POV Rheinatta
“Rhein! Ayo Rhein! Jangan mau kalah sama Kelvin! Lebih cepat, Rhein! Tapi tetap hati-hati!”
Aku mendengar teriakan Sylvanie yang menyemangatiku selagi aku dan Kelvin beradu cepat dalam memanjat wall climbing. Ya, setelah sekian lama baik aku maupun Kelvin tambal sulam dalam mengikuti latihan di kampus, sore ini kami kembali latihan bersama.
“Kak Rheina! Ayo Kak Rheina jangan kalah sama Kak Kelvin!”
Aku mendengar pula sorakan beberapa Junior-ku.
Rasanya senang sekali.
Rasanya seperti baru pertama kali datang latihan. Dan senangnya itu karena Para Junior-ku itu adalah dari Kaum Hawa. Waaaah..., tulisan Sylvanie mengenai Klub Pecinta Alam Edelweiss, ditambah kehadirannya yang kian sering di hari latihan kami, sepertinya menjadi magnet yang cukup kuat untuk menarik minat Para Adik Kelas.
Itu sungguh kenyataan yang sedikit menghibur hatiku, di tengah-tengah ketidak pastian akan keberhasilan dari rencanaku untuk mempertemukan Papa dengan Bang Rusli. Sampai detik ini, aku belum juga ketemu celahnya. Semakin memikirkannya, malah bikin kepalaku pusing saja. Alhasil, datang untuk berlatih memang merupakan hiburan tersendiri buatku. Aku memutuskan untuk sedikit bersabar sembari mencari cara yang lebih tepat.
Dan aku tak menyangka, walau sudah tidak rutin latihan, rupanya aku masih bisa mengimbangi kegesitan Kelvin.
Setidaknya, itu yang menjadi anggapanku.
Anggapan yang kemudian terpatahkan celetukan dari Kendra.
“Kalau Kelvin sampai kalah, pasti bukan karena Rheinatta lebih jago manjatnya, tapi karena Kelvin takut sama Rheinatta. Takut Rheinatta ngambek.”
“Ih, Sayang...! Kamu jahat! Enggak kok, Rheinatta memang cepat gerakannya!” bela Sylvanie nyaring.
“Iya! Kak Rheina itu luar biasa,” sambut beberapa Anggota baru di Klub Edelweiss. Aku rasa, wajah-wajah baru yang tadi menatapku dengan sorot mata memancarkan kekaguman saat berkenalan dengan aku. Cewek-cewek! Bagaimana aku tidak gembira karenanya? Akhirnya, datang juga kan saat begini, Anggota baru berdatangan, Cewek pula. Semoga saja mereka awet, itu yang menjadi harapanku.
Pembelaan Sylvanie dan Para Anggota baru itu menjadi penyulut bagi semangatku. Aku semakin cepat bergerak, mengerahkan segenap kemampuan yang aku punyai
Tapi Kelvin tak mau kalah. Dia malah sempat terkekeh mengejek.
Ya ampun, betapa aku rindu saat-saat ini. Melihat senyum lepasnya, seri di wajah Cowok tersayang ini, rasanya bagai mengalihkan duniaku. Berharga banget.
Sialnya, dia curang! Iya, dia curang. Dia memanfaatkan distraksi yang dia buat akibat dia sok tebar pesona ke aku, yang membuatku lengah, dengan mempercepat gerakannya.
Dan bisa ditebak, tentu saja dia yang duluan mencapai puncak, lantas sedikit meledekku pula dengan cara mengulurkan tangan, seolah mau membantuku.
Aku mencibir.
Kelvin tertawa.
Lantas dia meluncur turun mendahului aku.
Aku bergegas menyusulnya.
Begitu aku kembali menjejakkan kakiku di bawah, Kelvin sudah selesai dan melepaskan harnass serta carabiner. Ia lantas membantuku untuk melepaskan pula peralatan standard itu dari badanku.
Saat itulah, pandangan mataku bersirobok dengan tatapan mata Sylvanie.
Aku melambai-lambaikan tangan ke Sylvanie yang berdiri di sebelah Kendra.
Sepertinya aku melihat betapa dia juga ingin mencoba untuk memanjat.
“Syl! Sini!” teriakku lantang sambil menggerakan tanganku.
Sylvanie menoleh ke samping dan aku melihat Kendra mengangguki dia.
Setengah berlari, Sylvanie menghampiri kami dan menatap kami secara bergantian.
“Kalian berdua benar-benar Pasangan yang serasi. Barusan tadi itu.., seru!” ungkap Sylvanie lirih.
“Bee, aku ke sana dulu ya,” kata Kelvin, yang segera aku angguki.
Aku tahu dia mau memberi aku dan Sylvanie kesempatan mengobrol.
Aku menyempatkan melihat sekilas pada Kelvin yang mendatangi Bramantyo.
“Wah, latihan hari ini benar-benar seperti latihan yang dulu-dulu. Komplit. Pentilannya datang semua,” cetus sebuah suara.
Jujur sekali.
Aku tak tahu Siapa, tapi aku yakin itu adalah Salah Satu Junior kami.
Aku jadi berpikir, pastinya diam-diam Para Junior kami juga merasakan ada yang kurang lengkap ketika satu persatu dari kami mulai bolong-bolong latihannya.
“Rhein, punya Pacar satu yang minat itu menyenangkan ya. Aku jadi cemburu melihat kalian berdua,” ungkap Sylvanie lagi.
Aku tertawa kecil dan mengajaknya menepi untuk memberikan kesempatan bagi yang lain mempersiapkan diri untuk memanjat wall climbing.
Aku memergoki, tatapan Sylvanie terus terarah ke Teman-teman yang sedang bersiap-siap. Hanya sesaat saja aku mengerling kepada Bramantyo dan Kelvin yang entah sedang mempercakapkan apa.
“Itu muka... muka pengen banget. Ayo lah Syl, coba bareng sama Kendra.”
Sylvanie mengangkat bahu. Tampak sedikit lesu.
“Rhein, tadinya aku sempat mikir, kasihan juga Kendra, selama ini dia sekadar menonton gratis kemesraan kamu sama Kelvin. Terus sewaktu dia mengajak aku ikut acara tea walk dan sebagainya, aku pikir dia bakalan mau kasih aku dukungan buat mencoba caving, memanjat tebing dan semacamnya. Tapi...”
“Tapi apa?”
Aku menggoyang lengan Sylvanie.
Sylvanie tersenyum kecut.
“Hei, kenapa?” kejarku.
“Dia itu..., nggak konsisten sama omongannya. Tadi saja aku sudah agak merengek bilang mau cobain ini, tapi kata dia jangan. Takut tanganku tergoreslah takut aku lecet. Ih, lebay banget ya. Payah deh. Jadi selama ini aku cuma dibiarkan ngiler sama dia melihat chemistry kamu sama Kelvin.”
Aku hampir tersedak mendengarnya meski tidak sedang minum.
“Ah! Serius?”
Sylvanie mengangguk dan melengkungkan bibirnya.
“Kamu cuma mau coba ini nggak dikasih?”
“He eh.”
“Aku yang komporin ya?”
“Eh, jangan!”
“Kenapa?”
“Soalnya...”
Wajah Sylvanie menyiratkan keraguan.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Aku takut kalau nanti dia mulai lagi menyebut kamu suka ikut campur urusan Orang..”
Lirih sekali suara Sylvanie.
Perkataan yang sangat jujur.
Anehnya, aku tidak terlalu merasa tersinggung.
Aku tertawa saja.
Sylvanie menutup mulutnya.
“Maaf, aku nggak bermaksud buat...”
Sylvanie menggantung ucapannya.
Aku menggeleng maklum.
Sekarang aku jadi berpikir, apa jangan-jangan Papa sama bang Rusli juga menganggap aku sok tahu dan sok memaksa mereka untuk segera berbaikan, padahal mereka berdua itu bukanlah Sepasang Anak kecil? Hm, bisa jadi. Buktinya mereka berdua nggak merespons baik gagasan yang aku ungkapkan. Lha tapi itu kan bukan berbarti aku mencampuri urusan Orang lain? Dan kalau hal itu dikategorikan terlalu mencampuri urusan Orang, kan maksudnya baik? Aku ini hanya mau menolong. Aku nggak suka melihat segala sesuatuyang ‘nggak pada tempat’nya. Aku terusik kalau Orang yang menurutku bisa berkomunikasi dengan lebihbaik dari yang mereka tampilkan, tapi nggak berusaha. Lalu, di mana salahnya? Apakah aku merugikan Ornag lain Enggak, kan?
“Rhein, maaf ya. Maafkan Kendra juga. Eng..., maksudku begini. Kendra itu juga tahu maksud kamu baik kok. Cuma ya, tahu sendiri deh..., Cewek sama Cowok itu kadang mikirnya beda. Mereka itu suka susah mengakui bahwa apa yang kita lakukan buat mereka itu benar. Gengsi,” ucap Sylvanie kemudian, seolah dia dapat membaca isi pikiranku.
Entahkah ucapan Sylvanie itu sekadar untuk menghibur aku, ataukah memang dia memaksudkannya. Tapi lagi-lagi terpikir olehku, apakah hal yang sama berlaku pada Papa dan Bang Rusli? Aku jadi berpikir, mungkin caraku salah, meski niatku sudah benar..
Aku memaksakan sebuah senyum.
“Santai saja. Itu kan kenyataan, yuk kita ke sana,” kataku sembari menunjuk ke arah Kelvin dan Bramantyo.
Sylvanie menggeleng.
“Kenapa?”
“Aku mau ke ...,” kata Sylvanie sembari melayangkan pandangan matanya ke sekeliling.
Aku paham, dia pasti mencari Kendra.
“Cari Kendra, kan? Tuh, dia di sebelah sana,” kataku cepat.
Sylvanie sedikit tersipu.
Aku menyuruhnya agar segera mendatangi Kendra.
“Kendra..,” panggil Sylvanie sambil mendekati Cowoknya itu.
“Hei Sayang.., sebentar ya, aku satu dua kali manjat dulu. Kamu terusin ngobrolnya sama Rheinatta gih,” kata Kendra.
“Ken..., aku kepengen coba, sekali, saja,” kata Sylvanie.
Kendra terdiam.
Sejenak dia menatao ke arahku, terkesan mencurigai bahwa aku telah menghasut Pacarnya itu.
Sylvanie sepertinya paham dan menoleh ke arahku.
Aku malah penasaran dan sedikit memasang jurus menguping pembicaraan mereka.
“Jangan curigaan deh. Justru tuh ya, aku yang kepengen coba. Tadi itu aku membayangkan aku sama kamu yang manjat bareng, bukan Rheinatta sama Kelvin. Kamu nggak kasihan apa sama aku? Aku kepengen banget cobain ini.”
Kendra dan Sylvanie yang sedang berinteraksi, tapi aku yang berdebar-debar.
Aku tengah menebak-nebak apakah kendra akan meluluskan permintaan Pacarnya.
Entah apa yang dikatakan Sylvanie pada Kendra. Aku tak bisa mendengarnya dengan jelas karena kini mereka berbicara dengan lebih pelan.
Di saat yang bersamaan, konsentrasiku terpecah. Agak jauh dari tempatku, aku melihat Sosok tegap itu. Michael!
Sejak kapan dia ada di sana? Apa yang dia lakukan?
Diam-diam aku jadi mengingat-ingat, selepas pertemuan di Surabaya sekitar tiga minggu lalu, aku belum mau memenuhi ajakannya untuk ‘bertemu hanya berdua’ lagi. Selain karena aku sibuk dengan urusan Papa dengan Bang Rusli, mendadak aku jadi terpikir, kalau suatu saat nanti Teman-temanku tahu tentang asal-usulku, akankah mereka berubah sikap?
Jujur, aku juga takut kalau Kelvin, Michael, Bramantyo, Sylvanie dan yang lainnya menatap dengan tatapan merendahkan kepadaku. Apalagi Kendra!
Tapi aku mencoba untuk meredam sendiri kemungkinan yang belum tentu terjadi itu, sebab toh pada akhirnya kami akan sama-sama lulus dari Perguruan Tinggi ini. Setelah itu, belum tentu hubungan kami akan seakrab sekarang. Dan sementara aku masih bisa menyimpan ‘rahasia pribadi’ itu, kenapa tidak kusimpan saja untuk diriku sendiri dan keluargaku? Aku tidak mau dihakimi untuk sesuatu hal yang bukan kesalahanku. Memangnya aku meminta supaya dilahirkan? Enggak, kan? Aku mau menerima keadaanku saja, buatku perlu proses. Dan itu masih tetap aku lakukan hingga kini. Buat apa aku menambah-nambahi kepusinganku dengan hal-hal lainnya?
Lebih dari dua minggu terakhir ini aku juga berusaha untuk memulihkan kembali hubunganku dengan Kelvin yang sempat terasa ‘aneh’. Aku berusah untuk memunculkan kembali perasaan yang dulu. Perasaan menggebu kala hendak bertemu dengannya, perasaan senang sewaktu berada bersamanya.
Karenanya, dengan sadar aku berlagak tidak melihat Michael.
Enggak. Sebab kalau melihat atau teringat dia, aku jadi ingat pelukan di Surabaya itu.
Kalau aku harus memilih saat ini, aku rasa hatiku akan mantap mengarah ke Kelvin.
Aku sudah mengenalnya terlabih dulu. Aku juga sudah melalui banyak hari bersamanya. Andai suatu kali nanti dia tahu tentang latar belakangku, aku rasa dia akan menerimaku apa adanya.
Sementara Michael? Ah! Memikirkan kemungkinan itu saja aku nggak berani.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $