Rasa Tak Nyaman Itu... (1)

2089 Kata
POV Kelvin Gue mengaduk es teh lemon yang disediakan sama Mbak Dariah, Pelayan baru di Kantin Mang Suria. Saking barunya, kelihatannya dia sampai belum piawai buat memastikan gulanya teraduk sempurna. Pakai acara grogi lagi, pas tadi dia menaruh gelas jumbo itu di depan gue. Hampir saja itu gelas tumpah. Padahal jangankan memerhatikan dia dengan saksama, melihat sekilas juga gue rada malas. Soalnya dari tadi gue perhatikan, ada beberapa Orang yang mengeluh karena dia salah mengantarkan pesanan Pengunjung Kantin. Ternyata, nggak cuma gue yang lagi kurang konsentrasi di kantin Mang Suria ini, ya! Bramantyo menyenggol tangan gue. Lumayan keras. “Apa?” tanya gue. “Itu Pelayan baru Mang Suria sepertinya naksir sama elo. Elo apain sih?” Gue tertawa hambar. Bramantyo menatap gue dengan penuh selidik. “Vin, kenapa? Kelihatannya lagi nggak semangat begitu. Acaranya kurang asyik, sama Si Marvel? Atau kurang? Sudah pakai bolos satu hari juga,” ucap Bramantyo bernada mencemooh. Gue mengedikkan bahu. Lama-lama gue merasa, gaya bahasa Bramantyo kok jadi mirip sama Rheinatta. “Ada masalah?” tanya Bramantyo kemudian. Gue mengernyitkan dahi gue. Jadi sensi nih gue dan merasa dia kepo. Nggak mungkin kan, kalau gue bilang terus terang bahwa gue lagi mencurigai Rheinatta ke Bram? Kesannya seperti Cewek yang lagi curhat ke Sahabatnya. Tapi nggak tahu deh, gue memang merasa Rheinatta berubah. Gue merasa dia membohongi gue. Cuma, gue belum tahu, dia membohongi di mananya. Itu doang. Gue ingat-ingat, semenjak kami berdua menonton Art Hours, memang ada ganjalan. Ada sedikit ribut-ribut. Tapi ujungnya nggak pernah tuntas. Kalau enggak karena gue yang membujuk dia habis-habisan, ya memang dia yang capek sama aksi ngambeknya. Dia kan memang pada dasarnya Periang. Senang berceloteh. Khas Orang Gemini. Dan sejujurnya, memang itu yang dari dulu membuat gue betah di sisi dia. Gue merasa dunia gue jadi penuh warna. Tapi nggak tahu deh..., firasat gue bilang, ada yang bergeser dalam hubungan kami. “Syl, kalau misalnya suatu saat, aku undang kamu buat mengenal kegiatan di klub Pecinta alam lebih dalam lagi, mau nggak? Buat pelengkap bahan tulisan kamu juga,” terdengar suara Kendra yang tengah memasuki Kantin. Gue mesem sendirian, dan berpikir bahwa Kendra belum sepenuhnya berhasil merebut hatinya Sylvanie setelah ‘serangan pertama’nya seusai Art Hours dulu. Tidak terdengar sahutan dari Sylvanie. Gue yakin Cewek itu cukup cerdas untuk tahu bahwa Kendra menginginkan hubungan yang lebih dekat lagi. Dan semestinya dia juga tahu arti ajakan Kendra. Hm. Mendadak gue jadi ingat sama Rheinatta. Kalau Sylvanie ikut masuk klub Edelweiss, harusnya dia senang, kan? Kan nambah Teman Cewek. Sesuai kemauan dia, kan? Siapa tahu Kendra sama Sylvanie ini awet hubungannya. “Eh, kebetulan ada Bram sama Kelvin. Hello Bram, Kelvin,” sapa Kendra. Gue melihat Kendra melayangkan pandangannya ke sekeliling area kantin, mencari meja yang masih kosong. Sylvanie tersenyum ke arah kami dan mendadak berkata, “Oh iya. Kalau aku bergabung di meja kalian, boleh nggak? Ken, kita gabung di sini kalau mereka nggak keberatan, ya?” “Boleh dong, silakan. Gue pindah ke sebelah Kelvin deh. Biar kalian berdua bisa duduk bersebelahan,” sahut Bramantyo sambil menggeser mangkuk baksonya. “Terima kasih,” ucap Kendra dan Sylvanie berbarengan saat gue mengisyaratkan agar mereka berdua langsung duduk saja. Gue mengacungkan jempol dan menunjuk ke Mbak Dariyah yang sedang melintas dekat meja kami. Dan hampir saja gue mengernyitkan kening begitu teringat candaan Bramantyo tadi. Bukannya apa, Mbak Dariyah kelihatan tersipu-sipu menatap ke gue. Ealah! Ck ck ck! Kendra langsung memanggil Mbak Dariyah yang tampak gugup mendekati meja kami. “Ada menu spesial apa hari ini, Mbak?” “Eng itu..., apa namanya..., spaghetti bolognaise. Itu..., dari tadi Orang pada memesan yang itu,” jawab Mbak Dariyah. “Kamu mau, Syl?” tanya Kendra. Sylvanie mengangguk. “Minumnya?” tanya Kendra lagi. “Jus jeruk juga boleh.” “Jus jeruk dan spahetti bolognaise dua Mbak.” “Bram, Kelvin, mau nambah apa nggak?” Gue menggoyangkan tangan, sementara Bramantyo menggelengkan kepalanya. “Itu dulu, Mbak,” kata Kendra. “B- baik.” Mbak Dariyah segera beranjak setelah mencatat pesanan Kendra. Bramantyo melirik. Setelah memastikan Mbak Dariyah masuk ke dapur kantin, dia tertawa geli. “Heh, kenapa Bram?” tanya Kendra penasaran. “Elo perhatikan nggak tingkah Pelayan itu barusan? Kelihatannya dia naksir Teman kita.” Kendra terperangah. “Siapa?” “Siapa lagi kalau bukan..., tuh!” Bramantyo menunjuk ke arah gue. “Nggosip,” tegurku malas. “Buat lucu-lucuan doang,” ucap Bramantyo mengelak. Gue tersenyum masam. “Kenapa elo jadi ketularan celetak-celetuk seperti Pacarnya dia sih, Bram?” Gue kaget sama pertanyaan Kendra yang terlalu jujur itu. Mimik muka Kendra seketika berubah sewaktu gue menatap dia. “Eh, sorry. Nggak ada maksud, Vin. Ngomong-ngomong, Rheinatta kemana? Seingat gue, sudah dua kali dia nggak ikut latihan. Apa tiga kali? Mungkin tiga kali, ya? Yang waktu itu kan elo bilang dia lagi kurang fit. Kalau yang belakangan ini kenapa? Atau karena Pacarnya juga nggak nongol?” “Masa? Padahal aku baru mau tanya kemungkinan buat mewawancarai dia juga. Dari track record yang ada, Rheinatta kan termasuk Anggota klub Edelweiss terlama dan paling konsisten. Kalau nggak ada pendapat dari Rheinatta, sepertinya kurang lengkap,” sela Sylvanie. Gue berdeham kecil sebelum menjawab, “Ada Abangnya lagi di Jakarta. Kemungkinan dia lagi puas-puasin quality time sama Abangnya.” Gue berharap jawaban itu sudah cukup. Gue nggak kepengen kalau ada pertanyaan-pertanyaan selanjutnya seperti : Memangnya Abangnya tinggal di mana? Dan seterusnya. Rheinatta enggak terlalu suka kok, menyinggung soal Keluarganya. Sama dengan gue. Oh, enggak. Gue malah bukan sekadar nggak suka, sepertinya nggak pernah membiarkan Teman-teman gue untuk tahu tentang Keluaga gue. Buat apa? Nggak perlu juga, kan? Ya kecuali kalau ada yang sudah telanjur tahu karena sudah kenal gue dari dulu. Syukurlah. Kendra dan Sylvanie mengangguk bersamaan. “Ngomong-ngomong soal ajakanku tadi, bagaimana Syl?” tanya Kendra kemudian. Tampaknya, semenjak Sylvanie datang satu kali melihat latihan klub Pecinta alam, mewawancarai Bramantyo, Kendra dan gue yang dia sebut sebagai ‘biang-biang’nya klub pecinta alam di kampus kami, Kendra seperti mendapat jalan untuk mendekati Sylvanie. Gue menarik napas lega karena Kendra kembali ke topik mereka saat masuk ke kantin. “Mau, dong?” kejar Kendra. “Eng.., boleh juga, sih,” ucap Sylvanie kemudian. Dia mengangguk dan tersenyum. Gue jadi ingat sama kedatangan Sylvanie ke ‘markas’ Edelweiss pas hari latihan. ... “Ngomong-ngomong, kalau klub Pecinta Alam Edelweiss ini kegiatannya apa saja?” tanya Sylvanie ketika dia sengaja menyaksikan sendiri Para Anggota klub Edelweiss latihan, sekitar dua minggu setelah pentas art hours. Beruntung, Rheinatta yang ramai itu mengatakan ke gue bahwa dia sedang kurang enak badan hari ini, sehingga tidak bisa datang untuk latihan. Kalau ada dia, pastilah dia sudah iseng menjodoh-jodohkan Sylvanie dengan Kendra. Namanya juga Rheinatta, paling nggak betah kalau melihat ada Orang betah menjomblo. Nggak peduli yang Dia comblangi bisa saja risih dan terganggu. Huft, gue tahu maksudnya baik, tapi... “Ngobrol sama Kendra dulu, ya Syl. Gue sama Kelvin mau latihan lagi,” Bramantyo yang rupanya paham akan ketertarikan Kendra pada Sylvanie, seolah membukakan jalan. Dia menepuk pundak gue dan berkata, “Ayo! Tanding! Siapa yang lebih cepat sampai ke atas!” Gue menangkap jelas isyarat yang tersirat dari tantangan Bramantyo. “Huh! Siapa takut! Ayo! Nah, Syl, ditinggal dulu, ya. Kendra juga Anggota lama, kok. Jadi dia paham banget, seluk beluk klub ini. Lagi pula, elo bisa sekalian ambil foto-foto gue sama Bramantyo pas latihan,” kata gue. Sylvanie tersenyum. Gue mengalihkan pandangan gue ke Kendra. “Ken, elo jawabnya jangan ngaco, lho. Entar yang ada Orang pada takut buat masuk klub ini,” tambah gue. Kendra mengacungkan ibu jarinya. Gue melihat wajah Kendra berseri-seri. Wah, pasti dia sudah nggak sabar buat segera ditinggalkan berdua saja sama Sylvanie. Kesempatan yang sempurna, kan? Gue juga paham kok. Dengan begitu, mereka berdua bakal lebih santai, ngobrolnya. Nggak melulu menjawab pertanyaan tentang klub pecinta alam, tapi memungkinkan dia untuk bertanya balik mengenai Sylvanie, kan? “Macem-macem sih, Syl. Latihan rutin begini, pasti ada setiap Sabtu dan Minggu. Ada yang datangnya tiap Sabtu saja, ada juga yang lebih memilih Minggu. Kalau yang rajin, Sabtu sama Minggu datang terus buat bakar kalori di sini. Apalagi setelah kami punya wall climbing baru, makin semangat. Kalau kegiatan keluar dari kampus, nggak jauh-jauh dari caving, hiking, camping, sama rock climbing. Ya, ada kalanya kami mengadakan aksi sosial juga, kok. Bisa lihat foto-fotonya tuh di arsip, kalau mau,” cetus Kendra, menjawab pertanyaan Sylvanie. “Oh, betul tuh. Ken, kasih lihat Sylvanie arsip foto-foto kita,” kata Bramantyo. Dia yang sudah sampai di ambang pintu ruangan kecil yang kami jadikan ‘markas’ atau basecamp klub Edelweiss, menghentikan langkah. Dia membalikkan badan seenaknya. Hampir saja badan dia menabrak gue yang melangkah di belakang dia. Gue menepuk punggung Bramantyo dan menegurnya, “Berhenti sembarangan! Pakai aba-aba dulu dong!” Bramantyo tertawa. “Ken, kasih lihat ke Sylvanie foto yang waktu kita menelusuri Goa di Jawa tengah dulu. Biar dia langsung ilfeel melihat tampang terjelek elo pas basah kuyup,” cetus Bramantyo iseng. Kendra terbahak. Tapi dia tidak menolak saran Bramantyo. Sylvanie menyambut dengan antusias Benar saja. Dia tergelak melihat foto Kendra dan beberapa Teman kami yang basah kuyup, usai menyusuri sebuah goa di daerah Jawa Tengah. Gue sendiri sedang berhalangan ikut waktu itu karena ada keperluan lain. Kendra lalu menunjukkan foto lainnya. Foto saat kami menikmati keindahan Goa Grubug dan Goa Jomblang di daerah Gunung Kidul. Seruan Sylvanie begitu heboh. “Astaga! Lihat yang ini! Keren banget! Ini yang dulu pernah dibilang the Ray of Light, ya?” tanya Sylvanie kemudian. Komentarnya itu ditujukan saat melihat foto Kendra dan Bramantyo yang seolah tengah memuja cahaya, yang datangnya dari arah atas. Gue ingat, gue sendiri yang mengambil foto itu, dengan berbagai mode. Dan gue bangga sama hasilnya. Foto saat menelusuri goa vertikal di daerah gunung kidul itu bahkan mendapatkan puluhan ribu LIKE di fanpage Klub Edelweiss dalam tempo sekejap. Kendra juga memamerkan foto gue, Rheinatta dan yang lainnya yang sedang bersandar di sebuah batu besar yang tampak bagaikan kristal. “Ini yang paling keren menurutku. Ken! Foto ini seperti membawa pesan bahwa di alam semesta yang begitu luas dan perkasa, kita hanyalah sejumlah insan yang semestinya menjaga kelestarian alam,” komentar Sylvanie barusan khas Anak Sastra sekali menurut gue. Itu adalah komentar dia selagi mengagumi foto kami yang tampak berjalan beriringan di passage way antara goa yang satu dengan goa lainnya, masih di lokasi yang sama. “Ih. Jadi iri sama Rheinatta. Rheinatta pemberani, ya,” gumam Sylvanie lirih. Kendra tertawa dan menyahut, “Namanya juga Pacarnya Kelvin. Bohong banget kalau enggak kepengen melihat yang indah-indah begitu.” Gue melihat, mata Sylvanie sampai berbinar-binar. Cewek itu nggak ragu untuk menunjukkan kekagumannya. Gue bisa merasakan betapa dia ingin seperti Rheinatta dan Sejumlah Cewek lain yang ada di sana! Dan kalau gue nggak salah nih, selanjutnya gue malah menangkap gestur yang jelas dari Sylvanie. Yup, dia sepertinya nggak sadar masih ada gue dan Bramantyo di ruangan kecil itu. Dia menatap Kendra dalam-dalam, seolah berkata, “Ajak aku lah, kegiatan macam ini. Tapi jangan lupa, jagain aku.” Dan selayaknya Orang yang berada di satu frekuensi yang sama, Kendra juga sepertinya mengabaikan kehadiran kami berdua. Tatapan Sylvanie mungkin membuat Kendra tertantang. Tanpa gue harus berpikir keras, gue yakin bahwa saat itu pula keberanian Kendra muncul seiring tekadnya. Memang sudah seharusnya begitu, kan? Iyalah, sebagai Cowok yang normal, semestinya apa yang ditangkapnya di mata Sylvanie, adalah sebuah isyarat jelas bahwa Cewek itu setuju kalau Kendra terus melakukan pendekatan dan penjajagan. Bodoh kalau dia nggak segera bertindak, kan? Lucunya, Bramantyo malah membuat ulah dalam situasi macam itu. “Sylvanie belum lihat yang foto Kelvin sama Rheinatta lagi jalan berdua di hutan purba, ya?” tanya dia. “Belum, Yang mana?” tanya Sylvanie antusias. Gue melihat Kendra langsung mencari-cari foto yang dimaksud sama Bramantyo. “Ini nih, Syl.” Mata Sylvanie langsung membulat. “OMG! Bagus banget! Rheinatta itu cantik banget ya. Cantiknya alami. Dia nggak pakai make up dan berpakaian kasual begini saja sudah terlihat super kinclong. Ini Siapa yang ambil foto-fotonya? Cakep sekali! Seperti sesi foto pre wedding. Ekspresinya dapat.” Untung gue nggak lagi minum pas dia bilang begini. Kalau lagi minum, gue pastikan gue tersedak. Maka gue hanya batuk-batuk kecil menanggapi ucapan spontan Sylvanie. Bramantyo menoyor lengan gue dan berkata, “Tuh. Ada yang mendoakan supaya kalian cepat-cepat menikah. Elo buruan deh, lulus dan cari kerjaan yang bagus. Terus buruan elo lamar itu Rheinatta.” Gue terdiam. Ada selintas rasa gentar yang menyelinap di hati gue. Dan gue tahu kenapa. Sangat tahu. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN