Bermula Dari Sana (3)

1664 Kata
POV Kelvin Gue nggak tahu pasti, kapan tepatnya ‘rasa’ itu terbit. Rasa yang sulit buat gue deskripsikan. Rasa yang bagi gue gado-gado banget. Merasa suka kalau berdekatan sama dia, peduli sama dia, dan kepengen tahu lebih banyak lagi soal dia. Yang jelas, gue kok nggak merasa ekspresifnya Rheinatta itu sebagai sebuah hal yang mengganggu lagi, ya? Malahan lebih parah dari itu, gue ini justru merasa kasihan pas dia kesakitan sewaktu diurut sama Bu Shandra. Gue sampai bilang ke dia, kalau mau nangis, ya nangis saja nggak perlu malu dan nggak perlu ditahan-tahan. Tapi Cewek yang celetak-celetuk sedari detik pertama ketemu gue itu, mendadak seperti jaga image di depan gue, sepertinya dia gengsi kalau kelihatan menangis di depan gue. Ngapain sih? Padahal jelas-jelas dia meringis kesakitan. Malahan sempat gue melihat mata dia juga sudah berkaca-kaca. Sampai-sampai, gue yang mengambil tindakan. Gue minta tolong supaya Bu Shandra menjeda beberapa kali supaya dia sempat ‘bernapas’ sedikit. Lantaran gue merasa itu belum cukup, gue spontan menggenggam tangan Rheinatta, dan meminta ke Rheinatta supaya meremas tangan gue kuat-kuat setiap kali dia merasa sakit. Bu Shandra berdeham kecil namun kemudian menangguk mendukung usulan gue. Nina senyum-senyum menggoda, dan sesekali gue memergoki dia berkomunikasi sama Rheinatta pakai bahasa isyarat. Yang lebih parah, pada sebuah jeda, gue sempat mendengar Nina yang mencondongkan kepalanya ke telinga Rheinatta, setengah berbisik ke Rheinatta, “Ehm. Kelihatannya bakal ada yang menarik perkataannya nih. Tadi sih ada yang marah-marah dan bilang kalau dia kapok, nggak mau ikut kegiatan beginian lagi dan pilih nongkrong manja di kafe. Naga-naganya yang terjadi nanti adalah kebalikannya. Rhein, sadar deh, secara nggak langsung, karena elo ikut gue, jadi ketemu sama Salah satu Pangeran-nya klub Pecinta Alam di kampus kita. Bilang apa ke gue? Bilang terima kasih, ayo! Traktir gue ya, sepulang kita dari sini!” Gue melihat Rheinatta mengerling ke arah Nina, memperingatkan agar Teman-nya itu tutup mulut. Tapi sewaktu tatapan matanya tertaut sama gue, gue melihat senyumnya manis sekali. Lucu banget. Dia sama sekali nggak protes, nggak melepaskan tangannya dari genggaman tangan gue, padahal kan nggak sedang diurut. Nina iseng tertawa kecil, dan di saat yang sama Bu Shandra tersenyum maklum. Dia pasti pernah semuda kami, kan? Pasti paham dong, urusan Anak muda! Bramantyo yang berdiri agak jauh dari kami berlagak sibuk menyulut sebatang rokok ketika Bu Shandra bertanya apakah Rheinatta siap untuk diurut kembali dan Cewek itu mengangguk. Ah, tapi gue nggak peduli. Gue merasa saat ini yang paling penting adalah Rheinatta. Toh, Rheinatta juga kelihatannya cuek tuh. Dia nyaman-nyaman saja di posisi macam itu. Dan waktu cepat berlalu. Memang nggak setiap kali gue sama dia bisa ngobrol saat acara bebas, di sisa waktu camping itu. Rheinatta masih belum berani jalan terlalu jauh. Dan gue juga sering membantu Para Senior gue yang menjadi Panitia acara camping akbar ini. Tapi toh, seingat gue enggak butuh waktu terlalu lama sampai gue dan Rheinatta akhirnya benar-benar jadian. Jujur harus gue akui, kalau mau pakai acara hitung-hitungan, Rheinatta yang lebih banyak menyesuaikan diri. Buktinya? Dia masuk ke klub Pecinta Alam! Sesuatu yang sama sekali nggak pernah gue perkirakan! Dan Siapa sangka, terlepas dari apa motivasi awalnya, apakah karena dia kepengen gue juga ‘menindak lanjuti’ perkenalan kami ataukah hal lainnya, gue melihat dia cukup enjoy saat latihan rutin. Benar-benar di luar ekspektasi gue! Dan gue nggak menyangka, ternyata Cewek satu ini nggak selemah dan nggak secengeng yang gue kira! Dan lama-kelamaan, gue jadi berpikir, Rheinatta ini nggak semata masuk ke klub Pecinta Alam karena gue. Dia seperti paket lengkap di mata gue. Seringnya dia berada di sekeliling Para Anggota klub Edelweiss yang mayoritas Cowok dan sebagian besar adalah Senior kami, nggak membuat dia kehilangan pembawaannya yang ceria dan apa adanya itu. Dia rajin ikut latihan fisik, tapi juga tetap menjaga penampilan dia yang menggemaskan. Ya ampun, kadang-kadang rambut dia yang diekor kuda itu bergoyang-goyang sewaktu dia melakukan pemanasan atau memanjat wall climbing. Gue nggak bisa lupa, di awal-awal dia juga suka mencari perhatian gue dengan menunjukkan telapak tangannya yang lecet tergores tali. Tapi di saat lain, dia juga rajin membawa bekal makanan dan minuman yang bukan hanya buat dia, tapi juga lebih dari cukup untuk dibagikan ke gue dan beberapa Teman kami. Lumayan detail, kan, Orangnya? Mana mungkin gue nggak tambah sayang sama dia dan cepat-cepat mengungkapkan perasaan gue ke dia, supaya nggak keduluan yang lainnya. Bukan rahasia lagi, ada beberapa Senior yang juga naksir sama Rheinatta. Malahan ada yang terang-terangan menggoda Rheinatta di depan gue, dengan mengatakan bahwa Rheinatta itu terlalu cantik untuk aktif di ekstra kurikuler yang lebih banyak menggunakan kekuatan fisik begini dan sebaiknya mengikuti kegiatan lain yang lebih ‘aman’. Ada juga yang menawari untuk mengantar Rheinatta pulang seusai latihan atau ketika kami mengadakan kegiatan di luar kampus. Ya wajar sih, karena pada saat itu status hubungan gue sama Rheinatta masih sekadar ‘berteman’. Tapi Seorang Rheinatta tak bergeming. Ini kalau gue nggak ge er, dan rasanya memang demikian, kok! Rheinatta itu memang maunya hanya dengan gue. Terbukti, dia nggak pakai sok gengsi atau sok berlama-lama menggantung-gantung perasaan gue dengan bilang, “Hm, kasih gue beberapa waktu buat kasih jawabannya, ya.” Dia bukan Cewek macam itu. Walau bukan berarti dia ‘murahan’ juga. Benar dia nggak langsung menerima ungkapan perasaan gue, tapi gue bisa melihat di mata dia, bahwa sebenarnya gue sudah mendapatkan hatinya dia, hanya tinggal sedikit bersabar menanti dia kasih jawaban pasti ke gue. Walau memang, ada beberapa hal yang dia bilang ke gue saat itu. Beberapa hal yang mirip-mirip sama ‘persyaratan’ tapi gue nggak merasa seperti itu. ... Astaga! Gue baru ingat sekarang! Bukannya semenjak awal Rheinatta sudah mengisyaratkan bahwa dia melihat gue dan menerima gue apa adanya dan meminta agar gue melakukan hal serupa, bukannya saling memengaruhi dan menunjukkan egoisme dengan menyuruh Pihak lainnya untuk mengikuti kemauan masing-masing? Gue tahu gue nggak berhak untuk mengubah dia sesuai kemauan gue. Ya Orang dia sendiri juga nggak ada menuntut gue harus begini dan begitu kok! Rheinatta kan memang ‘Gadis kota’! Dia Cewek yang seolah punya banyak dunia. Dia itu seperti air. Dia bisa berteman dengan Nina yang suka mencoba ‘selingan’ kegiatan meski sehari-hari lebih suka membenamkan diri di perpustakaan kampus. Dia juga bisa bercanda dengan Teman-temannya yang lain, juga bersenang-senang menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan, memburu segala macam aksesories khas Cewek. Kalau soal dia suka hang out dan mencoba tempat nongkrong baru, nggak perlu ditanya. Intinya, dia juga suka tempat-tempat yang ramai, termasuk menonton konser musik. Kenalannya Rheinatta itu bukan hanya dari kampus kami. Nggak heran, sewaktu Nina pindah kampus dan Erni serta Doni, Pacarnya cuti kuliah, sesekali Rheinatta masih bertukar kabar sama mereka. Itu baru masalah kebiasaan yang sebenarnya beda sama gue. Soal kepribadian, hhh..., jangan tanya. Satu hal yang membuat gue paling terganggu ya masalah dia yang masih suka clubbing itu. Ups! Ada senggolan di lengan gue. “Hon, kamu kenapa malahan diam, nggak jawab aku?” Gue mengeluh dalam diam. “Kamu bosan ya sama aku?” tanya Rheinatta, mengejutkan gue. “Mana mungkin, Bee!” “Tapi aku merasa memang ada yang salah di hubungan kita. Aku semakin merasa kamu menjauh. Hon, apa kamu lagi naksir sama Cewek lain, terus kamu mau cari gara-gara supaya kita berantem dan akhirnya aku minta putus?” Gue terperangah. “Kamu ngomong apa sih, Bee!” Rheinatta terlihat murung. Ya ampun, sakit hati gue melihatnya dalam keadaan begitu. Padahal gue kan nggak ngapa-ngapain dia. Dia kan, yang lebih sering membuat gue malu dan terpojok? Dia kan, yang sering ‘bocor’ mulutnya? Dia kan, yang nggak bisa sedikit kalem? Eh, sebentar deh..., nggak ngapa-ngapain dia? Bukannya gue...? “Hon, aku butuh kamu jujur. Kalau memang ada yang lain...” Perkataan Rheinatta begitu lirih. Heran, ini Cewek kenapa bisa-bisanya mikir sampai ke sana, sih! Apa ini yang dibilang bahwa sesantai-santainya Seorang Cewek, sespontan apa pun sikapnya, se-easy going apa pun dia, punya firasat yang kuat? Lha tapi kan gue memang nggak menduakan dia. Enggak, kok! Atau..., belum? Mendadak sebuah wajah berkelebat. Gue buru-buru menghalaunya. Gue menyangkal dalam hati, apa yang terlintas barusan. Enggak. Enggak mungkin! Gue merasa komunikasi gue sama Rheinatta memang agak memburuk belakangan ini, tapi kan bukan karena faktor ‘godaan’ macam itu. Ini soal dia merasa kurang diperhatikan doang, kan? Gue mengelus lengan Rheinatta. “Jangan mikir yang enggak-enggak, Bee. Nggak ada apa-apa, kok.” Rheinatta menggeleng. “Terserah kamu, Hon. Aku cuma mau bukti.” “Nggak ada yang harus aku buktikan. Semua baik-baik kok.” “Aku ke kelas dulu deh.” Gue menatap dia dengan pandangan putus asa. Selalu saja begini. Setiap kali ketemu jalan buntu di komunikasi kami, yang ada kami meredam dengan cara yang sama. Gue khawatir kalau-kalau semua ini akan menjadi bom waktu dan meledak pada saatnya nanti. Eh tapi Bee, semua baik-baik saja, kan? Kamu masih sayang ke aku kan, sama seperti selama ini? Karena aku juga sayang ke kamu. Sayang banget, malahan..., batin gue. “Ayo aku antar kamu,” kata gue. Rheinatta tak merespons. Dan sialnya, saat itu selintas gue melihat Si Adik kelas itu masih melihat ke arah kami. Ini Anak, maunya apa sih? Mau ngajak perang terbuka? Mau ngajak berkompetisi sama gue? Semestinya dia tahu dan sadar diri, dia itu Adik kelas, Junior! Sedangkan Para Senior kami dulu saja kalah saing sama gue dalam memperebutkan hati Rheinatta. Dan saat itu Rheinatta masih belum punya Pacar. Nah ini! Kalau pinjam omongan Bramantyo, nyaris seisi kampus juga tahu bahwa Rheinatta itu Pacar gue. Huh! How dare you! Gerutu gue dalam hati. Tapi ngomong-ngomong, apa gue terlalu sensitif saja? Jangan-jangan itu Adik kelas nggak bermaksud begitu? Atau karena..., gue sendiri...? Bram! Apa tadi itu dia cepat-cepat pergi juga karena alasan ini? Karena dia menangkap ada yang nggak beres? Dan itu pangkal persoalannya bukan di Rheinatta, tapi di... gue? Gue buru-buru menggelengkan kepala. Enggak! Enggak! Gue nggak seperti itu! Gue tahu banget tentang diri gue! Sangkal gue dalam diam. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN