Pilihan Sulit (1)

1817 Kata
POV Kelvin Apa yang gue pikirkan itu nggak berlebihan sama sekali. Besoknya, Bramantyo nggak menunjukkan batang hidungnya di kelas. Bukan cuma besoknya, tapi besok dan besoknya juga. Dia bahkan absen di latihan klub Edelweiss. Nggak ada kabar. Telepon genggamnya nggak bisa dihubungi. Gue nggak tahu semenjak kapan nggak bisa dikontak sih. Tapi gue menemui kendala itu pas hari ketiga dia nggak muncul di kampus dan gue berusaha kontak dia. Karena kalau gue langsung kontak dia sebelum-sebelumnya, kesannya kok kayak gue tuh ngejar-ngejar mau ngomong sama dia. Terus kapan hari, menurut Kendra, selagi dia sengaja melintas di depan rumah Bramantyo, rumah megah dengan pagar tinggi itu juga kelihatan sepi. Gue nggak mau percaya begitu saja. Gue mulai merasa ada yang nggak beres. Ini sekarang bukan sekadar tentang hubungan gue sama Rheinatta yang sedang di ujung tanduk. Ini juga menyangkut persahabatan gue. Seumur-umur gue berteman sama Bramantyo, nggak pernah dia bersikap seaneh ini, tahu-tahu sok hilang tanpa kabar begini. Gue mulai dihinggapi pertanyaan yang ngawur di kepala gue. Apakah dia sedang ada masalah berat? Nggak mungkin dong kalau sekadar mau liburan ke luar negeri sampai seaneh ini? Atau ada Kerabatnya yang sakit? Atau jangan-jangan..., amit-amit, diam-diam dia itu menghamili Anak Gadis Orang dan sekarang lagi menghilangkan jejak? Ah! Nggak mungkin! Siapa juga itu Ceweknya? Rasanya segila-gilanya Bramantyo, seaneh-anehnya pergeseran komunikasi gue sama dia dan juga Rheinatta belakangan ini, masa sih ada rahasia sebesar itu yang bisa ditanggung sendiri sama Bramantyo? Dan satu lagi, kalau yang menjadi masalah adalah Bramantyo, mana mungkin harus satu rumah yang terlihat sunyi senyap? Terus terang gue khawatir. Dia itu Sahabat gue, dan guekenal dia sebelum kenal sama Rheinatta! Mana mungkin sih, sampai dua minggu begini dia nggak ada kabar dan malah sudah ada bisik-bisik nggak jelas di Klub Edelweiiss? Sementara Rheinatta, konsisten menghindari gue semenjak terkhir kalinya gue hiking sama dia. Cewek tuh kadang aneh, ya? Mereka itu sering menuntut yang namanya kepastian, mereka nggak terima kalau Cowok yang menggantung-gantung perasaan dan status hubungan, nah sementara mereka sendiri, boleh seenaknya melakukan hal itu ke Cowok! Ini kan masalahnya ada yang harus gue jelaskan ke Rheinatta. Tapi dia malahan menutup akses gue. Dia nggak mau terima telepon dari gue. Dna yang jelas, dia juga ikut nggak nongol di Klub Pecinta Alam. Makin kencang deh bisik-bisik Anak baru. Gue benci kalau Klub Edelweiss yang gue cintai jadi begini. Apalagi menjelang akhir waktu gue kuliah di sini. Gue sudah nggak tahu, berapa batang rokok yang gue hisap dari tadi. Nggak ngitungin. Padahal belum terlalu lama gue menjauh dari ruangan Sekretariat Kampus. Obrolan nggak sengaja yang gue dengar tadi, terngiang-ngiang lagi di telinga gue. ... “Serius, Mbak, Bramantyo yang ganteng dan kaya itu mengajukan cuti kuliah secara mendadak?” Itu suara pertama yang gue dengar. Gue masih berharap yang dimaksud adalah Bramantyo yang lain. Bukan Bramantyo Sahabat gue. “Iya. Mendadak dan hampir di ujung semester begini. Tanggung kan? Padahal sebentar lagi juga sudah mendekati ujian akhir. Terus satu semester lagi juga kuliahnya beres.” Ini suara lainnya. “Memangnya bisa? Ada masalah apa sih?” “Kenyataannya bisa. Mungkin uang memang bisa bicara di mana-mana kan? Nggak tahu juga soal apa. Kelihatannya masalahnya berat.” Gue sudah nggak mendengarkan lagi kelanjutannya karena pikiran gue langsung ruwet dan memilih menjauh dari area itu. ... “Vin, lagi ngapain di situ?” Suara Kendra. “Hei Ken. Gue cari tahu soal Bram. Perasaan gue nggak enak.” “Sama.” “Waktu elo ke rumah dia, elo nggak dapat informasi apa-apa?” Kendra menggeleng. “Nggak ada yang bisa elo temui?” “Ya ada. Penjaga di rumahnya. Tapi langsung pasang sikap defensif begitu. Gue sampai nggak diajak masuk. Sudah seperti mau ke rumah Pejabat Tinggi banyak prosedur.” “Bukannya Penjaga di sana kenal sama elo?” “Ya pernah tahu pas gue nginap. Tapi nggak tahu, kesannya kemarin itu nggak ramah dan mau supaya gue cepat pergi. Seperti ada yang disembunyikan. Dan pas gue bilang mau ketemu Bram, dibilang Bram sama keluarganya nggak ada di rumah. Gue tanya kemana dijawab nggak tahu. Kan aneh.” Gue jadi pusing dengarnya. “Semoga nggak terjadi apa-apa sama Bram.” “Gue mau ke rumahnya sekarang. Gue penasaran.” “Kalau kata gue sih jangan deh Vin. Gue itu tiga kali ke sana. Yang dua kali melintas, yang sekali ya itu yang ketemu Penjaga-nya. Terus memangnya elo nggak pernah ke sana?” Gue menggeleng. “Gue juga sama dengan elo. Melintas doang. Tapi kan elo tahu sendiri, gue juga lagi ada urusan ribet.” “Sorry kalau gue kepo, soal Rheinatta sama Nicky?” Gue mengangguk singkat. Kendra menatap gue dengan tatapan iba. Terus, dia menepuk punggung gue dengan akrab. Mendaak gue merasa dia mengisi kekosongan yang ada karena Bramantyo mendadak menghilang. “Vin, mau ngobrol sama gue?” “Soal?” “Ya apa saja yang buat tampang elo stress begini. Gue tahu elo sama Bram itu akrab banget. Tapi begini deh kalau menurut gue, mungkin sekarang ini Bram sedang menghadapi sesuatu yang dia nggak mau kita tahu. Kan kita nggak bisa berbuat apa-apa kecuali kasih dia waktu dan mendoakan yang terbaik buat dia, kan?” Gue mengerutkan kening gue. Kendra ini mendadak kok bisa bijak begini ngomongnya ya? Batin gue. “Yuk. Sekalian juga gue mau omongin tentang Edelweiss. Setidaknya, jangan sampai kita keluar dari kampus ini nanti, Edelweiss cuma tinggal kenangan.” “Ya. Gue juga merasa begitu, Ken. Gue pikir cuma gue. Kelihatannya kita harus pelihara spirit di sana. Ini malah kita sendiri...” Gue menggantung kalimat gue. Kendra manggut. “Ayo kita ngobrol deh. Siapa tahu dengan ngobrol, kita jadi bisa ketemu ide yang bagus supaya di Klub Edelweiiss itu nggak yang seprti ketergantungan sama Sosok-sosok yang sebentar lagi juga sudah mau cabut dari kampus ini. Terus juga, kita bisa dengan kepala jernih memikirkan bagaimana caranya menghubungi Bram, juga ya..., bikin keruh di muka elo ini memudar.” Gue terharu mendengarnya. Gue rangkul pundak Kendra. “Kenapa lo? Kok aneh gitu sih caranya ngelihat ke gue?’ “Gue nggak menyangka elo sepeduli itu. Gue pikir dulu itu memang elo cuma bisa akrab sama Bram. Dan elo juga ingat kan, elo sempat tersinggung sama celetak-celetuknya Rheinatta.” Kendra tertawa. “Vin, itu kan dulu. Lagi pula gue nggak akan lupa bantuan elo sewaktu gue mau nembak Sylvanie. Dan ternyata, Rheinatta itu punya peranan besar menjadi Teman Curhat Sylvanie. Berarti pandangan gue nggak selalu benar. Intinya, sudah deh semua yang nggak enak begitu jangan disimpan terus di hati.” Nih Anak makin menakutkan kalau ngomongnya begini. “Ayo deh. Ngobrol di mana enaknya? Di kafe Green House aja gimana?” “Yang baru itu?” “Iya.” “Pakai mobil masing-masing ke sananya?” “Iya, yuk.” “Oke.” * Gue sama Kendra sengaja memilih area di mana kami bisa merokok. Kami sedang menunggu pesanan kami tiba. “Sebenarnya ada yang mau gue obrolin sama Bram. Dan Bram tuh janji hari Senin-nya. Siapa yang nyangka, sampai dua minggu lebih malah dia hilang begitu. Sumpah gue takut dia kenapa-napa sekarang. Semoga dia baik-baik saja.” “Iya gue juga berharap begitu.” “Makanya. Nggak ada yang bisa kita lakukan juga. Nggakmungkin kan, kita paksa Penjaga di rumah dia buat buka mulut?” “Itu dia. Nah, kalau boleh tahu, apa sih yang mau elo omongin ke Bram?” Gue agak ragu. “Gue tahu kita nih nggak seakrab elo sama Bram. Kalian berdua sudah kenal lama.” “Elo salah. Justru gue lihat elo yang akrab sama Bram.” “Kenapa kita jadi seperti Cewek yang kalau ngomong muter-muter? Nah, langsung deh. Apa yang sebenarnya mau diomongin ke Bram?” Gue menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan, sementara Kendra menghisap rokoknya. “Soal Nicky. Soal Rheinatta.” “Kenapa?” “Gue nggak pernah nyangka kalau mereka berdua bisa ketemu gitu.” “Oh..” Gue mendengkus. “Gue pusing deh sekarang.” “Gue ngerti. Elo cerita deh, barangkali gue bisa kasih pandangan.” Gue nggak berpikir panjang. Gue butuh tempat buat menumpahkan uneg-uneg. Dna nggak ada Bramantyo, Kendra pun jadi deh. Toh tadi pas baru datang gue sama dia sudah sempat ngomongin soal acara apa yang bisa dibuat untuk lebih mengakrabkan semua Anggota Klub Edelweiss, dan Kendra bilang Sylvanie pasti akan membantu soal promosi acaranya. Nggak percuma memang Kendra pacaran sama Cewek satu itu. Kami juga sudah sempat membahas sedikit soal Bramantyo. Nah, sekarang, saatnya ngomongin urusan pribadi. Dan ni tentang percintaan gue. “Ken..., gue nggak tahu harus mulai cerita dari mana.” “Dari mana saja yang elo mau.” “Hm. Yang jelas, kemarin itu bukan cuma Rheinatta yang sakit hati. Gue juga. Dia Cewek gue, tapi gue nggak bisa deketin dia, gue nggak bisa menunjukkan cinta sama perhatian gue ke dia, gue bahkan nggak bisa jagain dia. Gue juga secara nggak langsung menjadi penyebab dari dia terpeleset.” Kendra manggut saja dan mengisyaratkan supaya gue melanjutkan penuturan gue. “Jadi Ken, gue terperangkap dalam kebohongan gue sendiri. Jujur aja, gue sempet kesel waktu Rheinatta lebih pilih Bram yang nolong dia, buat membersihkan luka dia, terus akhirnya antar dia sampai ke depan rumah dia. Sebagai Cowok dia, gue cemburu, pastinya,” kata gue lalu menariknapas panjang lagi. Sampai di sini, rasanya gue sudah mulai bisa mempercayakan cerita gue ke Kendra. Celakanya, Kendra malah mengernyitkan dahi. Gue terusik. Gue tunjuk dahinya Kendra dan bertanya, “Itu kenapa? Ada yang salah sama penuturan gue?” Kendra berdeham. “Jangan tersinggung kalau gue ngomong ya.” “Nggak.” Dia berdeham lagi. “Vin, begini. Elo merasa kesal waktu itu? Bahkan cemburu? Dan itu ditujukan ke Bram? Vin, Bram itu Sahabat lama elo. Gimana kalau gue yang bantuin Rheinatta saat itu? Bisa ramai kali ya? Terus terang pada saat itu gue sudah nggak tahan dan mau nolongin Rheinatta. Sylvanie juga sudah mau nyamperin Rheinatta tapi gue cegah.” “Ya namanya juga Orang lagi kalut.” “Gue lanjut ya. Ini opini. Sekali lagi nggak usah pakai tersinggung.” “Ya.” “Menurut gue itu parah deh. Malahan semestinya elo berterima kasih karena seisi mobil ‘sukses’ pegang peran masing-masing, jadi pemain sinetron dadakan, kan?” “Iya, gue ngaku salah.” “Elo tahu nggak, di sepanjang perjalanan pulang, Sylvanie ngomel panjang pendek. Seolah-olah dia yang elo sakitin. Dia bilang, apaelo nggak pikirin perasaan Rheinatta? Apa elo segitu egoisnya? Sampai-sampai gue bilang ke dia, kita ini belum tahu masalahnya apa, jadi jangan dulu berkomentar.” Gue menelan ludah. “Iya. Semestinya gue itu bilang terima kasih ke kalian semua. Ya apalagi ke Bram. Dia sudah mau menemani Rheinatta. Gue nggak tau gimana jadinya kalau dia dibiarin sendiri kemarin itu. Gue banyak salah sama dia. Gue udah lama bohongin dia dengan jalan diam-diam sama Nicky,” akhirnya pengakuan ini meluncur juga dari mulut gue. Sungguh nggak gue sangka, Kendra malah termangu mendengarnya. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN