Percakapan Berbalut Pertengkaran (2)

1192 Kata
POV Rheinatta “Rheina..., Opa Ronald yang cerita ke kamu?” tanya Papa. Aku agak khawatir mendengar pertanyaan Papa ini. Aku takut akan ada perselisihan antara Papa dengan Opa Ronald karenanya. Dan andai itu terjadi, aku pastikan aku yang menderita kerugian terbanyak. Aku adalah Pihak yang paling kehilangan. Pasalnya, aku punya Siapa lagi? Masa aku harus puas hanya memiliki Papa? Padahal aku baru saja merasa gembira dan lega karena Opa Ronald tetap menganggap aku sebagai Cucu Kandungnya. Dari sana saja sudah jelas, betapi hati Opa Ronald seluas samudra. Bukankah sebetulnya Opa Ronald berhak untuk menolak aku? Bukankah aku ini lahir dari Seorang Wanita yang merusak kebahagiaan rumah tangga Putrinya? Aku menatap takut-takut ke wajah Papaku. Wajahnya tidak terlihat tegang atau menyimpan kemarahan. Beda sekali dengan tadi malam. Dan aku kemudian yakin, tidak ada tersirat kemarahan dalam nada suaranya kala bertanya padaku tadi. Karenanya aku berani mengangguk. “Iya. Aku sudah tahu semuanya, Pa. Dan aku kecewa karena tahunya dari Opa Ronald, kenapa bukan dari Papa? Dan sejujurnya sekarang aku sedang berusaha berdamai menerima keadaanku. Aku mohon ke Papa untuk memberi tahukan di mana letak makam Mama kandung aku.” “Rheina..” “Pa, jangan beralasan Papa nggak tahu lokasinya atau apa. Rheina nggak percaya. Kalau Papa berziarah ke makam Mama Hani, maka Papa pasti juga berziarah ke makam Mama kandung aku.” “Rheina kecewa karena Papa menyembunyikan semua itu dari Rheina.” “Rheina, kamu salah paham. Papa hanya menunggu saat yang tepat untuk memberitahukan ke kamu. Papa takut cara Papa salah dan membuat kamu merasa terpuruk.” “Itu hanya alasan Papa.” Papa mendengkus pelan. “Papa nggak akan mau bertengkar lagi seperti tadi malam Rheina. Hati Papa sakit kalau ingat kamu sampai mengancam akan melompat dari mobil.” Lidahku langsung terasa kelu. Padahal aku ingin mengucapkan kata maaf. Tetapi alangkah sulitnya. Yang terbayang di pikiranku adalah Tante Garnetta yang menurutku ‘terlalu berusaha’ itu. Dan aku terganggu. Sungguh terganggu. Padahal aku tahu bukan hal mudah bagi Papa untuk mengucapkan pengakuan sebagaimana barusan. Papa kan Orangnya keras hati. Persis sama Bang Rusli. Dan dia masih meragukan kalau Bang Rusli adalah Anak kandungnya? Keterlaluan. Kerasa kepala dan keras hatinya sama begitu, kok! “Kamu kuliah jam berapa, hari ini?” tanya Papa kemudian. “Papa nggak usah mengalihkan pembicaraan,” ketusku. “Rheina, Papa nggak ada maksud untuk melakukan seperti yang kamu sangkakan ke Papa barusan. Karena ceritanya panjang dan rumit. Papa nggak mau kamu terlambat berangkat ke kampus.” “Kelvin tadi tanya mau dijemput atau nggak. Dan Papa kan bisa singkat ceritanya.” Papa menggeleng. “Kalau Papa singkat-singkat, nanti kamu akan salah mengerti.” “Pa...” Aku mulai merajuk. Biasanya manjur, Papa bakalan luluh. Tapi kali ini ajaib, Papa bertahan. “Kamu telepon Kelvin. Bilang kamu mau dijemput. Kamu kuliah dulu. Nanti malam Papa akan ceritakan. Semua. Tanpa ada yang Papa sembunyikan lagi. Dan akmu boleh bertanya apa saja.” “Papa janji?” Papa mengangguk sambil memejamkan mata. “Terima kasih, Pa.” Papa mengelus kepalaku. “Justru Papa yang harus berterima kasih ke Opa Ronald yang sudah membantu menyampaikan tentang hal ini ke kamu. Dan juga berterima kasih ke kamu karena ternyata kamu ini mempunyai hati yang kuat. Selama ini Papa kebingungan bagaimana dan kapan menyampaikan semua ke kamu, tanpa harus melihat kamu hancur dan menyesali apa yang telah terjadi. Padahal jelas semuanya itu adalah salah Papa, bukan salahmu.” Hatiku tersentuh. Kuraih tangan Papaku dan menempelkan punggung tangan Papaku ke pipiku. Dulu, setiap kali aku merengek, menangis dan menjerit-jerit meratapi kepergian Mama Hani, mogok makan, membanting-banting barang, maka yang dilakukan Papa untuk menenangkan aku adalah menggendongku, lalu menempelkan punggung tangannya ke pipiku. Papa mengusap pipiku dengan tangannya yang bebas. “Papa bangga. Rheinatta Gadis kecil Papa ternyata jauh lebih kuat dari yang Papa kira,” kata Papa. Aku tersenyum dan mengoloknya, “Makanya jangan meremehkan Rheina, Pa.” “Kamu telepon Kelvin sana.” Aku menggeleng. “Itu nanti. Kita masih punya urusan yang belum tuntas, Pa.” Mata Papa menyipit. “Apa lagi? Kan Papa janji untuk mengisahkan tentang Mama kandung kamu nanti malam?” “Bang Rusli.” Papa mengembuskan napas panjang. Terlihat betapa dia merasa lelah. Ya, tadi malam juga aku sudah menyinggung tentang hal ini. Aku mengeluh karena baik Papa maupun Bang Rusli sama-sama bertahan dan sepertinya saling menghindari. Dan dengan egois, aku menuntut agar Papa, sebagai Orang tua, yang seharunya mengalah dan membuka komunikasi terlebih dulu. Dalam keadaan emosi, dengan kurang ajarnya, aku berkata bahwa Papa berhutang banyak kasih sayang, waktu, dan perhatian yang seharusnya diberikan seorang Papa. Dan Papa tersinggung. “Kamu ini sok tahu! Sangat sok tahu!” Itu yang tadi malam diucapkan oleh Papa. Tapi aku tak peduli. Maka sepertinya, pertengkaran akan tersulut kembali. “Pa...” “Rheina, kamu ini maunya apa?” “Kalau Papa nggak merangkul kembali Bang Rusli, sebaiknya begitu lulus kuliah, Rheina tinggal di Surabaya saja. Rheina mau ikut Bang Rusli. Biar Rheina bisa sedikit merasakan, Orang itu kalau jauh dari Papanya, kekuarangan kasih sayang Papanya seperti apa.” “Jangan kurang ajar lagi, Rheina.” “Pa, Rheina nggak bermaksud begitu. Hanya saja, sampai dengan detik ini Rheina merasa Papa nggak adil.” “Nggak adil bagaimana maksudmu?” Aku sudah ragu, kalau pertengkaran ini berlanjut, apakah aku masih sanggup menjaga sopan santunku terhadap Orang tuaku yang tinggal satu-satunya ini. Karenanya aku bertanya, “Begini saja Pa, jawab dengan jujur, apakah Papa mau Bang Rusli melakukan tes dna dulu baru Papa percaya bahwa Bang Rusli adalah Anak Kandung Papa?” Papa tidak menjawab. Kesal aku jadinya. “Ya sudah Pa, Rheina sudah tahu jawabannya. Pertanyaannya Rheina ubah, apakah Papa bersedia melakukan tes dna?” Papa terperangah mendengar pertanyaanku. “Jangan keterlaluan kamu Rheina!” “Rheina anggap jawabannya adalah Papa menolak. Dan itu karena Papa memang sudah terlampau benci sama Bang Rusli. Dan Papa sudah terlalu yakin bahwa Papa diselingkuhi. Dan Papa takut kalau hasil tes dna nanti membuktikan bahwa Bang Rusli adalah Anak kandung Papa, maka Papa akan malu.” Papa menggeleng-gelengkan kepala. Aku melihat tatapan lelah di matanya. Bagiku, itu bukanlah solusi. Papa harus memberikan kepastian kepada Seorang Anak yang telah sekian lama memendam luka batin karena tidak diakui sebagai Anak kandung. Dan aku harus menyadarkan Papa soal ini. Aku akan mencoba berbagai cara sampai Papa membuka matanya dan menarik kembali Bang Rusli ke tengah-tengah kami. “Pa, Rheina merasa sebagai Penumpang gelap di sini.” Papa berdecak. “Kamu ini ngomong apa lagi, Rheina?” “Pa, Bang Rusli itu Anak kandung Papa. Anak yang lahir dari pernikahan yang sah, tetapi terpaksa menempuh kehidupan yang keras dan nggak mudah, memelihara sakit hati semenjak keluar dari rumah ini. Apalagi Bang Rusli juga menyaksikan sendiri penderitaan Mama Hani sebelum meninggal. Sedangkan Rheina, enak-enakan di sini, memonopoli Papa hanya untuk Rheina sendiri, padahal Rheina adalah Anak haram. Rheina ini adalah Anak yang tidak dikehendaki.” “Berhenti mengatakan itu Rheina!” Suara Papa meninggi. Aku saja sampai tersentak. Papa menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan memegang kepalanya. Aku jadi cemas. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. “Pa...” * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN