Rasa Tak Nyaman Itu... (2)

1279 Kata
POV Kelvin Untung saja sebelum gue terlarut lebih jauh ke dalam suasana yang kurang kondusif itu, Kendra sudah menebah dadanya dengan sombong. “Nggak usah cari jauh-jauh. Ini dong, Orangnya, yang memotret mereka. Bagus kan, hasilnya?” Gue melihat ada rona merah yang menjalari paras Sylvanie. Gue sudah mau menarik tangan Bramantyo dan mau mengajaknya untuk segera pergi meninggalkan Sylvanie dan Kendra. Tapi Bramantyo sepertinya masih ingin menyampaikan sesuatu hal. “Syl, nanti di tulisannya tolong dibuat yang bagus. Jadi bisa sekalian nitip untuk promosi. Bagus lagi kalau kamu juga sesekali ikut kegiatan di sini.” Sylvanie diam sesaat. Barangkali dia sedang berpikir, kegiatan apa gerangan yang paling cocok untuk dia coba. “Tapi nanti kamu ikut kegiatan yang super aman dulu,” potong Kendra segera. Pas. Terwakili, kan? “Iya, deh, namanya juga new bie,” kata Sylanie pelan. “Ha ha ha... new bie. Istilahnya itu lho...” sahut Kendra yang terbahak. “Bram, ayo! Katanya mau latihan, malah kelamaan parkir di sini!” Gue menyadarkan Bramantyo untuk segera beranjak. “Oh, iya. Ayo! Fotografer paling oke di Klub Edelweiss, coba ya, nanti ambil fotonya dari angle yang tepat, biar enak dilihat,” pesan Bramantyo. “Sip,” sahut Kendra. “Nanti aku bantu untuk pengambilan fotonya,” lamat-lamat gue masih mendengar perkataan Kendra. Dan setahu gue, saat itu Kendra sudah langsung memanfaatkan peluang yang terbuka. Dia mengantarkan Sylvanie pulang setelah wawancara usai. Gue sudah bisa menebak kelanjutannya. Semestinya, setelah itu mobil Kendra sesekali akan terlihat di depan pagar rumah tinggal Sylvanie. Tapi nggak tahu juga sih, kalau dari bahasa tubuh mereka, sepertinya Sylvanie belum sepenuhnya merespons Kendra. Entahlah. Mungkin benar apa kata Rheinatta dulu, bahwa Sylvanie itu Pengagum garis kerasnya Andhika. Buat soal yang begini, tergantung Kendra deh, segigih apa dia berusaha. ... “Silakan Mas, Mbak,” kata Mbak Dariyah setelah memindahkan isi nampan yang Dia bawa ke atas meja. Lamunan pendek gue langsung buyar. Gue melihat kali ini Mbak Dariyah menunduk. Dan pada saat itu pula, nggak sengaja gue mengerling ke arah Bramantyo yang tersenyum tengil. Kurang ajar Sobat gue yang satu ini. Gue tahu banget arti senyuman tengil dia. “Terima kasih,” ucap Sylvanie ramah. Mbak Dariyah mengangguk dan cepat berlalu. Selepas kepergian Mbak Dariyah, Bramantyo tertawa terbahak-bahak. “Eh, kenapa sih?” tanya Kendra. Bramantyo menunjuk ke arah gue. Gue menggeleng-gelengkan kepala. “Gosip murahan. Nggak guna,” kata gue. Untung saja pancingan Bramantyo tidak berhasil. Kami meneruskan obrolan sambil menikmati makanan masing-masing, tetapi sama sekali tak menyinggung tentang tingkah unik Mbak Dariyah yang dituduh naksir sama gue. Beberapa saat kemudian, kantin berangsur penuh. Gue mengamati, sepertinya Sylvanie mulai merasa kurang nyaman. Apalagi sewaktu sebuah teriakan melengking mampir ke telinganya. “Kendraaaa! Sama siapa? Wow, Sylvanie, ya? Teman akrabnya Kalista, kan? Eh, gimana? Kalian berdua sudah saling nyambung rupanya? Berawal dari panah Si Cupid di Art Hours, kan? Kendra, elo sudah siap keluar dari partai jomblo, ya? Atau, malah sudah? Gilee … gue kecolongan! Tapi gue bangga dan senang, dengan begitu Populasi Jomblo berkurang,” suara Rheinatta yang jauh dari merdu terdengar.  Gue yakin, itu pasti mengganggu ketentraman Kendra serta Sylvanie yang masih terlibat obrolan sama gue dan Bramantyo. Dan mungkin saking stereo-nya suara itu, Beberapa Orang di sekitar meja kami ikut menoleh ke arah Rheinatta yang melangkah mendekati gue. Gue terperangah. “Ssst … Bee, jangan teriak-teriak begitu, dong. Kalem sedikit, please …” bisik gue lirih. Dia sudah berdiri di samping gue. Gue sedikit menarik tangannya dengan lembut, menyuruhnya duduk di sebelah gue. Dia memang duduk, tapi terang-terangan melepaskan genggaman gue di pergelangan tangan dia. Gue nggak menyerah. Gue tahu dia masih kesal sama gue setelah pembicaraan kami melalui telepon kemarin. Dia marah, karena gue bolos kuliah gara-gara membela yang namanya hobby. Dia bilang, segila-gilanya dia main sama Teman-temannya, selama ini nggak pernah dengan sengaja bolos kuliah. Gue menarik napas panjang mengingat itu. Gue tahu itu alasan saja. Dasar Rheinatta sedang merasa kurang diperhatikan. Toh, setelahnya dia malah mengungkit-ungkit tentang gue yang semakin asyik sama urusan gue sendiri dan nggak peduli sama dia. Gue melirik Rheinatta dan mengelus punggung Cewek ini. Dalam hati gue mengeluh. Gue merasa heran, mengapa belakangan ini ada saja hal-hal yang kurang gue suka dari Rheinatta? Apa karena Cewek ini makin lama jadi terlalu lincah, ekspresif, bawel dan terlalu menuntut? Apa karena Cewek ini suka memancing perdebatan terus seenaknya mengalihkan perdebatan seolah semua sudah beres, tapi lain kali mengungkit lagi? Tanpa sadar, gue jadi mengingat-ingat, kapan tepatnya semua ini terasa kian mengganggu. Dan dengan mantap gue menjadikan momen Art Hours sebagai Kambing Hitamnya. Habis, kapan lagi? Sebelum itu, pertengkaran kami relatif sepele dan seingat gue terselesaikan dengan baik. Ya kalau enggak, mana mungkin kami bisa bertahan selama ini? Mendadak gue terusik sendiri sama pemikiran yang mendadak membersit di benak gue. Pemikiran yang juga aneh. Ya, mendadak gue berpikir, jangan-jangan justru gue yang mulai jenuh, jadinya ada-ada saja yang membuat gue merasa kurang sreg sama tingkah Rheinatta? Pemikiran itu langsung memunculkan Sejumlah Pertanyaan yang sungguh mengganggu pikiran gue, yang serta merta gue tepis. Gue jenuh? Sama dia? Sama hubungan kami? Nggak, lah! Sedari awal semester dua sampai semester tujuh, gue sama Rheinatta sedemikian ‘perfect’ di mata kawan-kawan sekampus. Pasangan yang jauh dari gosip, dan selalu bikin iri karena kemesraan yang enggak dibuat-buat. Ribut dan berantem kecil ada, tapi nggak pernah ada istilah ‘break’ macam anak abege, pikir gue setelahnya, menyangkal diri gue sendiri. Nyaris gue memejamkan mata dan berusaha mengembuskan napas pelan-pelan. Tapi embusan napas gue itu malahan mirip dengkusan kesal.  Akibatnya, Rheinatta menoleh. Dia menatap gue dengan pandangan bersalah. Mungkin Rheinatta memaknai hal itu sebagai ungkapan kekesalan dan berpikir bahwa gue sedang menyabarkan diri gue sendiri. Mungkin saja dia menyesal karenanya. Gue mengalihkan pandangan ke depan. Gue melihat Kendra senyum kecil dan segera menyantap hidangan di depannya. Gue mengembuskan napas lagi. Kali ini Rheinatta bertindak. “Sorry Hon-Hon, aku kelepasan ngomong!” ucap Cewek Tersayang itu. Lalu tanpa ragu Rheinatta mengelus pipi gue dan mendaratkan ciuman singkat, di sana. Mimik lucu yang dipasang sama Rheinatta, mau enggak mau mengusir kekesalan hati gue, sekaligus menggerakkan gue untuk balas menciuam pipi Rheinatta. Seorang Mahasiswi yang kebetulan melintas, melengos dengan ekspresif, seakan demikian jengah melihat dari dekat kemesraan kami berdua. “Ih, nggak lihat-lihat tempat. Itu barusan, sudah bisa masuk pasal p********i nggak sih?” celetuk Mahasiswi lain yang meninggalkan kantin dengan tergesa. Entahkah dia terlalu muak dengan apa yang disaksikannya barusan, ataukah takut akan ribut dengan Rheinatta. Dia nggak tahu ya, belakangan ini Reinatta lagi super sensitif? Pakai nyenggol-nyenggol dan mengganggu dia segala! Mujur benar, Rheinatta tak menghiraukan ucapan Mahasiswi tersebut. Dia sepertinya lebih khawatir akan reaksi gue. “Jangan marah,” bisik Rheinatta persuasif di telinga gue. Gue mengeluh dalam hati. Sejujurnya gue masih merasa bersalah sama dia. “Mana bisa marah, kalau kamu semanis ini?” Gue balas berbisik ke dia. Antara memuji campur mengeluh, mendapati hati gue yang masih saja lemah setiap kali Gadis gue yang Tercinta ini bersikap lembut ke gue. Memang gue sayang bangeet kok sama dia. Nggak kebayang sama gue apa jadinya hari-hari gue kalau enggak ada Cewek seperhatian dia di hari-hari gue. Rheinatta langsung tersenyum lega. Dia mengelus pipi gue dan berkata, “Gitu dong.” Bramantyo tertawa tanpa suara. Tumben! Lalu Rheinatta menatap Kendra dan Sylvanie. Mendadak, gue deg-degan. Gue takut kalau-kalau Rheinatta bakalan mengucapkan hal-hal yang ngawur lagi. Gue enggak mau kalau sampai Kendra dan Sylvanie terganggu sama ulahnya dia. Apalagi, pilihan kata yang dilontarkan Rheinatta barusan juga terbilang kasar, dan dapat menyebarkan benih perpecahan, buat pertemenanan gue sama Kendra. Gue langsung mengambil sikap waspada dan berusaha mencegah potensi ‘kerusakan’ yang lebih parah. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN