POV Kelvin
Selagi gue ngobrol sama Bramantyo, gue mengamati semua pergerakan Rheinatta, sampai akhirnya dia pamit untuk pulang duluan.
Dari gue sempat deg-degan sewaktu melihat Sylvanie ikut-ikutan manjat wal climbing setelah mengobrol sama dia. Tapi gue mencermati, sikap Kendra nggak mengesankan dia menyalahkan Rheinatta kok.
Yang membuat gue insecure sekarang, adalah karena gue melihat Michael.
Si Adik Kelas yang satu itu seperti Orang nggak punya kerjaan. Ngapain juga dia cuma berdiri mengamati Rheinatta dari tempat dia berdiri? Dia pikir gue nggak memantau setiap pergerakannya yang sesekali sok mengesankan dia lagi main handphone biarpun gue sambil ngobrol sama Bramantyo?
Ini bukan pertama kalinya.
Waktu di kantin juga dia begitu.
Terus tadi Bramantyo ada menyebut, dia sama Michael sempat berpapasan di perpustakaan dan saat itu Michael bilang kalau dalam waktu dekat Klub Edelweiiss ada kegiatan untuk umum lagi, dia tertarik untuk ikut serta.
Semestinya itu hal biasa. Tapi gue menangkap ada agenda tersendiri.
Gue menganggap dia sedang mengincar Rheinatta.
Jelas-jelas dia tahu Rheinatta itu Pacar gue. Masa iya mau nikung?
Nggak bisa apa, ngincar yang lain? Atau kejar Si Kalista yang entah nggak tahu apa kabarnya tuh, selagi Bram juga nggak nyebut-nyebut soal dia.
Gue mendengkus kesal jadinya.
“Hon..”
Tahu-tahu Rheinatta sudah mendekati gue, dan bergelayut manja di lengan gue.
Perenungan pribadi gue buyar seketika.
“Hei, Bee.”
Rheinatta mengernyitkan alisnya.
“Kamu kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Kok kelihatan kaget begitu? Lagi ngelamun? Ngelamunin Siapa, hayo? Orang akunya di sini juga..,” olok Rheinatta.
Gue mengacak rambutnya.
“Iya, ngelamunin kamu. Takut ditikung sama Orang,” ucapku.
“Ih, apa sih. Nggak jelas deh ngomongnya.”
Rheinatta melongok ke dalam ruangan basecamp.
“Lho, Bram kemana Hon?”
“Pulang dia. Baru banget.”
“Kok nggak bilang-bilang?”
“Bilang, sama aku. Dia tadi ada terima telepon, terus langsung pulang.”
Rheinatta melengkungkan bibirnya ke bawah.
“Se-urgent itu? Sampai langsung pulang? Padahal tuh Para Anggota baru lagi senang-senangnya lho, karena kata mereka Pentolan Klub Edelweiss kumpul lagi. Komplit gitu.”
“Oh. Tapi kan Bram sudah sempat latihan dan ngobrol juga ke mereka. Kasih mereka motivasi. Namanya Orang itu kadang punya urusan pribadi, Bee.”
Rheinatta mengedikkan bahu dan menarik kursi di dalam basecamp kami.
“Hon, tadi aku ngobrol sama Sylvanie jadi iri deh. Dia sama Kendra tuh, keren deh. Mereka dari awal sudah punya kesepakatan untuk saling membiarkan Pacarnya dengan hobby masing-masing.”
Gue langsung merasa tersindir.
Tapi karena lagi malas bertengkar, gue pura-pura nggak dengar.
“Hon..., kamu kok cuek amat sih?”
“Enggak. Aku dengar kok. Lanjutin deh ngomongnya.”
Gue berusaha sekalem mungkin.
Dan tanpa semau gue, mendadak pikiran gue malah melayang ke Nicky. Nicky yang bertubuh mungil itu. Nicky yang menarik dengan rambut pendeknya. Nicky yang secara visual memang tidak terlalu cantik, namun memiliki kharisma tersendiri.
“Eh, itu Kendra sudah selesai latihannya. Dia sama Sylvanie kemari, Hon.”
Gue yang hampir terlarut karena asyik membayangkan tampilan Nicky serta sejumlah momen yang kami lalui bersama, sedikit tersentak.
“Oh. Mereka mau istirahat di sini, mungkin,” ucap gue asal saja.
Rheinatta menatap penuh selidik.
Gue merasa nggak nyaman.
Untung saja, pada saat yang demikian, telepon genggam gue berdetar.
Gue yang merasa menemukan alasan untuk ‘escape’ sejenak dari Rheinatta, lansung merogoh saku celana gue. Gue sudah begitu bersemangat karena menyangka bakalan mendapatkan alasan yang tepat. Tapi begitu gue melihat nama Si Penelepon, gue terkeget. Gue sampai memperkiraka, bisa jadi wajah gue memucat saat ini. Ah, semoga saja enggak.
Gue agak ragu untuk mengangkatnya.
“Siapa, Hon?” tanya Rheinatta. Ada kecurigaan dalam nada suara serta tatapan matanya, yang membuat gue refleks menghindari tatapan matanya. Gue takut dia bisa membaca sesuatu.
Gue menelan ludah.
Pada saat itu, secara kebetulan Kendra datang bersama Sylvanie dan beberapa Anggota baru Klub Eldeilweiss. Suasana jadi agak riuh. Ini benar-benar alasan yang sempurna buat gue supaya bisa menyingkir dari sini.
Gue langsung bilang ke Rheinatta, “Sebentar, ya Bee. Aku mau terima telepon dulu. Di sini terlalu berisik soalnya, takut nggak jelas nanti. Aku tinggal dulu ya.”
Dan gue cepat-cepat beranjak pergi sebelum Rheinatta sempat bertanya lebih lanjut atau sekadar mencegah gue.
Gue langsung melangkah meninggalkan ruangan kecil itu.
Dan karena takut panggilan telepon telanjut terputus, gue nggak terlalu jauh perginya.
Di balik pilar, beberapa meter jaraknya dari posisi wall climbing, gue langsung menerima panggilan telepon itu.
“Hallo.”
“Halo Vin? Kamu lagi di mana, nih? Dari tadi aku sudah telepon bolak-balik nggak kunjung diangkat. Lagi sibuk, ya?” terdengar suara Cewek dari seberang sana, ditingkahi suara desir angin.
Gue memperkirakan, dia pasti berada di alam terbuka.
“Aku ada di kampus. Barusan aja selesai latihan. Kamu sendiri, ada di mana?” gue balik bertanya.
“Aku? Lagi di Puncak.”
Aku terperangah.
“Hah?”
“Kenapa kaget?”
“Ngapain? Ada gathering, atau apa?”
“Enggak. Lagi Paralayang. Kamu kok nggak kemari? Apa sudah terkapok-kapok sama paralayang? Ah, payah deh. Belum juga kenapa-napa,” goda Nicky diiringi tawa renyahnya.
Lantas kemudian dia menambahkan, “Oh, iya. Ini hari Sabtu ya. Setiap kali ketemu kamu di sini kan pas hari Minggu ya. Ngomong-ngomong, gimana? Benar tebakanku? Kamu kapok?”
“Nggaklah Nick! Masak segampang itu kapok. Terus nih ya, aku juga nggak kepengen kenapa-napa, dong.”
Ada suara tawa renyah lagi yang menyapa telinga gue.
“Tentunya.”
“Ramai nggak Nick di sana?”
“Lumayan sih, lebih ramai dari hari Minggu malahan. Ngomong-ngomong, kapan kamu mau ke sini lagi? Siapa tahu bisa barengan?” tanya Nicky.
“Sementara ini belum ada rencana ke sana sih.”
“Ngomong-ngomong, Bram juga nggak pernah kelihatan lagi lho.”
“Masih cari Bram?” goda gue iseng.
“Enggak. Cuma kadang tuh kalau ngomong sama kamu ya jadi ingat, kamu sama Bram berteman.”
“Nggak berarti bahwa aku ini Bayangan dia lho,” olok gue.
“Iyalah.” Suara Nicky agak meninggi.
Gue seperti mendengar alarm untuk tidak menusik lebih jauh.
“Lagi sibuk apa saja Vin?”
“Kebanyakan ya kegiatan di kampus sama di Klub Pecinta Alam.”
“Oh.”
“Ngomong-ngomong, kamu masih suka dengar siaranku kalau pas di perjalanan?”
“Masih dong. Makin sering malahan, Nick. Nih, jujur ya, suara kamu tuh bagus banget, ya?”
Nicky berdecak.
“Enggaklah. Standard. Ih, kamu tuh kayak baru sekarang kenal sama aku dan dengar suara aku deh, ngomongnya begitu.”
“Soalnya, sebelum tahu kamu kerja sebagai Penyiar radio, aku itu bukan termasuk Orang yang suka mendengarkan siaran radio. Aku lebih suka dengar lagu dari cd player kalau di perjalanan. Beda waktu tahu kamu itu jadi Penyiar. Tahu nggak, kelihatannya aku ini sudah kepincut sama suara kamu deh. Juga sama orangnya.”
Entah Setan mana yang ‘membimbingku’ mengatakan kalimat itu.
Akibatnya, Nicky terdiam.
Untungnya, tidak lama.
Setelahnya, dia bisa tertawa dan mengejek gue dengan berkata, “Ah, ngegombal deh.”
Gue merasakan ketawanya dia itu ketawa yang dipaksakan.
Makanya untuk mencairkan suasana, gue masih bilang, “Yeee..., dibilangin. Nggak percaya ya udah.”
“Ya sudah kalau begitu Vin, kamu lanjutin deh latihannya. Temen-temen aku sudah manggil nih. Daagh. Sampai ketemu ya.”
“Nick, hati-hati di jalan ya. Ntar aku telepon kamu deh. Sampai nanti ya.”
Klik.
Gue mengakhiri hubungan telepon.
Hati gue rasanya penuh. Gue sampai mesem-mesem sendiri.
Tapi senyum gue seketika lenyap begitu gue menoleh karena Rheinatta meneriaki gue.
“Hon...! Hon!”
Bukan itu alasan utama gue terkaget. Juga bukan karena gue cemas mendapati Rheinatta berlari-lari berlari-lari kecil ke arah gue, menembus hujan yang mulai jatuh satu-satu.
Percayalah, bukan itu!
Tapi terutama karena gue mendapati, sejarak dua meter dari gue, berdiri Michael yang menyandarkan punggung ke dinding dan kelihatannya bermain games di tabletnya.
Gila! Sejak kapan dia di sana? Dan apa dia kurang kerjaan? Main games kenapa harus dekat-dekat gue, kan?
Gue curiga, jangan-jangan dia sudah menguping semua pembicaraan gue sama Nicky barusan. Sayangnya, dengan posisi dia yang sok asyik main tablet, gue jadi nggak punya alasan buat menegur dia. Ini kan area publik. Semua Orang juga berhak mau berdiri, nyender atau jongkok di sekitar sini. Apalagi mimik mukanya sok tenang begitu. Apa coba maunya dia?
Gue menatap penuh selidik. Dan seolah dia sadar gue sedang melihat ke arah dia, dia mengalihkan tatapan wajahnya dari layar tablet dan menoleh ke arag gue, lantas mengangguk. Nggak ada satu patah kata juga yang dia ucapkan.
Gue ogah membalas anggukan kepala dia.
Gue pilih menghampiri Pacar gue.
“Bee, jangan hujan-hujanan. Minggir!” seru gue.
Dia tidak bergeming.
Gue meraih pundak dia setelah dekat.
“Bee … bubar aja. Udahan ya latihannya. Kayaknya hujannya mau deres ini. Kita pulang aja, gimana?” tanya gue. Saat mendapati wajah Rheinatta yang cemberut menyambut gue.
“Hon, barusan itu telepon dari Siapa?”
“Hm?”
“Telepon dari Siapa?” ulangnya lebih keras.
“Kenapa?”
“Soalnya muka kamu lain. Kelihatannya senang banget. Dari Cewek, ya?” tanya Rheinatta datar.
Gue mencoba untuk tertawa.
Padahal gue sadar tawa gue terdengar sumbang.
“Dari Teman, Bee.”
“Ayo minggir ah. Jangan sampai kamu sakit gara-gara kehujanan. Ini hujan yang model begini justru yang suka bikin Orang jadi sakit,” kata gue.
Rheinatta tak menyahut. Tapi dia tak menolak saat gue yang merangkul dia, mengarahkan langkah kakinya ke base camp Eldelweiiss.
“Lho, Kendra sama Sylvanie mana? Kok nggak kelihatan?” tanya gue pas kami berdua sampai di depan ruangan. Sengaja gue mengalihkan pembicaraan supaya Rheinatta nggak terfokus lagi untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.
“Udah langsung pulang, barusan. Namanya juga Pasangan baru jadian, mau cepat-cepat balik ke rumah dan siap-siap malam mingguan. Kamu sih, kelamaan terima teleponnya. Kelihatannya asyik banget. Itu barusan beneran telepon dari Teman?” tanya Rheinatta setengah bergumam.
“Iya dong.”
“Masa iya dari Teman kok harus pakai ngumpet-ngumpet segala?” ucap Rheinatta lagi.
Gue mengembuskan napas gue.
Eh, dia malah salah paham.
“Kenapa pakai mendengkus? Kelihatannya kesal aku tanya begitu?”
“Ya ampun Bee. Aku nggak mendengkus. Dan aku nggak kesal. Kamu nih ada-ada saja. Buat apa tanya begitu?” bujuk gue sambil mengusap-usap kepalanya.
“Memangnya aku salah kalau tanya begitu?”
Kali ini gerutuan yang terdengar dari mulutnya.
Fix! Gue tahu bahwa dia mengetahui kebohongan gue dan kepengen gue mengakui di depan dia. Namanya juga sudah begitu lama jalan bareng, masak iya gue enggak peka sih?
Gue masih mencoba melunakkan hati dia.
“Hei..., jangan cemberut begitu. Cantiknya berkurang deh.”
Gue melancarkan rayuan sambil mengelus pipinya.
Rheinatta mengangkat bahu.
Gu enggak tahan lagi.
“Heiii ... kenapa sih, Bee? Kok betah amat cemberut? Itu tadi telepon dari Teman aku. Hari ini mereka lagi di Puncak. Aku sama Bram kan nggak ikutan paralayang hari ini,” jelas gue akhirnya.
“Itu yang telepon, Cewek, kan??”
“Iya.”
“Pantes.”
“Pantes apa sih. Bee? Iih, kamu tuh, kok jadi sensitif banget. Jangan-jangan, sewaktu tadi aku tinggal, Kendra sempat mengomel ke kamu, gara-gara kamu bujukin Sylvanie untuk mencoba manjat wall climbing? Wah, nggak benar dia. Beraninya ngomel ke kamu di belakang aku.”
Rheinatta mengerling sekejap pada ke gue
Dan caranya mengerling itu menyiratkan bahwa dia bisa merasakan gue berbasa-basi, bukannya sungguh-sungguh mau tahu.
Tapi gue benar-benar menahan diri.
Enggak ah! Gue nggak mau bertengkar sama dia.
Tapi kenyataannya, dia memang masih penasaran.
“Hon … aku tuh bukan baru sehari dua hari kenal sama kamu. Kita berdua sudah lama jalan bareng.”
Kalimat pembukanya ini bikin gue ketar-ketir. Tapi gue biarkan dia melanjutkan unek-uneknya, dari pada membuat kemarahannya makin parah.
“Aku bingung deh sama hubungan kita.”
Aku tercengang mendengar perkataannya.
“Bee! Kamu ini ngomong apa? Masa gara-gara aku terima telepon terus sampai melebar kemana-mana sih?”
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $