POV Kelvin
“Ken, kenapa elo malah diam begitu?”
“Gue lagi menyimak, Vin.”
“Oh.”
Gue mencoba menyingkirkan sisa-sisa keraguan gue. Malahan gue juga berusaha untuk menganggap bahwa saat ini gue sedang berbicara sama Bramantyo, dan nggak ada yang perlu gue tutup-tutupi. Jujur, gue memang perlu telinga untuk mendengarkan gue sat ini, sekaligus memberikan pendapatnya ke gue, yang siapa tahu bisa jadi solusi.
“Jadi begini Ken, gue sama Nicky itu sebetulnya sudah lama saling kenal, bukan karena kami ketemu saat paralayang doang.”
“Hm. Lalu?”
“Gue sama Nicky itu... satu kampung halaman.”
Di titik ini gue merasa keceplosan. Tapi mau ngomong apa? Rasanya sudah susah untuk menarik lagi kata-kata gue.
“Nicky itu sebenarnya berasa dari keluarga yang lumayan berada. Dia Anak bungsu. Kesayangan keluarga. Tapi sekaligus, dia Cewek mandiri yang enggak mau menikmati begitu saja fasilitas dari Orang tua dia. Setahu gue dulu, pas dia kuliah juga sudah sambil kerja. Dia sempat jadi Penyiar radio juga dulu. Biarpun stasiun radionya itu kecil dan nggak terkenal. Alasannya, buat nambah-nambah uang jajan.”
“Oke. Terus?”
“Ya. Seperti yang elo juga lihat, kan? Dia itu supel, bersahabat, gaul, dan bisa membagi waktu dengan baik. Juga, dia itu suka tantangan. Dia itu Anak bungsu yang selintas terkesan tomboy karena lebih dekat sama Kakaknya yang Cowok ketimbang Kakak tertuanya yang cewek. Tapi sebenarnya dia nggak ‘setomboy’ itu. Eng..., dia juga penuh perhatian dan bisa bersikap dewasa. Kepikir nggak sama elo Bram, kalau di balik itu semua, dia mau-maunya terjun ke dapur kalau otaknya lagi ‘lempeng’. Yang gue tahu, Dia itu lumayan rajin buat mencoba resep ini itu. Sebagai Cewek, seperti paket komplit banget, kan?”
Kendra setengah bergumam.
“Pasti elo sudah kepincut sama masakannya Nicky makanya bisa ngomong begini.”
Gue pura-pura nggak mendengar. Gue nggak mau pembicaraan ini jadi melebar kemana-mana. Dan terutama, gue sungguh-sungguh mengingatkan diri gue dalam diam, supaya mulut gue ini nggak sampai lepas kontrol dan membuka tentang latar blakang keluarga gue. Nggak, gue nggak mau!
“Dan ada satu hal yang gue salut dari dia.”
“Apa?”
“Biarpun bisa dibilang kalau secara pergaulan dia pasti lebih luas dari eng, Rheinatta, karena pekerjaan yang dia geluti itu memungkinkan dia buat melakukan hal itu, tapi dia nggak terlalu suka ngedugem. Setahu gue malah dia nggak pernah tuh pergi ke kelab. Agak aneh juga sih. Terus lagi ya, Nicky juga bukan cewek korban mode. Dia cuma sesekali ngafe, itu juga kalau ‘diculik’ sama Temen-temen yang terbilang lumayan dekat sama dia. Dan...”
“Dan apa?” Kendra tampak mengejar keterangan dari gue yang mendadak merasakan ada yang menyangkut di tenggorokan gue. Rasanya kok lumayan berat buat mengakui hal ini.
“Bilang aja, Vin. Elo percaya sama gue, kan?”
Gue mengangguki Kendra.
Memangnya gue punya pilihan lain? Bramantyo entah di mana rimbanya sekarang. Lagi pula, kapan terakhir kali gue ngomong ‘sedalam’ ini sama Bramantyo? Gue sudah lupa. Yang gue tahu, selalu ada semacam batas nggak kasat mata, betapa pun Orang-orang melihat betapa dekatnya gue sama dia. Tapi justru batas nggak kasat mata itu yang membuat gue sama Bramantyo bisa berteman begitu awet. Yup, baik gue maupun dia bukan type Oran gyang suka mengorek-ngorek urusan masing-masing kalau nggak salah satu Pihak myang memang berinisiatif untuk melakukan boy’s talk macam yang gue lakukan sama Kendra. Itu pun, entah kapan terakhir kalinya gue lakukan sama dia.
Tapi Kendra beda ternyata.
Dan anehnya gue mau-maunya dipancing cerita begini sama dia.
Padahal kalau diingat-ingat, gue pernah rada kesal sama dia, seperti halnya dia ke gue.
Tapi itu lah. Yang namanya Orang bisa berubah. Sikap maupun perasaan mengiringinya. Jadi ya sudahlah. Gue menikmati saja mendingan.
“Nicky itu.., perhatian banget sama gue. Dia selalu kepengen tahu aktivitas gue. Padahal dia sudah kerja. Dan kerjaannya terbiolang sibuk juga. Dan herannya gue merasa enjoy sih. Soalnya gue sendiri juga kepengen tahu aktivitas sehari-hari dia dan lumayan bisa mengikuti. Tapi..”
Kendra mengangkat alis.
“Kemarin itu.. yang pas kita pergi hiking sama-sama..”
..”Vin! Sorry kalau gue potong. Gue rada kurang sreg karena gue menarik kesimpulan bahwa elo mulai membanding-bandingkan Rheinatta sama Nicky. Begini ya Vin, menurut gue, itu keterlaluan, biarpun Seseorang bisa saja berada di fase begitu. Apalagi elo samaRheinatta sudah pacaran begitu lama. Mungkin kalian berdua mulai jenuh dan mulai merasa ada aja yang salah dalam hubungan kalian tapi nggak mau ngomongin berdua.”
Perkataan Kendra benar-benar bikin gue merasa ‘jleb’.
Tapi dia belum selesai rupanya.
“Gue sih nggak bisa menghakimi kalian berdua. Yang paling tahu apa masalahnya kan kalian. Nah, gue cuma menebak, ini baik elo maupun Rheinatta nggak pernah mau membicarakan secara tuntas kalau ada hal-hal yang menjadi ganjalan. Akhirnya ruwet deh. Dan pada saat begitu, masuklah Nicky. Jujur, ini membuat gue berkaca. Gue kan belum lama jalan sama Sylvanie. Dan elo tahu, betapa kagumnya dia sama elo dan Rheinatta yang dianggapnya keren, bisa awet pacaran begitu lama? Gue..., akan berusaha untuk membicarakan ke Sylvanie, kalau mulai ada rasa nggak enak. Gue nggak mau ada di posisi seperti elo.”
Gue menelan ludah.
“Menurut gue, elo keterlaluan deh, memperlakukan Rheinatta seperti ini.”
Dalam kondisi biasa bisa saja gue marah.
Tapi faktanya, Kendra memang benar kok. Gue harus berbesar hati untuk mengakuinya kan?
“Thanks buat opininya, Ken,” ucap gue.
“Hm.”
Mendadak gue ingat sesuatu.
“Ken, elo tahu nggak? Mulanya yang ditaksir sama Nicky tuh Si Bram.”
“Ya. Agak kelihatan sih cara dia waktu itu. Terutama cara Temannya dia, gue rada lupa namanya.”
Gue tahu yang dimaksud sama Kendra. Tapi buat mengucapkan namanya juga gue malas. Ya Si Temannya Nicky itu kan yang sedikit memanfatkan Nicky untuk mendekati Bram supaya dia juga ‘mendapat balas budi’ dari Nicky. Dan kalau dipikir-pikir, itu awalnya perasaan gue ke Nicky bertumbuh dan akhirnya gue terlarut dan semakin terlarut.
Gue tertawa pahit.
“Heh, gue jadi curhat kepanjangan begini deh sama elo, Ken.”
“Ya nggak apa. Memang kita sesama Anggota Klub Eldelweiiss wajar kok kalau salng kasih dukungan dan masukan.”
“Thanks.”
“Never mind.”
“Ken, sekarang ini gue memang lagi bingung.”
“Bingung untuk keluar dari hubungan yang ruwet ini dan mengakhiri dramanya?”
Dengan berat hati gue mengangguk.
“Iya. Kira-kira begitu. Gue nggak tahu harus bagaimana. Sampai sekarang Rheinatta nggak mau terima telepon gue, apalagi ketemu gue. Dia itu kalau sudah selesai kelas, ya main hilang begitu deh. Padahal gue masih sayang sama dia,” gue menjeda kalimat gue.
Kendra manggut-manggut.
“Sedangkan Nicky.., dia sama sekali nggak tahu kalau Rheinatta tuh Cewek gue. Bahkan sampai sekarang. Berapa bulan ini memang gue sudah jadian kok sama Nicky. Tapi buat putus sama Rheinatta biarpun gue sering ribut, ya jelas gue enggak bisa, Ken. Gue masih cinta banget sama dia.”
Kendra menggeleng dengan kesal.
“Vin lo nggak bisa begitu terus-terusan, dong. Lo harus pilih salah satu. Lo sudah bohongin Rheinatta, bohongin Nicky, lagi. Cowok macam apa coba?” kecam Kendra, membuat gue merasa kerdil dan pengecut. Tapi gue nggak bisa marah ke dia.
“Gue tahu. Gue nggak mau hubungan gue sama Rheinatta putus, apalagi dengan cara begini. Tapi gue nggak mungkin untuk meninggalkan Nicky begitu saja. Gue …”
Sekarang gue Ben bisa melihat betapa Kendra enggan berkomentar. Gue nggak tahu pasti kenapa. Bisa jadi dia nggak mau terlalu jauh mencampuri urusan pribadi gue, bisa juga dia takut itu bakal menjadi bumerang buat dia. Gue berusaha untuk maklum. Gue nggak mau ada kecanggungan.
Maka gue mengibaskan tangan gue.
“Ah, sudahlah. Yang pasti, gue harus ketemu sama Rheinatta secepetnya. Gue nggak perduli dia bakal maki-maki gue atau ngusir gue dengancara yang super kasar. Gue harus kasih dia penjelasan. Gue emang salah. Gue juga nggak peduli kalau sekiranya dia bakal mengadukan kelakuan gue ini ke Abangnya dan Abangnya bakal spesial datang ke Jakarta untuk gebukin gue. Gue pikir..., gue pantas untuk diperlakukan begitu.”
“Nggak usah mikir sampai sejauh itu dulu Vin. Tapi yang jelas, gue dukung elo sepenuhnya kalau ada niat untuk mengurai benang kusut ini. Semoga ada penyelesaian yang terbaik, ya.”
“Thanks, ya Ken.”
“Sama-sama. Itu dia gunanya Seorang Teman.”
Selanjutnya, kami tak lagi membicarakan tentang masalah pribadi gue.
Kami membahas tentang Klub Edelweiss lagi, dan beberapa pembicaraan acak.
Sampai akhirnya, Kendra melirik arlojinya dan melambai untuk memanggil Pelayan.
“Gue aja yang bayar,” cegah gue cepat.
Kendra mengangkat bahu sebagai reaksinya.
Usai membayar hidangan yang kami makan, gue dan Kendra sama-sama bangkit berdiri.
“Vin, gue minta maaf ya.”
“Soal apa?” tanya gue dengan kening berkerut.
“Sorry karena gue enggak bisa bantu apa-apa. Tapi gue percaya, lo pasti bisa memutuskan yang terbaik buat lo. Ya kan? Moga-moga sih nggak ada yang sakit hati, ya,” ucap Kendra pelan dan menepuk bahu gue.
Gue jadi merasa Bramantyo yang melakukannya.
Sumpah! Detik ini mendadak gue kangen sama Bramantyo.
Bukan, bukan kangen yang enggak-enggak. Gue kangen bromance gue sama dia.
Bram! Elo sebenarnya di mana? Kalau memang elo ada masalah, gue berharap elo bisa menyelesaikan dengan baik. Gue minta maaf ya, sempat marah sama elo. Mungkin sekarang ini elo memang sedang perlu waktu khusus untuk menyelesaikan permaalahan elo. Nggak apa. Gue sangat maklum kok. Gue sendiri kalau lagi ada masalah juga lebih sering menyepi dan berkomunikasi sama diri gue sendiri dulu, ya walau kali ini gue bisa ngomong panjang lebar sama Kendra. Gue paham sepenuhnya, kadang saat ada masalah, mendengarkan dari Pihak luar itu seperti menambah beban. Dan ya..., oke, gue terpaksa membujuk hati gue untuk nggak mengusik elo dulu. Tapi Bram, janji sama gue tolong. Janji untuk segera kontak gue dan Teman-teman setelah apa pun itu yang sedang elo hadapi saat ini, berlalu, batin gue sungguh-sungguh.
“Thanks, ya Ken.”
Kendra tertawa kecil.
“Thanks apaan? Gue kan nggak bantu apa pun. Coba kalau soal lain, Vin, mungkin gue masih bisa bantu,” ucap Kendra bernada sesal.
“Ah, elo tuh.”
Kendra tertawa lagi.
Saat itu, telepon genggamnya berbunyi.
Dari senyum semringahnya dia ketika menatap layar telepon genggamnya saja, gue sudah bisa memperkirakan Siapa yang menghubungi dia.
Kendra memberi isyarat untuk meminta ijin ke gue, mau menerima telepon itu.
Gue mengangguk mempersilakan.
Kendra tak membuang waktu barang stu detik saja.
“Hallo Sayang.”
“Hai Sayang, kamu masih sama Kelvin?”
Mungkin suara Sylvanie begitu kencang, atau posisi perangkat telepon genggam Kendra yang tidak terlalu menempel ke telinga Kendra, sehingga terdengar sampai ke telinga gue.
“Eng, ya. Tapi sudah mau balik nih. Kamu di mana sekarang?”
“Sayang, aku masih di ‘Raise dan Smile’ Kafe. Lagi memotret beberapa menu sehat mereka.”
Suara Sylvanie terdengar setengah berteriak karena mengimbangi bisingnya situasi.
Mungkin dia berada di pantry saat ini.
“Oh. Masih lama nggak? Aku jemput kamu di sana, ya?”
“Sebentar lagi. Tapi Sayang..”
“Kenapa?”
“Pas tadi aku lagi interval motret, aku melihat Rheinatta sama..., Michael.”
Kendra sepertinya curiga gue sedang menguping. Dia merapatkan posisi perangkat telepon genggamnya itu ke telinga. Tapi tetap saja, karena suara Sylvanie lantang, gue tetap mendengar juga walau agak sayup-sayup sekarang ini.
“Tadi itu..., Rheinatta sama Michael berjalan beriringan ke sebuah mobil. Kelihatanya mereka habis makan di sini. Terus, Michael dengan gentle membuka pintu mobil buat Rheinatta. Dari bahasa tubuh mereka, kelihatannya mereka berdua tuh sedang dekat satu sama lain. Memang sih, Michael juga nggak yang kegatelan gandeng Rheinatta atau gimana. Cuma ya Sayang..., aku kayaknya nggak rela deh kalau Rheinatta jadi dekat sama Michael. Sekarang kan dia lagi galau. Jangan sampai kehadiran Michael bikin makin ruwet. Nanti yang ada cinta segi empat, deh.”
Kendra diam.
“Sayang...”
“Iya, iya. Aku dengar. Ini aku sekarang sudah mau jalan ke parkiran. Nanti kalau kita sambung lagi setelah aku menuju ke kafe itu untuk jemput kamu, bagaimana?” tanya Kendra hati-hati.
Gue nggak mendengar lagi kawaban dari Sylvanie.
Yang jelas, setelah itu Kendra menutup panggilan telepon dan mengucapkan, “Iya. Ketemu di sana. I love you, Sayang.”
Rasanya tengorokan gue bagai sedang dicekik saja.
Dulu-dulu di awal juga gue sama Rheinatta itu pasti begini cara berkomunikasinya lewat telepon. Malahan sering saling nggak mau untuk menutup duluan. Rheinatta akan meminta gue yang menutup duluan, begitu juga sebaliknya. Ya walau akhirnya tetap saja dia yang menutup duluan.
Eh tapi, itu nggak cuma di awal.
Hubungan kamu masih semesra itu kok..., sampai dengan..., sampai kapan ya?
Entahlah! Rasanya semua terjadi begitu saja.
Tahu-tahu jarak ini semakin merenggang dan merenggang.
Gue jadi sibuk mengingat-ingat.
Gue bahkan ingat saat sebagian besar Penonton Art Hours terganggu menyaksikan kemesraan kami.
Uf!
kemana semua itu sekarang? Kapan menguapnya?
“Yuk, balik sekarang. Salam buat Sylvanie, ya!” kata gue.
Kendra mengangguk.
“Yuk, jalan!”
Gue mendahului langkah Kendra keluar dari café dan menuju pelataran parkir.
Gue nggak langsung meninggalkan pelataran kafe itu.
Gue jadi heran sama diri gue sendiri. Tadi pas ngomong sama Kendra, gue merasa begitu mantap buat segera menemui Rheinatta. Tapi sekarang, rasa ragu gue muncul lagi.
Berbagai pertanyaan hinggap di kepala gue.
Kalau sampai Rheinatta memutuskan gue saat ini juga, terus bagaimana?
Apa benar Rheinatta sudah jadian sama Michael, atau cuma menjadikan Michael sebagai Teman bicara saat ini? Apa Rheinatta nggak sadar, dari tatapan Si Adik Kelas satu itu, jelas banget kalau dia mengharap Rheinatta? Apa yang harus gue katakan ke Nicky? Apakah sebaiknya gue temui Nicky dulu saja, dan mengakui bahwa Rheinatta itu Pacar gue, terus habis itu bilang sebaiknya gue sama Nicky berteman doang sebagaimana sebelumnya, baru kemudian saat ha gue lebih plong, baru ketemu sama Rheinatta? Apa itu nggak terlalu riskan? Bagaimana kalau gue malah kehilangan semuanya? Kehilangan Rheinatta, kehilangan Nicky..? Kehilangan hubungan baik gue sama mereka berdua, melebihi hubungan persahabatan dan hubungan percintaan ini? Gue nggak rela kalau melihat wajah tersakiti dan tatapan benci mereka ke gue mereka adalah akhir yang harus gue kenang. Gue lebih rela kalau gue saja yang menerima akibatnya. Ya, cukup gue, bukanmereka berdua.
Dan semakin gue pikirkan, semakin pusing kepala gue.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $