Chemistry? Milik Siapa? (2)

1226 Kata
POV Rheinatta Aku berusaha keras untuk tidak melihat ke arah Michael. Tetapi ada godaan yang sulit untuk aku lawan. Sunguh konyol. Otak dan hatiku sepertinya tidak sinkron. Aku malahan menatap ke arahnya. Dia hanya mengangguk dari jauh. Aku balas mengangguk. Satu detik saja. Dan aku langsung grogi. Aku mengalihkan pandanganku pada Kendra dan Sylvanie. Aku melihat bujukan dan rengekan Sylvanie sepertinya sudah mulai menunjukkan hasil, sebab Kendra terlihat menunjuk-nunjuk ke arah wall climbing, seperti memberi tahu kepada Kekasihnya itu ke arah mana sebaiknya Sylvanie memijak. Sylvanie terlihat mengangguk-anggukkan kepala. Selanjutnya aku melihat juga wajah Sylvanie begitu cerah, ketika Kendra memasangkan harnass ke tubuhnya. Aku tersenyum geli. Kamu keren Syl. Entah pakai ilmu apa. Aku rasa ke depannya aku harus berguru ke kamu setelah ini, pikirku. Sesaat, aku teringat yang diucapkan oleh Sylvanie tadi. ... “Rhein, tahu nggak? Hari ini kan sebenarnya Kendra nggak tahu kalau aku bakalan kemari. Aku bilang ke dia ada materi tulisan yang harus aku tuntaskan. Makanya dia tadi kaget waktu tahu aku datang.” “Kaget?” “Maksudnya kaget senang, bukan kaget terpergok.” Aku tertawa. Memangnya barusan ekspresi wajahku menyiratkan pertanyaan itu? Ucapan Sylvanie membuat hatiku tergelitik dan bertanya-tanya, andai saja mendadak aku mengikuti caranya, yakni menyusul Kelvin entah ke Puncak atau tempat lainnya, di saat dia tak sedang menghabiskan malam Minggu denganku, kira-kira reaksinya akan seperti apa? Senangkah, atau malah merasa terganggu? “Dia senang banget, tadi,” tambah Sylvanie. Aku mesem-mesem. Kendra senang. Namanya juga masih baru jadian. Ini sama dengan kejutan yang manis. Tapi bagaimana kalau itu Kelvin? Dulu-dulu mungkin senang. Tapi sekarang? Ah! Entahlah. Aku sendiri juga takut sih, kalau reaksinya malah tersinggung, merasa dicurigai. “Rhein, kapan hari katanya Kendra kan pernah diajak paralayang sama Kelvin.” “Oh, yang sudah agak lama itu, ya.” “Hem..., tepatnya sebelum dia ‘nembak’ aku. Ada Bram juga waktu itu. Tapi yang kedua kalinya, belum lama ini. Kelvin ajak Kendra, tapi nggak ada Bram.” Aku nggak mengerti arah pembicaraan Sylvanie. “Oooh...” “Tadinya aku pikir Bram sama Kelvin itu kemana-mana pasti sama-sama. Ternyata enggak juga, ya.” Aku tertawa. “Wah, kalau begitu, aku bisa cemburu,” timpalku.” Sylvanie tersenyum samar. Dan aku nggak berminat untuk mencari tahu apa arti senyumnya. Barangkali senyuman kegembiraan karena dalam rangka dirinya sedang kasmaran. Wajar, kan? ... Aku melihat lagi ke arah Sylvanie dan Kendra. Kendra memeriksa dengan saksama tali pengaman dan pengaitnya di badan Sylvanie, seolah hendak memastikan semuanya oke. Romantis sekali. Dulu Kelvin juga begitu. Tapi semakin kemari memang dia semakin percaya sih kalau aku sendiri sudah bisa mengecek ulang. Oh ya, kenapa ya, kok aku merasa aku sendiri juga agak berkurang kadar ketergantungannya ke dia? Apa karena..., masing-masing kami mulai mengincar mau mengambil Magister di mana? Atau..., adakah faktor lain? Ah! Nggak tahuah. Aku pusing! Pikirku. Tampak Sylvanie menyerah sebelum dia sampai di pertengahan jalur wall climbing, tapi wajahnya tetap ceria ketika dia turun. Kendra langsung ikut meluncur turun. “Capek ya?” tanya Kendra. Sylvanie mengangguk. “Kamu ngapain ikut turun? Sana, naik lagi,” suruh Sylvanie. “Kamu nggak apa, aku tinggal manjat?” “Enggak.” “Aku bantuin kamu lepas harnass segala dulu,” kata Kendra. “Nggak usah. Aku bisa kok Atau aku minta tolong sama Rheinatta saja. Rhein!. Rheina, Tolong!” seru Sylvanie, padahal aku nggak jauh-jauh amat dari dia. Kendra menatapku dan mengatakan, “Tolong ya Rhein. Nggak apa, kan?” Aku hanya mengacungkan ibu jari. “Sayang, aku naik lagi ya.” “Gih sana. Hati-hati ya.” “Pasti, Sayang.” Aku mendekati Sylvanie dan membantunya melepaskan harnass. “Gimana? Gimana? Yuk, minggir ke sana,” ajakku. Sylvanie tersenyum lebar sembari mengahpus keringatnya. “Asyik. Tapi lumayan ya capeknya. Ih, padahal cuma seperempat kali, ya,” kata Sylvanie. “Wajar. Namanya juga pertama kali. Tapi kamu hebat,” pujiku. Sylvanie senyum-senyum kecil. “Rhein, tahu nggak aku aku sempat berdebat sama Kendra, sebelum akhirnya Kendra kasih ijin aku nyobain manjat?” “Nggak terlalu dengar sih. Waduh, yang ada nanti dia berpikir gara-gara aku lagi,” sahutku. Lalu sebelum Sylvanie telanjur menganggap apa yang aku ucapkan itu serius, aku buru-buru tertawa. “Aku bercanda,” jelasku. “Aku tahu kok. Tapi beneran deh, walau tadi itu momennya seeprtinya singkat, aku itu sempat bilang ke Kendra, bahwa...” “Apa? Ih, kebiasaan buat Orang penasaran.” Sylvanie tersenyum malu. “Jangan ketawa tapi ya. Kesannya sinetron banget soalnya.” Aku tertawa geli. “Janji, Enggak akan ketawa,” sahutku dan menegaskannya dengan mengangkat jari telunjuk dan jari tengahku secara bersamaan. “Jadi aku bilang ke Kendra, dia itu kan kegiatannya ya bersentuhan sama hal-hal yang beresiko. Nggak hanya soal latihan begini. Nah itu, kalau dia ke Puncak untuk Paralayang, atau kegiatan di alam bebas lainnya, terus terang aku kan deg-degan juga. Nah, tadi itu biar deh dia sedikit deg-degan juga.” Aku mengulum senyum dan berkata, “Paling bisa deh kamu. Tapi itu genius.” “He he he..., aku suka sih waktu lihat dia luluh juga. Ya meskipun...” “Meskipun apa Syl?” “Meskipun aku nggak ada rencana buat mengubah dia untuk mengurangi apa yang dia suka. Aku tadi cuma mau merasakan sensasi manjat wall climbing. Dan ya..., biarpun kami ini pacarannya baru banget, aku sama dia berusaha sih untuk selalu terbuka dan mengkomunikasikan apa pun yang berkaitan langsung sama hubungan ini, supaya mengurangi kemungkinan ada ‘Orang luar’ masuk..” Aku merasa tertohok. Ini padahal dia lagi cerita soal dia dan Kendra, lho. Kenapa aku kok jadi menghubungkannya dengan hubunganku sama Kelvin ya? Kenapa aku jadi membanding-bandingkan cara Kendra dan Sylvanie berkomunikasi dengan yang kulakukan bersama Kelvin. Hmmm... Aku tak mau terintimidasi lebih jauh. “Kalian berdua so sweet, ya,” ucapku. Pipi Sylvanie bersemu merah. “Masa sih? Aku kan justru menjadikan kamu sama Kelvin sebagai panutan.” Hampir aku tersedak lagi kan. Untung saja Si Anak Sastra satu ini buru-buru melanjutkan, “Tapi Rhein, memang sih, kamu tahu sendiri kan, Kendra kan lumayan sabar juga sewaktu mendekati aku dan membaca signal aku sudah siap atau belum untuk menerima pernyataan cintanya. Makanya, dari sebelum akhirnya kami sepakat untuk jadian, ya kami sudah sepakat untuk..” “Untuk apa, hayooo? Mau langsung bertunangan, ya?” tanyaku, untuk menghalau keresahan hatiku yang menjadi-jadi gara-gara secara tak sengaja memikirkan jalannya hubunganku dengan Kelvin. Sylvanie tertawa lepas dan menjawab, “Masih jauh.” “Lalu apa?” “Ya kami mencoba pakai prinsip, bahwa awal dari cinta ya membiarkan Oran gyang kita cintai itu menjadi dirinya sendiri, dan nggak merubahnya menjadi gambaran yang kita inginkan. Karena kalau tidak, artinya kita itu hanya mencintai refleksi dari diri kita sendiri, yang kita temukan di dalam diri dia.” Busyet! Dasar Anak Sastra. Ucapannya puitis dan berat. Tapi setelah aku mencoba meresapinya, kok terdengar betul, ya? Luar biasa Kendra sama Sylvanie ini. Berarti mereka punya chemistry yang kuat dan itu adalah modal yang baik untuk sebuah hubungan. Lalu bagaimana dengan aku dan Kelvin? Bukankah Kelvin itu sampai saat ini masih sering keberatan dengan beberapa kebiasaanku? Dia masih suka menyindir aku, kalau aku pergi clubbing sama Teman-teman. Dan sebaliknya, aku juga begitu? Aku nggak nyaman kalau dia keseringan pergi dengan entakah Bramantyo, Teman-temannya dia di luar, Atau Saudaranya, yang berakibat dia membolos kuliah saat hari Senin-nya< dan juga mengabaikan aku. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN