak seberat itu kok. Dan ya, setelah dia agak ‘jinak’, berkurang galak dan marah-marahnya, dia itu seolah nggak berhenti cerita tentang Teman-temannya yang kata dia ‘tega’, ‘egois’, ‘nggak bertanggung jawab’, dan sebagainya karena tenang-tenang saja tidak mencari tahu keberadaan dia. Dan dari semua celoteh dia itu, akhirnya gue tahu bahwa kami berdua ternyata satu Fakultas.Wah! Semestinya, ya, semestinya celotehan Rheinatta itu lumayan manjur buat mengusir debar-debar aneh yang gue rasakan, ditambah desiran yang nggak berhenti di d**a gue. Apa-apaan sih ini? Nggak biasa-biasanya gue sampai begini. Malahan setahu gue, bukan satu dua Orang Cewek yang mending menyingkir jauh-jauh dari gue karena katanya gue ini sok cuek sama Kaum mereka. Segala macam cap ‘sombong’, ‘nyebelin’, ‘belagu’, ‘sok ganteng’, ‘dingin’, ‘sok jaga image’, ‘sok misterius’, dan semua gank-nya, sudah terlalu sering gue dengar, bahkan pada saat gue masih SMA dulu. Dan justru menurut Teman-teman gue dulu, itu malah membuat asyik performa kami. Kata mereka, itu malah menjadi sebuah nilai plus buat setiap penampilan kami. Konon, bikin gemas dan penasaran Para Cewek. Ah, padahal gue nggak merasa begitu. Kayaknya gue biasa-biasa saja deh. Mau sok atau sombong juga apa yang perlu disombongin, memangnya Shit! Kenapa gue jadi teringat lagi soal performa, sih! Enggak, gue sudah mengubur semua kenangan itu. Dan gue nggak mau kembali ke masa itu. Demi..., mengurangi rasa bersalah gue sama Adik gue. Nggak Salah! Tepatnya, demi mencegah rasa bersalah gue nggak semakin parah dan lama-lama bisa membunuh gue. Meski untuk itu, gue harus rela meninggalkan ‘hasil perjuangan’ dari nol bersama Teman-teman gue. Dan gue bahkan rela dijauhi, ditinggalkan, dan dilupakan sama mereka. Eh! Apa? Enggak begitu. Tepatnya, gue yang menjauhi, meninggalkan, dan berusaha untuk melupakan mereka, dan menutup akses komunikasi dengan mereka..., sampai..., sekarang! Hampir di setiap langkah kaki gue, gue iringi dengan harapan agar segera sampai di lokasi perkemahan. Ini..., akhirnya gue tahu kenapa. Ini pasti diakibatkan kontak fisik yang begitu lama sama Cewek ini. Lalu herannya, dia kok nggak kenapa-napa, ya? Dia nggak merasa grogi atau bagaimana begitu, digendong kuda sama Cowok yang baru saja dia kenal? “Eeeeh..., lihat itu! Rheinaaaa! Iya, itu Rheina. Ya ampun, kita susah cari dia kemana-mana malah dia enak-enakan digendong sama..., eng, Siapa itu, ya? Cowok yang Anggota Pecinta Alam bukan?” seru sebuah suara. Sang Empunya suara yang sebelumnya sedang berbicara dengan dua Orang Temannya, melihat ke arah kami. “Iya, itu Rheina. Rheina! Dari tadi kemana saja? Bikin kamu semua panik! Sudah dibilang jangan terlalu jauh, juga!” ujar Seorang Cewek di sebelahnya. “Hm. Syukurlah. Sepertinya nggak ada yang perlu dicemaskan lagi. Tapi ngomong-ngomong, kenapa dia digendong segala? Dan bisa-bisanya seakrab itu?” sahut satu-satunya Cowok yang ada di sana. Mereka bertiga segera berjalan setengah berlari ke arah kami. “Rheina!” panggil mereka serempak. Jarak antara kami jadi semakin dekat. “Itu teman-teman kamu? Yang tadi kamu bilang tega? Tuh, lihat, kamu sudah membuat mereka cemas,” kata gue, menegur Rheinatta dan me,uruskan anggapan dia yang keliru terhadap Teman-temannya. “Biar saja.” Ucapan Rheinatta begitu ringan. “Eh, nggak boleh begitu.” “Ya habisnya mereka itu...,” Rheinatta menggantung ucapannya. “Rheina, kamu kemana saja?” tanya Si Cowok yang kini jaraknya hanya sekitar satu stengah meter dari kami. Ada yang aneh lagi sama gue. Mendadak saja gue disapa sama perasaan nggak nyaman dan langsung menerka-nerka dalam diam. Berbagai pertanyaan timbul di benak gue. Kira-kira Cowok ini apanya Rheinatta? Apakah dia Pacarnya Rheinatta? Atau Gebetan Rheinatta? Gila kalau iya. Jadi berasa dapat Rival. Yang enggak-enggak saja deh. Mendadak terlintas di pikiran gue, kalau ini Cowok adalah Pacarnya Rheinatta, nggak guna amat sih jadi Pacarnya. Ya kali Ceweknya menghilang dia bukannya lebih keras berusaha buat mencari? Usaha sampai ketemu dong, gimana sih! Dan kalau dia baru Gebetan, lebih-lebih! Mana usahanya buat memenangkan hati Cewek yang Dia gebet? Apa perlu gue ajarain bagaimana cara melindungi Cewek? Apalagi di alam bebas begini? Sudah jelas-jelas Ceweknya model Cewek kota begini. Terus gue jadi heran sendiri. Tiba-tiba saja ada perasaan di mana gue kepengen mempertahankan Rheinatta di gendongan gue, bukannya menyerahkan ke ‘yang lebih berhak’ dan ‘yang semestinya menolong’ Rheinatta. Si Cowok itu! “Rheina..,” panggil Cowok itu. “Dod, kalian bertiga pada kemana sih. Ini lihat, gara-gara kalian, gue jadi kehilangan orientasi di dalam hutan. Yang gue lihat pohon pinus melulu. Gue takut banget tadi itu. Takut nggak bisa keluar dari hutan pinus, takut ada yang halus-halus, takut sgala macam pokoknya. Dan tahu nggak, gue sampai jatuh dan keseleo. Nih, untung saja Kelvin mau gendong gue,” protes Rheinatta. “Kita sudah mencari kamu dan teriak-teriak panggil nama kamu, Rhein,” jelas Salah Satu Cewek yang menyusul. Nggak tahu kenapa, hati gue rasanya adem sewaktu Cewek itu membela Si Cowok dan menggayut di lengan Cowok itu. Itu semacam jawaban bahwa Cewek dan Cowok ini ada hubungan asmara. Artinya, posisi gue aman. Rheinatta bukan Pacar Cowok ini! “Erni benar tuh. Gue, Erni sama Nina sudah lumayan lama cari elo. Akhirnya kita berpikir bahwa kemungkinan elo sudah bergerak ke arah perkemahan. Makanya kita juga jalan ke arah sini. Ya kan, Er?” terang Si Cowok. “Betul tuh,” kata Cewek yang menggayut manja di lengan Si Cowok, yang gue yakin namanya Erni. “Ceritanya bagaimana sih Rhein? Terus tahu-tahu kok ditolongin sama..., Siapa namanya?” kata Cewek yang satu lagi. Pasti dia yang dipanggil Nina. “Kelvin,” sahut Rheinatta. Lagi-lagi momen perkenalan yang lucu terjadi. Nggak pakai salaman. Cuma saling sebut nama. “Vin, terima kasih ya. Sudah nolongin Rheinatta. Gue Dodi. Ini Erni, nah yang ini Nina,” kata Dodi. “Kelvin. Gue kebetulan ada di dekat sana dan dengar ada Orang teriak minta tolong,” kata gue. “Oh, begitu. Gue sudah tahu namanya sih. Tapi kalau kenalan langsung baru sekarang,” sahut Erni. Gue nggak berkomentar. Nggak penting juga, kan? “Rhein, cerita lengkapnya bagaimana, kok bisa-bisanya elo sampai terpisah? Apa ada semacam..., eng..., bisikan atau bagaimana begitu yang membuat elo jadi memisahkan diri dari kami?” tanya Nina. Wah! Gue mulai nggak suka nih kalau ada Orang yang bergosip tentang ‘Yang halus-halus’, eh, di tempat macam begini. Istilahnya, yang Tamu malah nggosipin yang punya teritori! Berani amat! Gue sudah siap buat memperingatkan mereka tapi Rheinatta sudah lebih dulu menjawab Nina. “Nanti, ceritanya di perkemahan. Panjang, tahu nggak! Ini Dodi sama Erni keasyikkan pedekate deh, jadi gue dicuekin. Nggak sadar kalau gue terpisah. Nina juga, asyik ngapain sih! Sudah tahu sama-sama jadi Tukang Tepok nyamuk juga. Dan elo juga kan yang ajak gue ikut acara begini. Lain kali gue nggak mau deh. Padahal sudah jelas kan, supaya elo nggak sendirian nontonin Cowok sama Cewek lagi pedekate,” gerutu Rheinatta. “Eh, nggak begitu. Itu nggak benar,” koreksi Erni cepat. Dodi tak membantah. “Iya nih. Elo salah paham, Rhein. Ngomong-ngomong, keseleonya parah, Rhein?” tanya Nina pula. “Pakai tanya segala. Parah dong pasti. Kalau nggak parah gue masih bisa jalan,” sahut Rheinatta. “Ya sudah, ayo rada cepetan jalannya. Semoga ada yang bisa mengurut elo nanti,” kata Dodi dengan mimik muka bersalah. Hm. Gue bisa memastikan bahwa tuduhan Rheinatta pas. Iya yang ada, Dodi sama Erni malah sibuk pacaran, sementara Nina juga nggak tahu ngapain. Dan Rheinatta sendiri juga rada hiperaktif, jadi terpisah deh. Intinya, tiga-tiga salah. Eh, tapi kalau nggak ada kejadian macam itu, gue sama dia nggak bisa ketemu, kenalan, dan selanjutnya, dan selanjutnya dong. Nggak ada perdebatan apa-apa lagi. Kami bergerak lebih cepat menuju ke area perkemahan. Tiga Orang Teman Rheinatta mendahului kami, berjalan di depan kami. “Ciyeee...! Ciyeeee! Adda asmara yang bersemi! Mesranya, luar biasa. Gendong-gendongan segala. Wah baik-baik nih, jangan sampai ada pikiran m***m! Bahaya nih, harus diawasi sama-sama biar nggak berbuat macam-macam!” terdengar olokan beberapa Orang yang melihat kemunculan kami di dekat lokasi perkemahan. Gue nggak berminat untuk menerangkan. Rheinatta yang sepertinya sangat terganggu. “Siapa yang pacaran! Siapa yang mesra-mesraan? Boro-boro pacaran, Orang gue kenal juga barusan. Gue keseleo! Kalau gue bisa jalan juga nggak bakalan digendong. Pikiran kalian tuh yang ngeres!” bentak Rheinatta. Tuh, kan! Galaknya kambuh. Dan dia nggak sadar apa, mulutnya itu dekat sama telinga gue? Yang ada gue yang berasa diomelin. Berisik banget. “Oooo..., keseleo...” Itu saja yang diucapkan Para Pengolok kami. “Iya, Rheinatta keseleo.” Sayup-sayup gue mendengar suara Erni atau Nina, agak jauh di depan sana. Huh! Payah! Selalu terlambat! Nggak heran kalau Rheinatta sebal sama mereka. “Vin!” Seruan ini mampir ke telinga gue begitu kami mulai memasuki di area perkemahan. Suara yang sangat gue kenal. Sobat kental gue. Gue menoleh ke arah suara. “Kok bisa barengan sama mereka, Vin? Kalian sudah saling kenal?” tanya Bramantyo. Gue rasa Bramantyo sudah sempat melihat kedatangan gue sama Rheinatta itu beriringan sama tiga Orang Teman Rheinatta, biarpun sekarang mereka semakin jauh di depan sana. “Hei Bram. Baru banget,” sahut gue. Ada senyum tipis yang tersungging di bibir Bramantyo melihat gue mengendong Cewek. “Dia keseleo. Makanya gue bantu. Kasihan soalnya,” terang gue yang merasa perlu membersihkan diri dari ‘tuduhan’ atau prasangka apa pun yang mungkin terlintas di pikiran Bramantyo. Padahal gue rasa Bramantyo jua sudah sempat mendengar olokan yang ditujukan ke kami tadi, yang langsugn diprotes oleh Rheinatta. “Oh,” sahut Bramantyo pendek. Heran, kali ini gue kok merasa mau menyangkal apa, begitu. “Tumben, elo sebentar bertapa-nya,” kata Bramantyo pelan. Gue rasa, dia menujukan buat gue doang. Tapi Rheinatta kan ada di gendongan gue, nggak mungkin juga kalau nggak dengar. Patut diragukan pendengarannya. Nah! Dia terusik tuh! “Bertapa? Jadi tadi itu Kelvin lagi bertapa, sebelum ketemu sama gue?” Pertanyaannya super polos. Spontan pula. Bramantyo merasa perlu mengoreksi. Dia menggoyang-goyangkan tangannya. “Enggak. Itu cuma ledekan. Dia suka ke tempat yang sepi-sepi. Suka menyendiri,” terang Bramantyo. “Ah! Masa sih? Jadi tadi itu lagi menyepi, Vin? Lucu deh, Orang mah, lebih enak yang ramai-ramai. Ini kok malahan kepengen menyendiri. Nggak seru dong..,” timpal Rheinatta. Gue tertawa tanpa suara. “Tenda kamu yang sebelah mana? Aku antar ke sana dulu. Setelah itu aku cari Bu Shandra supaya periksa kondisi kaki kamu. Kamunya istirahat saja di tenda, nggak usah kebanyakan gerak, ya,” kata gue. “Maju terus. Nah, itu, yang dimasukin sama Nina,” kata Rheinatta. Bramantyo membarengi langkah kaki gue. “Eh kalian belum saling kenal kan? Rheina, ini Bramantyo. Bram, ini Rheinatta,” kata gue. “Dia lumayan ngetop kok. Wajahnya cukup familiar. Setahu gue banyak Cewek yang naksir dia deh,” sahut Rheinatta. “Ah. Nggak benar itu,” sanggah Bramantyo. Mendadak timbul keisengan gue buat bertanya, “Wah! Termasuk kamu ya, naksir sama Bram?” Habis mengungkapkan pertanyaan itu, gue kaget sendiri. Eh! Sejak kapan gue celetak-celetuk begini? Dan rupanya bukan gue seorang yang kaget, Bramantyo juga. Pandangan mata dia jadi aneh dan penuh selidik. Tanpa Bramantyo perlu mengucapkan secara lisan juga, gue sudah bisa membaca apa yang tersirat. Pandangan mata itu seolah menyampaikan, “Haloooo! Ini Kelvin Teman gue bukan? Sejak kapan elo ekspresif? Gue menangkap adanya getar-getar cinta di sini.” Gue pura-pura b**o deh. “Enggak, lah! Aku nggak termasuk kok Vin. Maaf ya Bram, elo bukan type gue biarpun elo itu cakep. Gue sukanya sama Cowok yang...” Rheinatta menggantung kalimatnya. Dan gue jadi deg-degan menunggu kelanjutan kalimatnya. Ini super ngawur deh! Kenapa gue jadi kehilangan kendali atas perasaan dan pikiran gue? Huh! “Rhein. Sini!” Nina sudah menyambut kedatangan kami. Distraksi yang tepat pada saatnya! Pelan-pelan gue berjongkok di depan tenda supaya Rheinatta bisa turun dari gendongan gue. Kali ini Nina nggak mau ‘mengulang kesalahan’. Dia sigap membantu Rheinatta. “Tunggu sebentar di sini ya Rhein. Semoga Bu Shandra lagi sempat. Nin, ini tolong dijagain Temannya, jangan dikasih banyak bergerak apalagi jalan-jalan dulu. Biar nggak tambah parah kakinya,” pesan gue. Nina langsung mengiakan sementara Rheinatta mengangguk. Ya ampun, kenapa saat gue sama dia bertatapan dalam jarak dekat begini, gue baru tersadar, dia jauh lebih cantik ketimbang saat marah-marah di dalam hutan tadi? Dan gue melihat betapa imutnya dia, betapa lucu dan menggemaskannya. Terus mimik mukanya itu lho, bikin gue betah buat menatap dia. Kelihatan malu-malu begitu! “Yuk ke Bu Shandra,” ajak Bramantyo. Gue baru mau menjawab, saat gue melihat tangan Rheinatta terulur dan mengelus pipi gue. “Vin, masih sakit nggak, pipinya?” tanya Rheinatta penuh perhatian. Gue mengerutkan kening, bingung maksud pertanyaan dia. Dan secara refleks, gue malah pegang tangan dia. Gue melihat Rheinatta menunduk malu. Wajahnya juga mendadak memerah bak kepiting rebus. “Sakit kenapa?” tanya gue bodoh. Rheinatta menggelengkan kepala. Sekarang gue melihat dia tersipu. Suara dehaman Nina mengusik. Gue langsung melepaskan pegangan tangan gue. Rheinatta juga menurunkan tangannya dari pipi gue. “Maaf ya, soal tamparan tadi. Dan terima kasih sudah menolong aku,” ucap Rheinatta lirih. Ya, menurut gue lirih. Tapi siapa sangka, Bramantyo sama Nina mendengarnya juga? Buktinya, mereka berdua mengerutkan kening secara bersamaan. Sekali lagi gue pura-pura b**o. Berlagak nggak melihat reaksi mereka. Ah, iya! Gue baru ingat, Si Rheinatta bertanya pipi gue masih sakit atau enggak tuh ya gara-gara tamparan yang tadi. Ih, serius, ini Cewek aslinya lucu. Gue sadar gue jadi demen sama dia. “Gue tinggal dulu ya,” kata gue. “Eng..., Vin..,” panggil Rheinatta ragu. “Apa, Rhein?” “Nanti kamu kemari lagi, kan?” tanya Rheinatta. Dan gue melihat, matanya itu sungguh berharap. Ya, gue nggak ke-geer-an kok! “Pasti dong. Nanti aku temani Bu Shandra kemari,” janji gue. Rheinatta menarik napas lega. Ya ampun, hati gue rasanya senang sekali. Merasa dibutuhkan! * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN