POV Kelvin
Dan sialnya dalam keadaan macam itu, malahan perhatian gue jadi terpecah. Gara-garanya gue melihat selintas Sylvanie yang mengulum senyum. Enggak jelas apa yang sedang dipikirkan sama Cewek itu. Apa dia melamun, mengingat awal kedekatannya dengan Kendra? Di tengah keramaian macam ini?
Oh my! Kenapa sih, Cewek-cewek suka begitu?
Atau jangan-jangan, seperti yang dipergunjingkan sama Para Penonton Art Hours waktu itu, kalau memang Sylvanie belum ditembak sama Kendra, sekarang ini dia sedang mempertimbangkan untuk menyambut uluran cintanya Kendra? Ketimbang menunggu nggak jelas sampai kapan Si Andhika membalas perasaan dia?
Ah! Masa bodoh. Urusan gue sendiri sama Rheinatta saja lagi ribet. Boro-boro mau mikirin Orang lain!
“Halo, Syl, apa kabarnya elo? Gue dengar-dengar, sekarang ini tulisan elo di buletin kampus jadi makin banyak, ya? Soalnya kan Kalista lagi sibuk sama proyek pribadi-nya di luar kampus?” tanya Rheinatta.
Gue hampir menarik napas lega mendengar jenis pertanyaannya yang menurut gue ‘cukup sopan’ dan netral.
Tapi yang gue dengar setelahnya, bahkan sebelum Sylvanie sempat menanggapi Rheinatta adalah...
“Wah, itu super keren Syl! Nggak heran deh. Pantesan Kendra gercep, melepas masa jomblo akut-nya. Takut dia, kalau kalah bersaing sama yang lain. Dan tulisan elo juga bagus, lho, terutama narasi elo yang selalu saja bikin orang kepengen melihat suatu tempat atau menjajal sendiri, kegiatan maupun kuliner yang elo ceritain di artikel elo itu. Terus, foto-foto yang elo taruh di sana juga menguatkan narasinya. Anyway, adanya gue, Kelvin, sama Bram yang duduk di sini nggak mengganggu kalian berdua, kan?” tanpa basa-basi Rheinatta sudah nyerocos panjang.
Gue melihat Kendra menghela napas panjang.
Bisa jadi, dia sedang mengeluh dalam hati, mendapati Rheinatta pasti tak memerlukan jawaban mereka. Lihat saja, Rheinatta yang dari tadi juga sudah ambil pewe, posisi wuenak, sekarang malah seenaknya duduk di sebelah Sylvanie. Pindah dari sebelah gue.
Apa-apaan sih, Pacar gue ini? Maunya apa, duduk di sebelah Orang yang lagi pacaran? Ya, maksud gue kecuali Bram, ya. Sobat gue yang satu itu kan memang sudah masuk kategori kebal, sering berada di tempat yang sama dengan gue dan Rheinatta!
Sylvanie menggeer duduknya, mendekat ke Kendra.
Sempat gue melihat Kendra mengerling ke arah gue.
Kerlingan yang seolah mau mengatakan, “Dasar Pengganggu! Bisa nggak sih, elo bikin tertib Cewek elo ini? Sedikit saja!”
Gue pura-pura nggak melihat kerlingan Kendra. Sebaliknya, gue menunggu Rheinatta bakal ngomong apa lagi. Jelas gue mencari saat yang lumayan tepat buat menegur dia.
“Duduk deh kak Rheina. Kita lagi ngomong santai, kok. Dan lagi pula, sebenarnya aku sama Kendra yang bergabung di meja ini tadi. Semula yang duduk di sini tuh Kelvin sama Bram. Oh ya, thanks ya Kak, sudah sempatin baca artikel yang aku tulis,” Sylvanie tersenyum ramah.
Senyum yang lumayan manis. Gue hanya berharap, senyum itu cukup untuk mengobati rasa kesal Kendra akibat tingkah laku Rheinatta yang mungkin saja di matanya bertindak bak jelangkung, datang tak diundang pergi tak diantar.
“Oooh... gitu. Gue enggak tahu. Tapi karena gue yang terakhir datang, wajar dong kalau gue mau tanya lagi, sungguhan nih gue nggak mengganggu kalian berdua?”
Sylvanie mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan Rheinatta.
Rheinatta tertawa.
Gue pikir, sejauh ini masih aman.
“Terus, jangan panggil gue kak Rheina juga, dong, Rheinatta atau Rheina, cukup. Kesannya, gue udah tuwir kalau elo panggil Kakak. Lagi pula ke Kelvin sama Bram juga elo panggil nama doang,” ungkap Rheinatta setelahnya. Disempatkannya mengerjapkan mata, menggoda Kendra.
Gue mengeluh dalam hati. Apa juga maunya Pacar gue ini, coba? Di depan gue, pakai acara mengedipkan mata ke Cowok lain?
“Iya, iya, Rheinatta,” sahut Sylvanie ringan.
“Ken, gue enggak mengganggu kan?” kembali Rheinatta bertanya.
Kendra mendengkus kecil sebagai reaksinya.
“Ya nggak lah. Cuma yang gue heran, ngapain elo kok duduknya di sebelah Sylvanie? Tuh, Cowok lo nggak dijagain? Entar kalau ada yang ngegebet, lo stress dan depresi, lagi! Terus nangis berhari-hari, garuk-garuk tanah, cakar-cakar dinding dan ngomong sendiri. Baik-baik lho, Rhein, elo sendiri sering bilang dengan bangga kan bahwa Cowok Scorpio itu, sekadar diam doang, nggak ngapa-ngapain pun sudah menarik perhatian Cewek, dengan kemisteriusannya. Elo nggak tahu, tadi pun sudah ada Cewek yang dibuat grogi sama dia. Tuh, contohnya Mbak Dariyah, Pelayan baru di kantin ini,” kata Kendra seenak udelnya. Seakan-akan, memuaskan meluapkan akumulasi kekesalannya pada Rheinatta. Herannya, ngapain nyeret-nyeret gue segala?
Terus, ternyata dia mencermati dan mendengar obrolan gue sama Bramantyo tadi?
Sementara Sylvanie mesem saja mendengar opini Kendra, Rheinatta tampaknya sedikit terintimidasi. Dasar impulsif, dia bangkit dari duduknya dan menghampiri gue.
“Hon-Hon, benar apa yang Kendra bilang? Kamu tebar pesona sama Orang kantin?” tanyanya.
“Gue duluan ya.” Mendadak Bramantyo bangkit dari duduknya dan segera meninggalkan kami berempat. Entah apa yang ada di pikiran dia. Gue nggak sempat mencegah.
“Eh! Si Bram ngapain tuh! Kegerahan ya, berasa jomblo sendiri?” tanya Rheinatta yang terkaget.
Gue menepuk lengan Rheinatta dan menggelengkan kepala.
Cewek gue ini malah bangkit dari duduknya.
“Gue geret Si Bram dulu ah. Apa-apaan sih dia? Main tinggal begitu, belum juga disahutin,” ucap Reinatta.
Buru-buru gue menangkap tangan Rheinatta dan sedikit menariknya.
Rheinatta menatap dengan pandangan protes.
Gue nggak peduli.
“Duduk!” Suruh gue.
“Hon! Kamu kok kasar begini sih? Sakit nih tangan aku!” rengek Rheinatta.
“Sorry.”
“Itu Bram kenapa?” tanya Rheinatta karena gue enggan melepaskan pegangan tangan gue di pergelengan tangannya.
“Nggak kenapa-napa,” kata gue dengan malas.
“Serius?”
“He eh.”
“Lepas tangan kamu dong, Hon.”
Gue menggeleng.
“Kenapa?”
“Nanti kamu ganggu Bram.”
“Enggak, kok.”
“Itu Bram mau kemana?”
“Mungkin pulang.”
Kali ini Kendra menyela, “Lho, memangnya kalian berdua nggak ada kelas, setelah ini?”
“Iya.”
“Lha terus, elo kok nggak balik?” tanya Kendra, membuat Rheinatta mengerutkan kening.
“Apa sih, maksud pertanyaannya? Ngusir Kesayangan gue? Dia belum pulang, soalnya nungguin gue. Gue ada kelas tambahan, hari ini,” tanpa diminta, Rheinatta mewakili gue menjawab pertanyaan Kendra.
“Sensi amat,” cetus Kendra seenaknya.
Rheinatta menjawab dengan santai, tapi kelihatannya penuh maksud, “Enggak juga, tuh. Elo yang berpikir gue sensi.”
Kendra tak menjawab. Mungkin dia malas adu mulut sama Rheinatta.
“Eh, ngomong-ngomong, ajak Sylvanie latihan dong, Sabtu ini, Ken. Atau ajak dia ke kegiatan terdekat, tuh, mau nyusurin goa. Mau, ya, Syl? Tenang, aman, kok. Ada Kendra juga, kan? Dia pasti jagain elo nanti,” Rheinatta tidak sekadar menyahuti Kendra, dia sekaligus mempromosikan juga klub Edelweiss kami.
Mungkin ini sebagai bentuk rasa prihatin Rheinatta. Maklumlah, belakangan ini semakin banyak Anggota Cewek yang hilang timbul. Banyak faktor penyebabnya. Dan menurut gue sih ini masalah basi. Sebagian dari mereka mungkin saja sedang berfokus pada kuliah serta kegiatan lainnya. Tapi nggak jarang, ada pula yang jenis Cewek-cewek yang masuk ke klub Pecinta Alam kami hanya untuk tebar-tebar pesona, berharap bisa memacari salah satu dari para anggota klub pecinta alam yang rata-rata sudah mereka sasar sebelumnya. Nah, jenis yang kedua ini, kalau kemudian jadian dengan sesama anggota, lalu putus, biasanya enggan muncul lagi. Apalagi yang belum jadian sudah merasa tertolak dulu, tentunya lebih cepat ngacirnya. Kalau Rheinatta? Ah! Dia perkecualian. Biarpun gue agak terganggu juga karena gue menangkap gelagat bahwa dia mulai malas latihannya.
Di saat Sylvanie senyum-senyum sendirian mendengar ajakan Rheinatta, Kendra diam-diam tersenyum juga. Gue tahu apa yang ada di pikiran Kendra. Mungkin dia mengucap syukur. Dipikirnya, keberadaan si bawel Rheinatta toh, ada gunanya juga. Merasa terwakili, kan mengajak Ceweknya?
Rasanya saat itu kepengen gue toyor kepala Kendra sambil bilang, “Hm. Say what? Bilang terima kasih ke Cewek gue!”
“Nah, tuh, yang ngajak sesama cewek, Syl. Dedengkot juga, dia, tuh. Kurang apa, coba?” timpal Kendra.
Sylvanie tertawa kecil.
Diam-diam, gue mengamati betapa Rheinatta menatap penuh selidik pada Sylvanie dan Kendra.
“Heh! Kamu ngapain begitu sih!” Tegur gue lirih.
“Enggak. Lagi mengira-ngira, mereka berdua sebetulnya sudah jadian atau belum?” bisik Rheinatta.
Ya ampun! Rasanya gue mau menepuk jidat gue kencang-kencang.
Bee! Kamu tuh! Itu nggak penting banget. Nggak ada urusannya sama kita.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $