POV Rheinatta
Wow! Ini benar-benar di luar rencana deh!
Tadi itu aku memutuskan untuk pergi setelah mendengar selintas percakapan Papa melalui telepon dengan Tante Garnetta.
“Iya, Sayang. Rheina pasti suka. Doyan, dia doyan banget makanan satu itu. Kamu langsung datang saja, nggak usah telepon dulu ke dia justru. Dia nggak bilang mau kemana-mana kok hari ini, paling sebentar lagi juga sudah sampai ke rumah. Nggak masalah, kan, kalau kalian aku tinggal berdua saja? Ngobrol-ngobrol deh. Soalnya aku sudah mau berangkat, ini. Ada meeting dadakan sama Si Nirwan.”
Aku mendengar rentetan kalimat optimis ini sewaktu melintasi ruangan kerja Papa, yang memang tidak setiap hari berkantor belakangan ini karena sedang kurang sehat.
“Ya, sebentar saja kok. Si Nirwan enggak bisa datang kemari. Enggak, aku nggak bakalan makan sembarangan. Janji. Pasti dong aku jaga kesehatan. Kamu juga ya Sayang.”
Itu ucapan yang aku dengar berikutnya, yang kini terngiang kembali di telingaku.
Tadi itu aku baru saja pulang dari Kampus dan mampir sebentar di toko kue dekat rumah. Aku sudah ingin segera istirahat di kamar. Rasanya sedang malas gerak, soalnya hari kedua kedatangan Si Bulan. Lagi deras-derasnya. Agak lemas pula.
Tadi sewaktu di kampus saja aku sampai menolak saat Kelvin yang sudah lama menunggu aku di depan kelasku,berbaik hati menawari aku untuk makan bersama di kafe depan kampus sebelum pulang. Dan begitu aku menolak, dia masih menanyaiku mau makan di mana dan dia bilang nggak akan keberatan untuk mengajakku ke sana. Dia sok perhatian begitu, seolah mau menebus ‘ketidak peduliannya’ akhir-akhir ini. Aku nggak melihat Bramantyo bersamanya tadi. Entahlah apa sebabnya. Mungkin Bramantyo sengaja ‘memberikan waktu’ buat Kelvin dan aku untuk berduaan. Dan aku juga sedang tidak berminat untuk menanyakan kemana Bramantyo.
Suasana hati aku lagi kurang baik nih hari ini. Makanya tanpa sungkan aku bilang ke Kelvin kalau aku sedang kedatangan Tamu bulanan.
Walau awalnya dia bilang nggak biasanya aku selemas itu dan masih berusaha membujuk aku untuk menghabiskan waktu lebih lama bersamanya, toh akhirnya dia mengalah.
Kelvin langsung mengantarkan aku pulang. Dan aku juga nggak mau pusing memikirkan apakah sebenarnya ada yang hendak dia bicarakan. Orang dia malah sibuk membelikan aku obat nyeri haid padahal aku sama sekali nggak bilang ke dia kalau haid-ku terasa sakit. Dia juga yang membelikan aku kue yang manis-manis dalam perjalanan pulang. Kata dia, supaya aku nggak terlalu lemas. Dia nggak lupa untuk membelikan coklat juga buat aku. Katanya sih supaya aku ceria lagi.
Dia juga nggak lupa mengecup kening aku, mengusap kepala aku sewaktu menurunkan aku di depan rumahku dengan berkata, “Aku langsung pulang, ya. Kamu langsung istirahat deh ya, Bee. Tapi jangan lupa, sempatkan makan dulu. Kalau ada apa-apa telepon aku, ya. Terus kalau mau aku pesankan makanan atau apa, kabarin ke aku, ya?”
Hhh..., dia itu pakai bilang mau langsung pulang segala. Orang selama ini juga jarang sekali masuk ke rumah aku. Bisa dihitung pakai jari, mungkin. Dia kan paling sebatas menjemput atau mengantar aku pulang saja. Eh tapi sebenarnya dia sudah mulai sweet lagi, kan?
Barangkali memang kemarin-kemarin itu hanya prasangka aku saja, bahwa dia jenuh sama hubungan kamu dan berniat main mata sama Cewek lain.
Aku yang hanya mengangguk menimpali dia, masih dihadiahi lagi sebuah tepukan lembut di pipi aku sebelum Kelvin pergi.
Yang terpikir sama aku mau cepat cuci muka, ganti baju dan secepatnya meringkuk di kamar, sambil sedikit ngemil.
Tetapi demi mendengar Tante Garnetta akan datang, mendadak aku seperti mendapat suntikan energi berjuta kali lipat. Tetapi suntikan energi untuk menghindari dia. Biar saja. Toh Papa juga nggak tahu bahwa aku sudah sempat pulang.
Jadilah aku sedikit mengendap, keluar dari rumah.
Aku juga memberikan isyarat agar Mbok Nah yang berpapasan sama aku di teras, tutup mulut dan tidak mengatakan bahwa aku sudah sempat pulang. Aku nggak ‘terlalu salah’, kan? Aku kan nggak menyuruh Mbok Nah untuk berbohong. Dia hanya tak perlu membocorkan sudah melihatku pulang. Itu saja.
Dan sewaktu aku sedang kebingungan mau kemana, mendadak melintas sebuah taksi konvensional di depanku yang segera aku berhentikan. Sewaktu Pengemudinya bertanya aku mau diantarkan kemana, aku juga hanya berkata, “Jalan dulu, Pak. Lurus terus, keluar dari area perumahan ini.”
Untung saja dia nggak protes.
Perutku yang keroncongan kemudian memberikan ide dadakan yang lumayan cerdas, singgah ke area makan baru yang mengusung konsep ‘makan di area terbuka’ dan menyebutkannya kepada Sang Pengemudi taksi.
Tempat makannya itu mirip-mirip dengan Chocolate Villa yang letaknya nggak terlalu jauh dari Bangkok deh. Ini tempat baru, ramainya minta ampun, soalnya yang datang kebanyakan mau berfoto ria untuk dipamerkan di akun media sosial mereka. Dan kabarnya kalau jam makan harus pakai sistem reservasi dulu.
Wah. Untung-untungan deh. Aku berharap masih mendapatkan meja, sebab sudah lewat dari jam makan sekarang ini.
Dan harapanku terkabul.
Aku diijinkan masuk dan bisa memilih meja di mana saja.
Maka aku memilih meja yang berada tak jauh dari kanal.
Di sekitarku terdapat beberapa Pengunjung yang sibuk bernarsis ria. Aku sih langsung memesan makanan. Sudah lapar.
Saat melihat ada Pasangan muda-mudi yang baru datang, aku jaditeringat sama Kelvin-ku Seorang.
Uh. Tahu begitu tadi aku ajak dia kemari. Atau aku telepon dia saja, minta dia menyusul? Ah, tapi enggak deh. Aku lagi kepengen sendiri sebentaran, pikirku.
“Rheina!”
Seseorang memanggilku.
Aku mengangkat wajah.
“Syl, lagi apa di sini?” tanyaku, mendapati Sylvanie berjalan ke arahku.
Pertanyaan yang sangat tidak penting. Tentu saja dia ada di sini untuk makan, kan? Mana mungkin untuk melamun?
“Aku mau menurunkan tulisan tentang tempat makan ini di buletin Kampus. Tadi baru selesai memotret beberapa spot. Dan sekarang aku lapar,” kata Sylvanie sambil mengelus perutnya.
Aku tertawa.
“Kamu sendirian? Kendra mana?” tanyaku.
Sylvanie mengiakan.
“Masa kemana-mana harus sama Kendra. Kami bukan kembar siam juga,” ujarnya dengan mimik lucu.
“Kamu sama Kelvin, ya? Kemana dia? Lagi asyik motret?” tanya Sylvanie kemudian.
“Aku juga datang sendiri. Spontan saja. Nah, duduk sini saja. Sambil ngobrol. Aku juga mau pesan makanan lagi. Masih lapar,” sahutku.
Sylvanie tak menolak sama sekali. Juga tidak iseng mempertanyakan tentang Kelvin.
Dia duduk dengan nyaman, bak sudah lama mengenal aku.
Sikapnya ini beda sekali dengan ketika kami bertemu di area kampus.
Apa gara-gara..., ada Kendra kalau di kampus?
Jadi, Kendra, yang reseh?
Aku buru-buru mengenyahkan pikiran tak penting itu.
Tanpa pikir panjang, Sylvanie juga memesan menu makanan yang sama dengan aku. Ini membuat aku tertawa geli.
“Ih, fans berat, ya. Kok copy dan paste sih,” godaku, yang lalu mengakui lagi bahwa aku yang merupakan Pengagum dari Kalista dan Sylvanie.
“Kalau Kalista mungkin. Aku mah biasa saja, masih harus banyak belajar,” kata Sylvanie dengan nada rendah.
“Kamu ini terlalu merendah. Padahal tulisanmu itu bagus-bagus.”
Sylvanie menepis anggapanku.
“Ya sudah. Kita jangan bradu argumen kalau begitu. Aku yang Idola di sini, kamu yang Penggemar,” selorohku akhirnya.
Ya, ya, bermula dari sana. Bermula dari kalimat isengku itu. Siapa sangka sahutan Sylvanie kemudian membuka jalan terjadinya Girls Talk. Luar biasa! Nggak janjian dan nggak ada rencana padahal.
Mau tahu dia bilang apa?
Sambil mengulum senyum, Sylvanie bilang, “Hm. Bisa dibilang semacam itu. Aku memang nge-fans sama kamu. Tepatnya, salut sama kamu dan Kelvin yang bisa menjalin hubungan begitu lama. Kalau nggak keberatan, bagi-bagi dong, resep awet dan mulusnya hubungan kalian berdua.”
Nyaris aku tersedak mendengarnya.
“Kamu ada-ada saja. Dan cara kamu tanya barusan, ya ampun Syl! Itu sudah seperti Wartawan sedang mewawancarai Nara Sumber deh. Ha ha ha!”
Sylvanie ikut tertawa lalu menyahut, “He he he. Oh, kamu merasa begitu, ya? Maaf, maaf. Nggak ada maksud begitu. Aku hanya kepengen ngobrol-ngobrol. Kepengen punya Teman akrab sebagaimana saat sama Kalista dulu. Sayangnya, sekarang ini dia sedang super sibuk. Dan dia nggak di Jakarta, pula.”
“Wah! Kamu buat aku ge er, Syl. Memangnya Kalista kemana?”
“Setahu aku terakhir dia ada di Malang.”
Aku manggut-manggut.
Rasanya kok semangat, jadinya.
Ya, semenjak Nina punya Pacar, dia seperti melupakan aku. Eh, atau jangan-jangan aku yang juga terlalu mengabaikan dia karena ada Kelvin? Trus, Teman-teman hang out aku sedang punya ‘permasalahan hidup’ entah apa, jadi agak jarang menghubungiku untuk mengajakku keluar. Abang aku apalagi. Nggak jelas kapan dia mau ke Jakarta lagi. Lebih-lebih, apartemen dia akhirnya batal dijual dan tetap disewakan. Mana dia ada alasan untuk ke Jakarta dalam waktu dekat?
Dan ... Michael..., hm, ya, sesekali dia memang menelepon. Tapi katanya sementara waktu ini dia juga sedang fokus mempersiapkan diri untuk mengikuti kompetisi di luar kampus. Dia malah menawariku tiket untuk menonton yang belum aku timpali dengan jawaban pasti. Yang jelas, aku berkata bahwa aku mendukungnya untuk mendapatkan prestasiterbaik. Dan aku bisa melihat betapa wajar dia berseri-seri.
Apa salahnya berteman sama Adik kelas, kan?
“Aku agak minder sih, mengajak Senior aku berteman sama aku, sebetulnya,” ucap Sylvanie kemudian.
“Ha ha ha, kamu lucu deh Syl. Jahatnyaaaa! Kesannya aku ini sudah uzur. Aku itu berteman nggak sama Orang yang sebaya. Dan bukan cuma sama yang satu hobby. Nih, akibatnya. Kadang merasa sendirian pada saat mereka bisa-bisa pas serempak melakukan urusan pribadi masing-masing.”
Ada tanya yang tersirat di mata Sylvanie.
Tapi untuk sebuah dorongan yang entah dari mana, aku merasa perlu mengibaskan tangan dan berkata, “Hei, hei! Aku sama Kelvin baik-baik saja. Tadi juga dia mengantar aku pulang. Ini ceritanya kepengen me time. Dadakan juga sih. Dari dulu kepengen makan di sini karena melihat postingan banyak Orang. Dan ternyata memang lokasinya menyenangkan. Makanannya juga enak-enak. Dna yagn terpenting, masih terjangkau sama kantung.”
Sylvanie tersenyum dan berkata, “Nah, itu! Itu membuat aku makin salut sama kalian. Kalian itu..., aduuuh! Benar-benar membuat Siapa saja yang melihat jadi iri. Harmonis banget. Dan aku nggak menyangka, ternyata kamu juga masih bisa asyik-asyikan me time begini.”
Sylvanie lantas mengacungkan kedua ibu jarinya sekaligus.
“Kalian berdua keren. Aku serius nih, mau tanya, rahasianya apa? Soalnya kan kamu itu ya agak..., sedikit berbeda ya sama Kelvin. Istilahnya, yang satu agak pendiam, satunya ekspresif. Pokoknya kalian berdua saling melengkapi.”
Eh! Aku merasa tersanjung mendengar bahasa Anak Sastra yang satu ini.
“Kamu juga nanti sama Kendra begitu,” sahutku.
Mendadak Sylvanie terdiam.
“Eh, kenapa? Aku nggak salah ngomong kan? Kalian berdua sudah berapa lama jadian?” tanyaku langsung.
Jauh dari perkiraanku, Sylvanie menggelengkan kepalanya.
“Syl...”
Ini kenapa, kok jadi aku yang deg-degan.
“Kalian berdua...?”
Aku menggantung kalimat tanyaku.
Sylvanie mengangguk ke Pelayan yang menghidangkan pesanan makanannya.
“Sambil dimakan saja, Syl,” kataku.
Sylvanie mengiakan.
“Ini nggak apa nih kalau aku mendadak bercurhat begini? Soalnya aku pikir, kamu kan juga cukup mengenal Kendra, ya.”
Wuih. Kalimatnya bikin aku deg-degan. Kenapa nih mereka berdua?
“Ayo cerita, Syl. Aku malah senang kalau kamu curhati. Nanti gantian ya aku yang curhat.”
Sylvanie tersenyum tipis dan seperti menagih jawabanku atas pertanyaannya tadi.
“Wah, aku senang jadinya. Rhein, coba dong kasih tips sedikit bagaimana kamu menghadapi Kelvin?”
Aku agak bingung sama pertanyaannya.
“Maksud aku, ya itu tadi, soal menyesuaikan diri. Kan kalian beda pembawaan,” ralatnya cepat.
Aku menangkap kesan bahwa dia berusaha untuk menjaga baik-baik ritme bicaranya dan tak mau menimbulkan prasangka. Khas Anak Sastra. Eh, aku merasa terpengaruh sedikit deh. Biasanya aku nggak selambat ini ngomongnya. Atau mungkin, ini dipengaruhi oleh Si Bulan yang membuat aku merasa lemas dan kurang bersemangat? Aku nggak tahu pasti dan sedang nggak tertarik buat memikirkannya sekarang. Mendingan menikmatinya saja.
“Oh, itu. Eng..., apa ya? Nggak ada tips khusus, sih,” kataku sambil mengaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Mungkin ini..., disabar-sabarin. Dan kalau sudah mulai tergoda rasa nggak sabar, yang disabarin lagi,” tambahku.
Sylvanie tertawa kecil.
“Tetap salut. Aku juga berharap kalau nanti aku menjalin hubungan, entah dengan Siapa itu, juga bisa seawet dan seharmonis kalian berdua.”
Aku menyipitkan mata.
“Maksudnya..., kamu sama Kendra belum begitu? Ya mungkin karena masih baru.”
Sylvanie menggeleng.
“Kami belum jadian kok.”
Aku terpelongo.
“Serius,” ucap Sylvanie.
“Masa sih?”
“He eh.”
“Kok bisa, ya? Aku pikir Kendra sudah nembak kamu. Kamu yang belum menjawab, ya?”
Sylvanie menyeruput air jeruk di gelasnya melalui sedotan sebelum menjawab.
“Kendra belum mengungkapkan secara lisan.”
Aku langsung tersulut untuk mengatakan, “Wah! Payah Anak ini! Nanti aku sindir kalau lagi latihan. Nggak boleh Cewek tuh digantung-gantung begitu lama. Ngapain dia selama ini kalau belum juga berani mengungakapkan perasaan dia? Aku tuh tadi malahan menyangka kamu yang masih menunda memberikan jawaban ke dia.”
Sylvanie agak ragu saat brkata dengan sangat lirih, “Itu juga sih.”
Aku mengernyitkan alisku.
Apa sih Anak ini, ngomong kok nggak jelas begini?
“Gimana, gimana? Yang benar bagaimana? Masalahnya itu ada di kamu atau di dia? Bilang ke aku coba,” kataku, dengan gaya bak Seorang Problem Solver, Sang Penasihat Urusan Percintaan yang siap sedia memberikan solusi bagi kendala hubungan Sylvanie dengan Kendra.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $