Sahabat Macam Apa?

1859 Kata
POV Kelvin Gue nggak tahu pasti, apa saja yang Sahabat gue, Bramantyo percakapkan sama Rheinatta. Yang jelas, saat ini gue harus terima kenyataan. Gue cuma bisa melihat semua itu dari jauh, disertai rasa sesal dan kesal. Dua rasa yang begitu menggoda gue secara konstan. Tapi di detik ini, masih mujur buat gue, karena akal sehat gue masih bekerja dengan baik. Kewarasan gue memperingatkan gue untuk mengesempingkan sejenak semua persoalan ini. Setidaknya, sampai kami semua tiba kembali di Jakarta nanti dan keadaan sedikit kondusif. Nah ini? Sampai puncak juga belum..! Gue melakukan semua ini bukan gara-gara gue sempat memergoki Nicky menatap curiga sekembalinya gue yang ‘diusir’ sama Rheinatta dengan galak tadi. Jujur, gue malahan nggak memikirkan soal itu. Juga kemungkinan pupusnya kecurigaan Nicky setelahnya. “Vin,” panggil Nicky ke gue dengan setengah berbisik sewaktu Bramantyo yang begitu telaten membersihkan luka di betis Rheinatta, menghapus air mata Cewek itu dan berbicara entah apa ke Rheinatta. Enggak mustahil juga kalau mereka ngomongin tentang gue. Gue menoleh dan mendapati pandangan mata Nicky yang dibarengi sama anggukan maklum. Dia menarik lengan gue untuk mendekat, nggak peduli kerlingan mata Sylvanie ke dia. Bisa jadi dia juga nggak sadar soal itu. Gue nggak punya pilihan selain menuruti Nicky. Gue mengangkat alis gue sebagai ganti pertanyaan apa yang mau dia bilang ke gue. “Sekarang aku mengerti. Sekarang aku paham. Dan aku ikhlas buat menerimanya,” bisik Nicky. Kalimatnya benar-benar bikin gue deg-degan. Enggak jelas banget ini Cewek satu! “Apa?” tanya gue pelan. “Ya aku jadi paham kenapa Bram mengabaikan aku. Ya Orang dia sendiri sudah punya Pacar yang satu hobby begini. Melihat mereka berdua begini, aku benar-benar harus memaafkan Bram yang rada nggak jelas dulu itu, menghindarnya juga nggak terlalu kentara awalnya. Tapi serius Vin, Rheinatta sama Bram ini Pasangan yang cocok. Satu kampus, pula. Mungkin jadiannya juga belum lama ya Vin. Aku rasa, pada saat aku dekatin Bram dulu. Benar nggak Vin? Ah, tapi itu semua nggak penting lagi deh. Yang jelas, aku senang melihat ini. Bram romantis ya Orangnya? Setia, lagi,” bisik Nicky lagi. Gue nggak berkomentar. Bingung gue sama cara pikir Nicky. “Vin?” “Iya?” “Mereka berdua baru pacarannya? Soalnya aku lihat lagi mesra-mesranya,” kata Nicky. Gue mengernyitkan kening sesaat. Mendadak gue merasa aneh. Ini, Nicky yang biasa lebih kalem dan lebih dewasa pembawaannya, kok jadi ramai begini dan mengorek urusan Orang lain? Ini bukannya..., sikap Rheinatta? Ya ampun, sejujurnya gue jadi kangen sama ‘ramai’nya dia. Duh, sekarang gue baru ‘ngeh’, Rheinatta ini sudah nggak ‘seramai’ dulu lagi. Sejak kapan? Ya, sejak kapan? Gue ini kemana saja sih, sebagai Pacarnya, kok nggak merasakan perubahan Rheinatta? Dan apa dia benar-benar berubah? Gara-gara siapa? Gue? Rasanya gue menyesal sekali. Berarti benar apa yang dikeluhkan Rheinatta, gue ini berkurang perhatiannya ke dia. Nicky menepuk lengan gue, menagih jawaban atas pertanyaannya. Gue cuma menggeleng enggan dan memberikan isyarat ke Nicky, supaya dia nggak bisik-bisik lagi. “Nggak enak sama yang lain, nanti disangka kita ngomongin apa,” kata gue, yang di saat yang sama nggak sengaja melihat tatapan iba Sylvanie sama Kendra ke Rheinatta. Hm. Fix! Di sini Rheinatta adalah korbannya. Gue adalah Si Tokoh Antagonis. Apa gue masih perlu menyangkal? “Maaf,” kata Nicky pelan. “Nggak apa,” sahut gue. Nicky mengangguk. “Kelihatannya Rheinatta sudah bisa melanjutkan perjalanan tuh.” Gue mendengar ucapan Sylvanie. Ada sedikit kelegaan yang menyapa. Bramantyo berjalan mendekati gue dan mengembalikan kotak obat gue. “Nih. Punya elo, kan? Thanks, ya,” kata Bramantyo. “He eh,” kata gue, padahal gue jengkel sama cara dia mengucapkan terima kasih. Terima kasih atas apa? Dia berusaha jadi Juru Bicara Rheinatta? “Kita lanjut sekarang, yuk,” kata Bramantyo. Kendra langsung menyahut, “Mendingan selang-seling deh. Kelvin paling depan, habis itu Nicky, terus Sylvanie, gue, Rheinatta, dan terakhir Bram. Gimana Bram?” “Oke,” sahut Bramantyo cepat. Sialan! Nggak tanya pendapat gue sih! Sengaja ya, mau supaya Rheinatta sejauh mungkin dari gue? Tapi ya sudahlah. Demi kebaikan semua, gue mengalah sedikit deh. * “Bram, gue di-drop dia kampus deh. Nanti gue antar Sylvanie pakai taksi dari sana,” kata Kendra saat Bramantyo menanyakan kami masing-masing mau diturunkan di mana. Sejauh ini, semua Teman gue ini masih konsisten menjalankan sandiwara dadakan mereka. “Kita juga naik taksi, atau mau dijemput naik mobil saja, Vin? Eh, naik mobil sendiri saja deh. Mumpung lagi ada Supir,” ucap Nicky menimpali. Tanpa menunggu jawaban gue, Cewek satu itu langusng terlihat sibuk menelepon Seseorang. Buat apa gue jawab, kan? Mobil Bramantyo meluncur ke arah kampus. Saat itu, gue sudah nggak bisa lagi menahan diri untuk bertanya, “Rheina, lukanya masih sakit nggak?” Suar gue lumayan lantang. Maklum, dari jok paling belakang. “Sdah sembuh,” sahut Rheinatta singkat. Menoleh ke arah belakang juga enggak. Gue malah memergoki dia menoleh ke samping dan menepuk lengan Bramantyo yang sedang menyetir. “Bram, boleh nggak, tolong drop gue dulu ke rumah sebelumelo antar yang lain ke kampus?” pinta Rheinatta. Hampir gue mendengkus kesal. Gue tahu apa maunya Rheinatta. Pasti dia sudah nggak betah berlama-lama dalam satu mobil bersama gue dan Nicky. Bisa jadi, Rheinatta juga sedang menutup celah buat gue untuk mendekati dia sewaktu kami tiba di kampus nanti, dan memberikan penjelasan tentang Nicky. Itu sangat mungkin terjadi kalau Nicky sudah dijemput dan gue menolak untuk menumpang mobil dia. Ya, gue kan belum menjawab bahwa gue mau ikut sama dia, kan? Dan lagi-lagi Bramantyo seperti bisa membaca hal itu. “Ya boleh dong Rhein.. Kenapa enggak?” sambut Bram. “Thanks ya, Bram.” Bramantyo mengangguk cepat dan segera mengarahkan kendaraannya ke daerah rumah Rheinatta. Tinggallah gue yang menahan kejengkelan akan keputusan Rheinatta yang gue nilai agak konyol, ditambah lagi sama dukungan Bramantyo ke dia. Mana mungkin gue nggak jengkel? Selama ini gue awet berteman sama Bramantyo karena baik gue maupun dia saling menghargai privasi masing-masing. Tapi kali ini, gue merasa dia rada melewati batas, ikut campur masalah gue sama Rheinatta. Laju kendaraan melambat. Berbeda dengan saat berangkat yang penuh dengan obrolan seru, perjalanan pulang ini sedikit lebih senyap. Sepertinya semua sudah capek. Kendaraan Bramantyo melipir di pagar rumah yang sudah teramat akrab sama gue. Pagar rumah Rheinatta. “Bram, thanks ya sudah antar gue ke rumah. Yuk semuanya, aku duluan ya. Terima kasih atas kebersamaan kemarin itu,” ucap Rheinatta sambil menoleh ke belakang dan melambaikan tangan ke arah kami. “Sama-sama. Terima kasih juga Rhein.” Nicky yang menyahut pertama kalinya. “Aku yang harus mengucapkan terima kasih. Kamu lagi nggak fit mau-maunya tetap gabung karena mau menemani aku,” timpal Sylvanie. Kendra hanya mesem kecil. Rheinatta mengibaskan tangan lalu membungkuk untuk mengambil carrier yang dia letakkan di dekat kakinya. Dia baru akan membuka pintu mobil sembari menarik carier ketika suara Bramantyo terdengar. “Biar gue yang bawain,” kata Bramantyo. “Serius?” “Iya.” Bramantyo langsung turun. Dia membukakan pintu mobil dan membiarkan Rheinatta turun. “Sebentar ya Guys, gue antar Rheinatta dulu,” kata Bramantyo. “Sip,” sahut Kendra. “Bisa, turunnya?” tanya Bramantyo. Detik ini gue merasa Bramantyo ini mau ngajak perang sama gue. Buat apa dia perhatian banget sama Rheinatta. “Bisa,” ucap Rheinatta. Rheinatta sama Bramantyo mendekati pagar rumah Rheinatta. Bramantto dengan sigap membuka pagar rumah itu. Ya, memang pagar rumah Rheinatta itu nggak selalu dalam keadaan terkunci. Sepertinya daerah sini memang lumayan aman. “Thanks ya Ben,” ucap Rheinatta sekali lagi saat Ben membantunya membukakan pagar. Gue mendengar Bramantyo terkekeh. “Ah, sudahlah. Hari ini banyak banget lo ngucapan thanks ke gue. Satu kali lagi bilang thanks gue kasih piring cantik lho.” Rheinatta tertawa kecil. “Gue langsung jalan ya,” Bramantyo menepuk pundak Rheinatta perlahan. Rheinatta mengangguk, menatap kepergian Bramantyo dari halaman rumahnya. Itu pemandangan yang membuat hati gue rasanya mendidih. Gue nih, selama bertahun-tahun memecari dia, bisa dihitung deh berapa kali melewati pagar itu. Nah dia, ngapain pakai melangkahkan kaki sampai ke dalam segala? Lagi pula, seharusnya kan yang antar Rheinatta itu gue. Dia kan Cewek gue! “Ah, so sweet. Bram itu gentle banget ya,” gumam Nicky yang nyaris tak berkedip memerhatikan gerak-gerik Rheinatta dan Bramantyo. Nggak tahu apa dia, itu malah bikin gue semakin kesal? “Nggak ada yang pindah ke depan, nih? Gue kan bukan supir kalian semua,” canda Bramantyo sekembalinya dia membuka pintu mobil di sebelah kanan. “Aku pindah ke depan nggak apa ya Syl? Paling juga nggak sampai liam belas menit kita bakalan sampai di kampus. Nah yang bawa mobil kan pembalap,” kata Kendra yang langsung diangguki Sylvanie. Kendra bergegas turun dan pindah duduk. Gue cuma mengamati, nggak terlalu memedulikan Nicky yang sedang menerima panggilan telepon. Sayup-sayup gue mendengar bahwa ‘Supir dadakan’nya sudah mendekati kampus dan bertanya sebaiknya menunggu di mana, yang dijawab oleh Nicky, “Di tempat kemarin, Pak. Ini kami hampir sampai. Tunggu ya.” Mobil Bramantyo meluncur kembali, mengarah ke kampus. Gue berpikir, gue harus sedikit bersabar untuk menunggu sampi masing-masing bubar. Dengan begitu, gue bisa ngomong empat mata sama Bramantyo. Dan ini harus segera diselesaikan hati ini juga. Gue nggak mau ada ganjalan. Gue mau tanya apa maksud dia dengan sok manisnya sikap dia ke Rheinatta. Seperti sudah dipesan, sebuah taksi kosong meluncur saat mobil Bramantyo hampir mencapai kampus. Segera Bramantyo mengklakson taksi konvensionalyang beruntung itu, yang mendapat Penumpang dengan cepat. Maklum, semenjak banyak taksi daring, taksi konvensional itu kan ‘perjuangan’nya lebih berat dalam mendapatkan Pelanggan. Kendra dan Sylvanie berpamitan begitu kendaraan Bramantyo berhenti tak jauh dari gerbang kampus, menyesuaikan dengan taksi konvensional yang juga berhenti di dekat kami. Nicky celingukan mencari mobilnya. Dia sudah akan menghubungi melalui telepon, saat tiba-tiba dia berkata, “Eh, mobilnya di depan sana. Persis di sebelah gerbang kampus. Di bawah pohon.” Gue sudah ambil ancang-ancang untuk mengajak Bramantyo ‘ngobrol berdua.’ “Vin, ayo! Bareng saja sama kita pulangnya. Biar Supir aku drop kamu sampai tempat kost, baru antar aku. Bram, sampai ketemu lain kali, terima kasih ya,” ujar Nicky ceria. “Sama-sama. Ikutan lagi lain kali, ya?” sahut Bramantyo. Gue yakin itu basa-basi belaka. “Yuk, Vin,” ajak Nikcy nggak sabar. Dia menarik lengan gue. Gue diam sesaat. “Kalau kamu pulang duluan, bagaimana? Soalnya ada yang harus aku omongin sama Bram,” gue berusaha mengelak, sehati-hati mungkin. Bramantyo malahan menghela napas panjang mendengar ucapan gue. Apa sih maunya dia? “Lo temenin Nicky gih. Ngomongnya bisa ditunda besok saja, kan, di kampus? Gue buru-buru mau pulang karena ternyata ada beberapa panggilan telepon nggak terjawab nih, dari rumah. Sorry banget, ya,” ujar Bramantyo dengan nada rendah. Dia sampai menunjukkan pula telepon genggamnya sebagai pendukung ucapannya. Gue mengangguk singkat. “Ya sudah kalau begitu. Besok sesudah kuliah tolong sempetin waktu buat gue, ya. Thanks sebelumnya, Bram.” “Oke, sama-sama,” sahut Bramantyo. Tapi pada saat itu juga, gue mendapat firasat bahwa Bramantyo akan menghindari untuk ‘menyelesaikan ganjalan’ ini. Jujur gue cemburu dengan kedekatan yang diperlihatkan Bramantyo sama Rheinatta dua hari ini. Itu bukan keakraban seperti biasa. Nggak berlebihan dong kalau gue berpikiran bahwa ‘ada apa-apa’ di antara mereka? * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN