Bab 10. Kamu sudah menalak Nadira?

1141 Kata
Keesokan hari ... Tidak ada hal spesial di pagi hari ini, semua orang melakukan aktivitasnya masing-masing, begitu pula dengan Brata yang sudah terlihat rapi dengan setelan jas kerja berwarna biru dongker. Sementara Bianca masih tergelung dengan selimut tebalnya, Brata hanya bisa menghela napas panjangnya, sejak dulu memang Bianca tidak pernah bangun pagi, wanita itu terbiasa bangun tidur jam 8 ke atas, lantas dia membiarkan saja kebiasaan buruk istrinya tersebut. Padahal kebiasaan buruk ini selalu dikomplain oleh Mama Winda, akan tetapi selalu dibela oleh Brata dengan alasan istrinya lelah mengurus butiknya. Alasan yang sungguh klise kalau menurut Mama Winda. Begitulah rasa cintanya Brata yang begitu besar terhadap Bianca hingga menerima tingkah laku wanita itu walau menurut kedua orang tua Brata sangat buruk sebagai istri. Seharusnya sebagai istri menyiapkan keperluan suaminya di pagi hari ketika akan berangkat kerja, tapi bagi Brata tidak masalah karena masih ada Akmal kepala pelayannya yang membantunya setiap hari. Sebelum keluar dari kamar, Brata menyempatkan untuk mengecup lembut kening istrinya, setelahnya baru turun ke bawah untuk sarapan bersama kedua orang tuanya. “Pak Akmal, saya minta orange juice dan potongan buah mangga muda ya,” pinta Brata ketika menjatuhkan bobotnya di kursi makan. “Baik Tuan,” jawab Akmal patuh, lalu bergegas ke dapur kembali usai meletakkan beberapa hidangan di atas meja makan. Mama Winda dan Papa Arvin yang sudah ada di ruang makan, mendongakkan wajahnya. “Mama perhatikan sudah seminggu ini kamu rajin minum orange juice sama makan mangga muda? Memangnya kamu gak sakit perut?” tanya Mama Winda dengan tatapan curiganya. Bik Dewi yang kebetulan ada di sana tampak menyiapkan hidangan di atas piring milik Brata. “Segar aja Mam kalau minum orange juice sama mangga muda, lagian perutku udah seminggu ini agak mual, tapi pas minum orange juice sama makan buah mangga mualnya agak berkurang,” ungkap Brata dengan santainya. “Oh ... seperti itu. Kalau perut kamu sering mual sebaiknya cek ke dokter, jangan dibiarkan saja takutnya itu tandanya ada penyakit di perut kamu,” saran Mama Winda, sembari kembali menikmati sarapan paginya. “Aku baik-baik saja Mam, jadi tidak perlu khawatir,” jawab Brata santai, menurut dia rasa mualnya masih bisa teratasi, dan tidak mencurigai suatu penyakit yang menyerang tubuhnya. Andaikan Brata tahu kenapa tiap pagi perutnya mual, tapi ya sudahlah. Brata mulai menikmati sarapan paginya berupa nasi goreng seafood, lalu tak lama Akmal mengantarkan segelas orange juice dan sepiring buah mangga muda yang sudah dipotong kecil-kecil. “Brata, sampai kapan istri kamu itu tidak bisa bangun pagi dan mengurus kamu berangkat kerja, selama lima tahun Papa hanya melihat Bianca hanya sesekali turut bergabung sarapan pagi bersama kita?” tanya Papa Arvin. Brata menarik napas sekaligus menarik sendok makannya, lalu menatap jengah pada papanya tersebut. “Sesibuk-sibuknya mama kamu dulu waktu masih mengurus perusahaan kakekmu, Mamamu selalu tetap menyempatkan mengurus Papa dan kamu tiap pagi, tidak pernah bangun siang, karena itu sebagai tanda cinta kasihnya pada Papa dan kamu. Dan kamu masih ingat Nadira'kan, walau kamu anggap dia sebagai pelayan di sini, tapi dia selalu menyiapkan keperluan kamu sebelum berangkat kerja begitu pula saat kamu pulang bekerja,” imbuh Papa Arvin yang tiba-tiba saja menyebut nama Nadira. Sebenarnya bukan tiba-tiba, tapi itu karena semalam Mama Winda membicarakan tentang Nadira kepada suaminya, jadi masih menempel di otak pria tua tersebut. Sorot netra Brata agak kesal, tangannya yang memegang sendok begitu erat digenggamnya. “Nadira hanyalah pembantu saat itu bukan istriku, dan Bianca adalah istriku Pah. Mereka berdua adalah orang yang berbeda, aku menikahi Bianca bukan untuk menjadi pelayan yang melayaniku! Buat apa aku menggaji para maid di sini jika kerjanya tidak melayaniku! Dan tolong Pah jangan sebut nama wanita itu di sini!” pungkas Brata penuh penekan. Bukan bermaksud Brata memarahi papanya, tapi karena Papa Arvin mengungkit nama wanita itu dia jadi kembali teringat wajah cantik wanita itu, sudah susah payah dia sejak semalam menghapus bayangan Fira tapi kini kembali hadir di pelupuk matanya. Papa Arvin tampak tenang dan tidak terlihat tersinggung dengan ucapan Brata, sudah terbiasa. “Kenapa kamu terlihat emosi saat Papa menyebut nama Nadira, lagi pula tidak ada Bianca di sini, dia masih tidur’kan jadi tidak usah khawatir. Toh juga sudah lama Papa tidak mendengar kabarnya Nadira, kalau boleh Papa tahu sebenarnya kamu sudah mentalak tiga'kah pada Nadira saat kamu mengusirnya dari mansion, soalnya Papa agak lupa?” tanya Papa Arvin dengan santainya. Brata menarik napas beratnya lalu meneguk orange juicenya sampai tandas, pagi ini mood Brata kembali berantakan setelah diungkit masa lalunya dengan Fira, sudah jelas dia telah melupakannya dan membuang masa lalu buruknya kalau menurut Brata yang telah berhubungan intim dengan Fira. Gara-gara habis menegak minuman beralkohol yang rupanya ada yang mencampurinya dengan obat perangsang usai pulang dari pesta relasi bisnisnya. Sungguh sial sekali menurutnya! Papa Arvin bersama Mama Winda terlihat menunggu jawaban dari Brata, karena selama ini mereka hanya tahunya jika Brata mengusirnya begitu saja. “Sudah!” jawab Brata kesal, tapi dusta, karena Brata belum pernah menjatuhkan talaknya pada Fira, hanya mengusirnya dari mansion. “Oh ... syukurlah kalau kamu sudah menjatuhkan talak sama Nadira. Paling tidak, jika dia sudah menikah Nadira tidak akan berdosa, karena sudah tidak ada ikatan pernikahan di antaran kalian berdua,” jawab Papa Arvin dengan tatapan penuh makna. DEGH! Jantung Brata seakan tercubit dengan perkataan papanya, pikiran dia tidak sampai ke sana. Justru sudah menuding Fira sebagai wanita simpanan pria hi dung be lang. “Pria siapa juga yang mau menikahi Nadira, hanya pria buta yang mau menikahi bekas pelayan, atau mungkin sekarang dia masih jadi pelayan.” Brata sedikit mencemooh wanita itu. Suara dentingan sendok jatuh ke atas piring terdengar jelas, raut wajah Mama Winda tampak sedikit sinis pada Brata. “Pria buta itu adalah kamu yang pernah menidurinya! Apa kamu lupa, bagaimana Mama memergoki kamu sedang memper kosa Nadira di kamarmu, hingga kamu tak rela untuk melepaskan Nadira saat itu saking nikmatnya! Andai saja Mama tidak tahu, mungkin kamu akan mengelaknya dan tidak akan bertanggungjawab. Mama ini wanita Brata, dan bisa merasakan betapa sakit dan traumanya Nadira saat itu!” pungkas Mama Winda terlihat tersinggung, tak lama wanita tua itu berdiri dari duduknya. “Kamu boleh mengusirnya waktu itu tanpa bertanya pada kami sebagai orang tuamu, tapi kamu tidak berhak membencinya atau merendahkannya karena Nadira adalah korban dari keberengsekanmu! Dan perlu kamu ketahui, mungkin saja Bianca istri kamu tidak bisa hamil karena karma untukmu atas kesakitan Nadira waktu itu. Pikirkanlah dan renungkanlah!” sentak Mama Winda, lalu dia meninggalkan ruang makan begitu saja. Bik Dewi dan Akmal yang sejak tadi stand by di ruang makan jadi tertunduk, dan agak terhenyak mendengar perkataan nyonya besarnya, apalagi mereka berdua juga saksi kejadian Brata dan Fira. Brata mendengkus kesal, tangannya pun melempar serbet makannya, lalu berdiri begitu saja. Sepertinya ucapan mamanya tidak bisa dia terima begitu saja. Bersambung ... Hallo Kakak, masih mengikuti ceritanya, kan?? semoga terus mengikuti kisah Fira Nadira, Bratasena dan Bianca
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN