POV Kelvin
Gue langsung mendelik sebagai reaksinya.
“Sial! Jangan keterlaluan ngomongnya! Kalimat lo yang terakhir gue nggak terima tuh,” tegur gue serius.
Gila, apa-apaan ini? Tadi ulah Rheinatta, sekarang omongan Bram! Amit-amit, jangan sampai ini jadi kode dari semesta! Kesannya gue sama Rheinatta itu bakalan pu...? Nggak! Gue masih terlalu sayang sama Rheinatta!
Bramantyo tercengang mendapati reaksi gue, walau hanya sesaat.
“Laah..., sorry lah, Bro! Gampang amat tersinggung sih! Segitu belanya sama Pacar,” kata Bramantyo dengan nada rendah seraya menepuk lagi pundak gue.
“Ya elo juga ngawur! Namanya Pacar masa gue kagak belain!”
Gue ikut-ikutan menurunkan nada suara gue.
Gue melihat Bramantyo menarik napas lega sebagai reaksinya.
Di saat jeda begini, ‘gangguan kecil’ datang lagi.
“Heh … pada ngomongin apa kalian berdua, coba? Kok pakai bisik-bisik begitu? Kesannya rahasia banget. Mencurigakan! Honey, kamu mau bersaing sama Bram ya, mau ngegebet Si Kalista? Betul seperti itu? Kalian lagi membuat semacam kesepakatan persaingan yang fair satu sama lain?” tegur Rheinatta galak.
Gue dan Bramantyo saling pandang barang satu detik, dan mengangkat alis. Kemudian kami tertawa bersamaan.
“Duo posesif. Pantas awet pacarannya,” komentar Bramantyo setengah bergumam, setelahnya.
Dasar Bramantyo sepertinya sedang beruntung, gumamannya urung gue tanggapi lebih jauh. Pasalnya, gue sedang berfokus pada pemikiran gue sendiri, yang merasa perlu untuk mengoreksi prasangka Rheinatta, sementara apa yang dia lakukan dengan Michael tadi, nggak bisa gue pungkiri, jelas-jelas mengusik ketenangan hati gue.
Mata gue mengerling ke paras Rheinatta. Aneh. Dan sungguh nggak adil. Semestinya kan gue yang marah ke dia karena ‘perselingkuhan’nya sama Michael tadi. Tapi kenapa tatap matanya malah membuat perasaan gue jadi lemah? Gue mendapati, mata Rheinatta seolah berkata, “Explain it to me, right now!” Apa-apaan ini? Ah, mendadak pikiran gue jadi terasa penat.
Gue mengembuskan napas panjang.
“Bee, itu jenis kecurigaan yang nggak pada tempatnya, tahu! Kamu kayak baru kenal aku satu dua hari ini saja, pakai ngomong begitu. Jangan sembarangan dong kalau ngomong,” ucapan gue berbalas helaan napas lega dari Rheinatta.
Lucunya, Bramantyo menatap kami bergantian, seakan hendak memastikan tidak terjadi kesalahpahaman yang tidak perlu di antara kami.
“Rhein, thanks ya, atas tawaran elo. Tenang deh, kalau gue mau, gue bisa kenalan sendiri sama Si Kalista. Oke? Mending fokus tuh, sama acara yang masih berlanjut.” Bramantyo berusaha menetralisir suasana.
“Everything is safe and under controll, right?” tanyanya pelan ke gue setelahnya.
Gue mengangguk singkat menanggapinya, tapi Rheinatta yang mendengar sambil lalu hanya mengangkat bahu tak peduli. Mata Pacar gue itu menatap lurus ke arah panggung. Kali ini, gue nggak bisa menebak apa yang ada di pikiran Cewek Tersayang itu, dan herannya gue juga nggak punya keinginan untuk membujuknya.
“Gue lapar. Kita makan dulu, yuk!” ajak Bramantyo setelah diam yang lumayan panjang di antara kami bertiga.
“Bee, diajakin makan sama Bram,” bisik gue persuasif.
Dia menggeleng dan mengorek isi tas Kippling-nya.
“Tanggung, ah. Itu, Reza bilang mau memperkenalkan Sejumlah Orang yang berprestasi di kampus kita. Nih, makan roti dulu saja buat sekadar mengganjal perut,” kata Rheinatta sembari mengangsurkan roti coklat keju kegemaran gue dan satu kotak s**u uht kemasan 250 ml dengan varian rasa strawberry. Juga kesukaan gue. Ini Cewek, memang perhatian banget sama gue. Sampai hal kecil jug dia ingat. Yang satu ini nggak bisa gue bantah deh.
“Nih, Bram,” diangsurkannya pula roti isi kacang merah serta sekotak s**u uht rasa coklat kepada Bramantyo yang menyambut dengan senyum super lebar.
“Thanks. Keren lo Rhein! Persiapannya mateng banget, deh! Wah, sudah serasa mau hiking saja, deh,” canda Bramantyo. Mendengarnya, rasa bangga bercampur geli menyapa perasaan gue.
Rheinatta memalingkan wajahnya, mengulas senyum kemenangan.
“Yang penting berguna kan? Buktinya, bisa menolong kalian berdua dari bahaya kelaparan. Nggak keren tahu, kalau di kampus beredar kabar, dua pentolan klub Edelweiss mati gara-gara kelaparan pas nonton art hours. Ya, biarpun kelaparannya gara-gara tersesat di gunung dalam rangka membuka jalur baru pun, tetep saja enggak keren...,” tukas Rheinatta santai. Wajahnya dipasang sebegitu manisnya, membuat gue gemas dan tergerak melupakan insiden dia berpandang-pandangan dengan Michael beberapa saat lalu. Andai bukan di tengah keramaian begini, pasti sudah gue cium bibir ranumnya yang begitu menggoda! Apa daya, saat ini gue harus berpuas diri, sekadar membayangkan sedang mencium bibir merah mudanya.
“Hush! Jangan ngomong yang enggak-enggak begitu, ah!” kata gue yang mencubit pipi Rheinatta dengan lembut.
Gue tahu, Bramantyo memperhatikan kami dengan tatapan mata sok dibuat risih. Tapi, apa peduli gue? Nah dia kan sudah kelewat sering melihat kedekatan gue sama Rheinatta. Ya saat latihan di klub Pecinta Alam, saat Edelweiss sedang ada kegiatan, atau di mana saja. Rheinatta juga bukan type Cewek yang ragu buat menunjukkan keintiman dengan gue. Selama ada gue, dia, dan Rheinatta. Sekadar menggelayut manja, menyentuh pipi gue, atau memegang tangan gue, itu mah sudah biasa banget deh. Terus sekarang, ngapain juga pakai sok-sokan risih?
“Rheinatta bener kok Vin. Persiapan kan, perlu buat apa saja. Nggak cuma kalau mau hiking, caving, camping, traveling de el el. Pas banget deh, lo pilih dia jadi Pacar lo. By the way, rotinya enak, apa karena gue lagi laper berat, ya?” komentar Bramantyo usai menghabiskan roti pemberian Rheinatta. Cepat sekali! Secepat dia menyambar sebatang coklat Kit Kat rasa dark chocho mint di tangan Rheinatta dan bergegas mematahkannya menjadi dua bagian. Hampir gue memprotesnya.
Ebuset, coklat mahal itu, import dari NZ pula. Jangan dibagi dua juga dong, bagi tiga semestinya!
Gue mengerling ke paras Rheinatta yang tersipu mendengar pujian Bramantyo. Dia urung menyadari, pujian Bramantyo itu sesungguhnya nggak tulus-tulus banget, sekadar lip service semata, buat mantes-mantesin karena sudah dikasih ‘pertolongan pertama pada kelaparan’.
Gue menatap Rheinatta sepenuh cinta dan mengacak rambutnya pelan. Rasanya bangga betul, punya Kekasih dengan kualitas super, macam dirinya. Alhasil, kami berdua adu pandang lagi, tanpa memperhitungkan Bramantyo yang merasa perlu dikomentari.
Mungkin merasa gerah, Bramantyo menepuk jidatnya dengan ekspresif.
“OMG! Lihat-lihatan lagi! Wah, nyesel deh gue jadinya. Gue rasa gue salah ngomong barusan. Baiklah, dengan ini resmi gue tarik kembali kata-kata gue,” Bramantyo mengibaskan tangannya lantaran merasa diabaikan. Untuk mempertegas sikap, dia memilih bergeser dari posisi berdirinya, kembali menjauhi kami. Alih-alih menahannya, gue dan Rheinatta malahan menertawakan aksinya.
“Makanya cari Pacar Bram, cari Pacar! Biar elo merasakan sendiri betapa enaknya pacaran! Ada yang memperhatikan elo, ada yang bisa disayang-sayang, bisa dipeluk. Kalau elo lagi galau, setidaknya ada tangan yang bisa elo genggam. Kalau elo lagi butuh pendapat, ada yang bisa elo tanyai. Kalau lagi iseng, ada juga yang bisa elo lamunin. Terus, kalau akhir pekan itu, kegiatan elo lebih berkualitas, enggak melulu escape ke gunung lah, ke pantai, lah. Bisa sesekali kencan dengan nonton film premiere atau makan malam romantis, atau clubbing lah. Bram, Bram, d**a bidang elo itu, mustinya elo baktikan buat senderan Cewek imut, ngerti nggak! Bukan dianggurin begitu saja. Sia-sia banget itu d**a bidang nempel di badan elo!” cerocos Rheinatta lancar.
Sulit bagi gue untuk menahan geli, mendengar ucapannya yang macam kran air sedang dol, gagal direm.
“Bram,” panggil Rheinatta yang merentangkan tangannya dan sedikit memiringkan tubuhnya ke samping untuk menjangkau lengan Bramantyo agar mendekat kembali ke kami.
Lalu sambungnya, “Gue prihatin, melihat elo sendirian terus! Entar kan, kalo elo sudah punya Pacar, kita bisa double date. Pergi berempat. Pasti seru, deh.”
Gue tertawa kecil. Tidak protes dengan ulahnya. Protes juga percuma. Rheinatta mana bisa dilarang, sih, kalau merasa dirinya benar? Dan memangnya dia pernah, merasa dirinya salah?
“Ha ha ha … bisaaa banget deh, lo! Dan apa? Double date? Enggak, makasih!” tolak Bramantyo tegas. Demi menegaskan penolakannya, Bramantyo mengibaskan telapak tangannya segala, kemudian menyilangkan kedua tangannya.
“Dih, kenapa?” balas Reinatta dengan nada tersinggung.
“Ya ogah dong, kalau Cewek gue terpapar virus sableng kalian berdua plus over confidence-nya elo, Rhein! Bahaya! Harus gue protect habis. So, trust me, i will keep her away from both of you! Biar nggak terinfeksi virus kagak tahu malu kalian juga! Ha ha ha!” Bramantyo terbahak dengan hebohnya.
Rheinatta tidak terima. Dia langsung berkacak pinggang. Bukannya seram, dengan gestur macam itu, selintas malah terkesan dia sedang pamer dan mempertegas lengkung pinggangnya yang ramping itu. Huft! Ampun deh, Cewek satu ini! Hampir gue tergoda buat meraih pinggang rampingnya.
“Bramantyo Kristiadi, dengar! Jangan asal kalau ngomong itu mulut ya! Nekat lo! Kalau kata buku, jauh di lubuk hati Para Pengeritik, sejatinya menyimpan kekaguman mendalam pada Orang yang dikritiknya. Simply words, akui saja lah, lo terkagum berat sama gue berdua, dan diam-diam menjadikan gue sama Kelvin sebagai Idola, sekaligus Panutan elo. Ya, kan?” cetus Rheinatta mantap.
Bramantyo belum lelah menggoda Rheinatta rupanya. Dia berlagak tersedak.
“Gila, Pe-de amat, tuh lambe*)! Coba kalau gue lagi minum barusan, otomatis nyembur macam dukun, denger elo ngomong macam itu Rhein,” ejek Bramantyo.
“Up to you.” Rheinatta mengedikkan bahu, lalu memasang wajah tanpa ekspresi. Datar, sedatar papan seluncur. Detik berikutnya, wajahnya cemberut seperti Orang yang tengah menahan kesal. Begitulah, namanya juga Rheinatta! Mood-nya bisa naik turun seenak jidatnya sendiri!
Bramantyo sepertinya menyadari hal tersebut. Dia langsung berlagak mengambil hati Rheinatta.
“Iya … iya, gue kagum kok, sama kekompakan elo berdua,” ucap Bramantyo.
Rheinatta manggut dengan puas.
“Apa gue bilang juga.”
Bramantyo tersenyum usil.
“Kalian berdua sangat kompak. Kompak dalam kegilaan, maksudnya,” bujuk Bramantyo kemudian dengan setengah suara pada kata ‘kegilaan’. Mungkin dia enggan membuat sesi ngambeknya Rheinatta berkelanjutan. Huh, enak saja!
“Gini deh, Bram, kita lihat saja nanti. Saat lo cinta mati sama seorang Cewek, keadaan bisa berbalik, gantian gue berdua yang dapet tontonan gratis. Ya, kan, Bee?”
Gue yang sejak tadi lebih banyak diam, terdorong buka suara demi mengademkan hati Rheinatta. Rheinatta lekas mengangguki ucapan gue, tanda bahwa dirinya mendukung sebulat hati.
Bramantyo tampaknya mati kutu. Pasti tak terpikir jawaban apa pun untuk menangkis omongan gue yang cukup telak barusan. Kalau Rheinatta perlu ngoceh panjang lebar untuk menyudutkannya dan masih dapat disahutinya, gue sih cukup sekali ngucap, tapi jebret, pas ke sasaran. Akibatnya Bramantyo hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, kemudian melihat ke arlojinya, berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.
Seolah belum puas, Rheinatta berkata, “Gue sumpahin bucin lo, b***k cinta, sampai nangis-nangis pilu macam di sinetron.”
Bramantyo menatap dengan pandangan putus asa.
Rheinatta terlihat akan menyerang kembali. Gue merasa perlu bertindak.
“Aduh, sudah deh, kalian berdua. Itu si Reza digratisin? Tuh, dia sudah manggil Si Oscar Anak Akuntansi, Adik kelasnya kita,” tegur gue pada mereka.
Baik Rheinatta maupun Bramantyo berhenti saling olok. Keduanya memperhatikan Reza yang menyebut Oscar sebagai juara pertama lomba e-sport antar kampus.
“Kasihan juga Oscar, jadi grogi begitu digodain penonton Cewek yang kegenitan. Cowok introvert yang satu itu kan lebih akrab sama komputer dan doyan mancing. Pasti kurang nyaman, dia,” ada celetukan lagi dari arah belakang kami.
Oh, ternyata Oscar yang satu Fakultas dengan kami ini lumayan dikenal juga di Fakultas Sastra? Atau..., memang Anak Fakultas Sastra yang terlalu ‘gaul’?
“Nah, Guys, masih mau kenal dengan yang lain, kan? Atau cukup kenalan sama Oscar saja?” tanya Raissa dengan manisnya, ‘menyelamatkan’ Oscar dengan mengakhiri sesi perkenalan singkat tersebut.
“Mau lah! Cepetan, panggil yang lain! Sudah siang, lapeer tahu nggak!” seru Rheinatta tiba-tiba. Demikian lantang, mengakibatkan Bramantyo dan gue terkaget bersamaan.
Bramantyo sampai sengaja melonjakkan badannya secara hiper ekspresif. Pasti maksudnya sengaja untuk menggoda Rheinatta. Tanpa setahu mereka, gue mengerling dengan pandangan kurang suka. Bramantyo geleng-geleng kepala.
“Gile juga cewek lo, Vin! Stereo banget suaranya. Nggak perlu toa. Biasa clubbing sih, jadi super duper ekspresif, deh!” bisik Bramantyo, tepat di telinga gue.
Gue membeku mendengarnya.
Gue nggak menduga sama sekali, Bramantyo bisa berkomentar macam itu. Lantas, apa bedanya celetukannya ini dengan celetukan Rheinatta tadi? Sama-sama melanggar batas privacy Orang lain, kan?
Jujur saja, gue sungguh terusik, sekaligus merasa malu.
Dan menyebut soal clubbing? Oh, itu dia salah satu yang kerap membuat gue bertengkar sama Rheinatta. Dan semakin kemari, semakin sering saja kegemaran Rheinatta yang satu itu, membuat gue semakin jengkel.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $
* ) Lambe = bibir