POV Kelvin
“Makanya, kalian tuh pacarannya jangan di tempat umum dong! Pas ramai gini, lagi! Mau jadi tontonan gratis apa? Jangan malu-maluin Edelweiss deh! Jaim sedikit, kenapa? Nggak kasihan apa, yang melihat kalian malah jadi risi dan memilih buat menyingkir?” cerca Bramantyo yang kembali menghampiri kami sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia menyeringai, mengejek kami berdua secara terang-terangan.
Khawatir Rheinatta tersinggung sama ucapannya yang kurang disaring ini, gue langsung mengambil ancang-ancang buat menenangkannya. Lucunya, alih-alih tersinggung, Rheinatta justru mengangkat mukanya dan tersenyum nakal, lalu mengerling ke gue. Gue membalas dengan kerlingan serupa serta elusan lembut di pipi mulusnya.
“Hadeh! Sinetron banget kalian berdua! Benar-benar jenis kemesraan yang bikin orang lain kepengen ngerasain juga! Ngerasain mau menimpuk pakai balok, maksudnya, buat menyadarkan dan memperingatkan kalian supaya mencari tempat lain yang lebih privat. Heh, peduliin tuh kesehatan mata dan hati orang lain yang melihat, s***h, especially para Jomblo ngenes,” cetus Bramantyo, lebih ditujukan kepada Rheinatta. Mereka berdua kan, kalau berdebat memang seru.
“Bram, jealous ya? Makanya, cari Gandengan gih, sana! Masa’ sih, Cowok ‘top ten’ model elo ngejomblo melulu? Entar nih, kalau ada ‘rumor’ beredar di kampus, bahwa elo punya kelainan, gue sama Kelvin nggak bisa bantu apa-apa lho, ya! Soalnya, kita berdua juga lama-lama bingung, elo masih suka sama Cewek nggak sih, sebetulnya?” timpal Rheinatta tanpa tedeng aling-aling. Beruntung, kalimat terakhirnya diucapkan dengan suara yang super pelan, sehingga aku yakin, tak terdengar jelas di telinga Bramantyo.
Bramantyo mengembangkan kedua lengannya.
“Siapa yang jealous? Rheina, seisi kampus udah enek kali, disuguhin pameran kemesraan kalian sejak awal semester dua. Ibarat adegan film, udah basi, nggak ada gregetnya,” sahut Bramantyo ringan.
“Cepatan lulus dan nikah deh, kalian,” sambung Bramantyo setelahnya, sembari melirik sejenak ke arahku, seolah menantangku. Gue berlagak tidak mendengar.
“Hm, bukan enek, tapi iri dengan tingkat keharmonisan gue sama Kelvin,” timpal Rheinatta dengan bangga. Pernyataan yang tidak terlampau berlebihan, menurut gue.
“Bram, begini deh. Gue kenalin lo ke Kalista deh, ya? Gue yakin, kalian berdua saling suka, deh. Kalau akhirnya jadian, lo cukup jamin kemakmuran gue sama Kelvin selama sebulan. Enteng banget kan, kalau dibandingkan sama investasi masa depan? Masalah hati, lho, Bram! Tidak ternilai harganya. Deal, ya?” tantang Rheinatta dengan mimik muka yang super serius.
Ya ampun, bisa-bisanya Pacar gue bergaya seperti tukang obat yang menawarkan dagangan di pinggir jalan itu, tetapi menyelipkan unsur pemerasan pada Bramantyo. Jujur saja, gue kepengen banget ketawa ngakak. Tetapi entah mengapa, rasanya di detik ini gue mulai merasa Rheinatta keterlaluan. Setidaknya kali ini.
Sedangkan Bramantyo diam tak berkomentar. Dia terlihat enggan untuk menyahuti Rheinatta. Dan gue belum sempat memperingati Rheinatta.
“Mau ya, Bram? Gue dari tadi ngelihat kelakuan elo, tau! Sebagai Seroang Sohib, gue peduli sama kesehatan mental elo. Udah gitu, lo itu kan Sohib kentalnya Yayang gue,” kejar Rheinatta gigih. Dia mengabaikan gue yang terus-terusan memberi kode ke dia untuk diam.
Sekarang Bramantyo mesem kecil mendengarnya, hanya melipat kedua lengannya, merapatkannya ke d**a bidangnya.
“Braam! Kok, gue ngomong dikacangin terus, sih!” Rheinatta merajuk.
Bramantyo memalingkan wajahnya. Dia mengembuskan napas panjang sebelum menjawab, dan menyempatkan menatap sebentar ke arah panggung, pada beberapa sambutan membosankan yang tengah berlangsung.
Aha, rupanya yang menyusun acara pintar, sambutan ditempatkan di tengah-tengah, sehingga rangkaian acara yang berlangsung tidak membosankan. Umumnya kan, sambutan-sambutan adanya di awal, itu sebabnya orang jadi ngaret dateng ke tempat acara, ya nggak? Mau tak mau, gue harus mengakui, ini terobosan cerdas dari Para Anak Sastra!
“Rheinatta, soon to be Mrs Kelvin Wiryawan. Just for your information, tadi gue melihat Kalista, karena gue kepengen tahu, ini rupanya Kalista yang tulisan-tulisannya beragam itu. Yang banyak diomong sama Orang,” kata Bramantyo akhirnya.
Begitu datar, seolah bermaksud membuat Pacar gue berhenti membahas tentang Kalista.
Gue yang terusik mendengar perkataannya, soon to be Mrs Kelvin Wiryawan.
Aaah, mendadak gue merasa demikian gentar. Tetapi Syukurlah, Rheinatta gagal fokus pada bagian yang itu. Dia sih, tetap mengejar yang berkaitan dengan Kalista. Persistent, dia!
“Then?” Rheinatta bertanya sembari mengerjapkan mata menggoda.
“Then apaan, Rheina? Ya udah, gitu aja!” sahut Bramantyo dengan ringan.
“Hiih bokis banget!” Rheinatta mencibir.
“Bokis gimana sih, maksud lo?” ucap Bramantyo acuh tak acuh.
Gue sudah mulai merasa gerah.
“Bee … sudah ah! Ngapain sih!” Gue menegur karena mulai merasa terganggu. Gue nggak suka, Sohib gue Bramantyo disudutkan begitu. Gue saja, yang sudah bertahun-tahun mengenal dan bersahabat dengan Bramantyo memilih menahan diri, cenderung malas saling merecoki urusan pribadi masing-masing, kalau tidak dimintai pendapat dengan sengaja.
“Braaaam … gue kenalin ya sama dia? Daripada entar nyesel kalau dia sudah telanjur digebet sama Orang lain. Banyak banget lho yang mengincar dia, soalnya! Salah satunya, tuh, si Michael, biangnya klub debat Inggris di kampus kita! Dia itu memenuhi syarat banget buat jadi saingan elo ngerebut hatinya seorang Kalista,” Rheinatta menunjuk ke arah tertentu.
Siapa sangka, pada saat bersamaan, Orang yang dimaksud Rheinatta, juga tengah melihat ke arah kami. Pada Rheinatta seorang, tepatnya.
Gue jelas merasa amat terusik.
Heh, itu yang namanya Michael?
Otomatis, mereka berdua beradu pandang. Gue nggak tahu pasti, inikah distraksi yang ampuh agar Rheinatta tak lagi menggerecoki Bramantyo? Sejujurnya, ini dilema buat gue.
Yang selanjutnya gue pergoki, Rheinatta justru tersenyum, diam-diam melambaikan tangannya pada Michael. Gue terusik lagi. Mimik mukanya kok centil begitu? Mana dia sengaja mengedipkan mata segenit mungkin, pula? Pasti dia tidak tahu, bahwa gue mengawasinya diam-diam, di tengah kedongkolan yang menyenak.
Dan dasar Cowok, Michael langsung membalas dengan senyum paling menawan yang dia punya, balas melambaikan tangan pada Rheinatta-nya gue. Beberapa saat keduanya bermain mata. Astaga! Si Michael ini manusia atau bukan sih, kok bisa-bisanya menggoda Seorang Cewek, yang jelas-jelas lagi bersebelahan sama Pacarnya? Nyalinya terlalu besar, atau malahan urat malunya sudah putus?
Gue sudah tergoda untuk berdeham keras, mendistraksi ulah dua Orang ini, namun satu sisi hati gue mencegah.
Ya, mendadak gue jadi kepengen tahu, bakal sampai di mana aksi mereka. Gue mulai berpikir, Sosok yang membuat Rheinatta gugup saat gue menanyai dia tadi, pastilah Michael!
Kurang ajar! Adik kelas, mau menikung Kakak kelas? Nyali elo sebesar apa, berani-beranian main mata sama Pacar gue, di saat dia berdiri sebelahan sama gue? Dipikirnya gue nggak melihat ulah kalian berdua?
“Ada yang kena bidikan Cupid?” Gue akhirnya menyindir karena meradang melihat Rheinatta dan Michael seolah terhubung frekuensi yang sama, terlarut dalam situasi yang tercipta. Entah situasi macam apa. Yang jelas, gue merasakan itu sebagai ancaman bagi hubungan gue sama Rheinatta. Tapi masa gue harus memarahi Pacar gue di tempat umum? Enggak banget, kan?
“Iya. Nih, si Bram Orangnya!” Timpal Rheinatta. Dia langsung menunjuk ke hidung Bramantyo.
Tapi gue merasakan betapa suara Rheinatta bergetar.
Bee, kamu barusan berselingkuh, biarpun baru sekadar perasaan! Aku melihatnya dengan mataku! Dan aku rasa kamu juga ada perasaan cemas kan, kalau-kalau aku memergoki apa yang kamu lakukan barusan?
Gue merasakan ada tepukan di pundak gue. Bramantyo. Sebuah isyarat agar gue sedikit bergeser dari tempat semula. Lantaran sedang panas hati pada Rheinatta, gue menuruti isyarat Bramantyo, bergeser tanoa bilang apa-apa lebih dylunke Rheinatta.
“Vin, kadang gue bingung, Cewek lo itu ternyata Biang gosip juga ya?! Ha ha ha … kok lo betah sih, elo pacaran sama dia?” ejek Bramantyo pelan.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $