06

1176 Kata
TITIK TEMU [06] Albi, si mulut kasar! _________________________ Nandan baru saja masuk ke dalam cafe setelah memarkirkan motornya. Dia melihat Albi yang sedang sibuk mengelap meja. Tanpa basa-basi, Nandan meletakkan jaket dan kunci motornya ke dalam loker kecil di area belakang—sebuah ruangan kecil di mana biasanya digunakan untuk Albi tidur atau Nandan istirahat selepas bekerja. Cowok itu keluar setelah menggunakan apron miliknya dan mengambil sebuah semprotan di atas meja. Nandan mulai melangkah ke salah satu meja, menyemprotkan cairan pembersih dan mengelapnya. Tidak ada yang membuka suara, Nandan maupun Albi sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Nandan memang sudah curiga mengapa Albi sudah datang sepagi ini. Lihatlah lantai cafe yang sudah dipel, biasanya mereka baru saja masuk jam segini dan berbagi tugas. Tetapi cowok itu diam saja dan memilih tetap fokus untuk membersihkan meja yang masih kotor. Jika Albi datang sepagi ini, pasti ada masalah di rumah. Itu yang selalu Nandan tahu setiap kali Albi datang ke cafe lebih pagi darinya. "Kenapa Lo?" Tanya Albi karena merasa diperhatikan sejak tadi oleh Nandan. Nandan menggeleng, "Lo datang ke cafe dari jam berapa? Muka Lo masih ngantuk gitu. Bukannya kemarin Lo bilang berangkat agak siangan aja, ya?" "Lah, Lo ngapain juga datang jam segini?" Tanya Albi bertanya balik. "Gue?" Tanya Nandan menunjuk dirinya sendiri. "Wajar kalau gue datang duluan, 'kan semalam gue enggak pulang larut. Lah Elo? Ada masalah ya, di rumah?" Sambung Nandan lagi. Albi mengangkat kedua bahunya tidak tahu, "gue enggak tahu ini masalah atau bukan. Tapi, Nyokap gue, udah daftarin gue ke bimbel lagi." "Gila...! Hidup Lo kenapa dipenuhi dengan belajar sih? Emangnya Lo enggak capek belajar terus?" Tanya Nandan yang memilih mendekati Albi. Albi menganggukkan kepalanya dengan senyuman miris, "kalau gue boleh ngeluh, gue bakalan bilang kalau gue benar-benar capek sama keadaan ini. Gue muak tapi enggak tahu harus gimana. Lo tahu sendiri 'kan gimana kerasnya Ibuk ke gue?" Nandan hanya bisa mengangguk, mengiyakan. Walaupun baru kenal Albi ketika masuk SMA, tetapi dia betul-betul tahu bagaimana posisi seorang Albi di keluarganya. Nandan menepuk pelan pundak Albi, tidak bisa memberikan kata-kata apapun lagi kepada Albi. Mungkin, sudah habis quotes yang dia kutip sehingga membuatnya tidak bisa memberikan nasehat apapun kepada Albi lagi. "Btw, nilai Lo aman-aman aja, 'kan? Elo masih bertahan di juara satu paralel se-kelas XI IPA, lho." Ucap Nandan kemudian. Albi tersenyum samar, "mana cukup sih, Ndan. Lo tahu 'kan, kalau Ibuk maunya gue unggul dalam semua bidang. Nilai fisika gue kalah sama Eksa, anak kelas XI IPA 2." "Lah, cuma selisih berapa angka sih?" Tanya Nandan ikutan gemas dengan Ibu dari temannya itu. Albi mengusap wajahnya, "hm, lumayan banyak katanya. Selisih satu nomor aja. Gue 9,25 dia 9,50. Itu sudah jadi masalah. Ibuk maunya gue dapat nilai di atas Eksa. Minimal sih 9,75. Gitu!" "0,25 aja dipermasalahin? Apa kabarnya nilai gue yang mentok di angka 6,75?" Gerutu Nandan tidak terima. Pantas saja wajah Albi selalu terlihat setress. Ternyata banyak pikiran juga. Albi pun tidak tahu mengapa dirinya bisa diberikan orang tua yang sering sekali menekannya. Bukan, bukan karena Albi tidak bersyukur dengan adanya orang tua yang peduli kepada masa depan anaknya. Namun, dia ingin sesekali berkata kepada Ibunya, jika dia sedang lelah. Dia tidak ingin belajar, dia ingin berkumpul dengan teman-temannya untuk sekedar bermain ToD atau apalah itu, dia ingin duduk dan bercerita santai tanpa harus melihat jadwalnya. Bisakah seperti itu? Ah, rupanya tidak bisa! Albi tidak diperbolehkan untuk melewati batas itu. Batas yang dibuat oleh orang tuanya. Tentang seberapa pentingnya sukses di masa depan. Benar, 'kan? Nandan mengelus pundak Albi dengan pelan, "wajar sih kalau Eksa nilainya lebih tinggi daripada Lo. Dia 'kan sering ikutan olimpiade fisika. Pernah menang nasional juga 'kan? Jadi wajar kalau pas ujian kemarin nilai dia lebih unggul." "Andaikan aja, Nyokap gue bisa satu pemikiran kaya Lo. Hidup gue enggak akan sesulit ini!" Ucap Albi dengan nada hambar. "Gue enggak bisa mengontrol kehidupan gue sendiri. Gila enggak sih? Gue, anak umur enam belas tahun yang semuanya masih diatur sama orang tua. Gue seperti anak yang enggak punya pilihan dan enggak dikasih ruang buat milih. Paham enggak Lo?" Tanya Albi kemudian. "Ruwet... Jangan ajakin gue buat mikir pagi-pagi. Otak gue enggak nyampe," canda Nandan yang membuat Albi tertawa. Cowok itu memilih untuk mendekat ke arah counter, membersihkan meja counter. Namun pandangan matanya jatuh kepada dua cup minuman di atas sana. Nandan menoleh ke arah Albi sebentar, lalu menatap minuman itu yang sudah mulai dingin. Nandan tahu betul jika minuman ini adalah americano. Tidak mungkin Albi atau teman-temannya yang lain yang memesan americano. "Punya siapa, nih?" Tanya Nandan kemudian sambil mengangkat satu cup americano di atas counter. Albi berpikir sebentar, "punya cewek yang waktu itu!" "Cewek yang mana?" Tanya Nandan bingung. "Lebih signifikan kalau ngasih clue," gemas Nandan tidak sabaran. "Cewek yang promo-in cafe," ucap Albi kemudian. Nandan membulatkan matanya tidak percaya, "maksud Lo Shena? Cewek cantik itu? Terus dia di mana sekarang? Terus kenapa minumannya masih di sini?" Skakmat. Albi tidak bisa menjawab. Dia hanya mengangkat kedua bahunya. "Gimana bisa Lo enggak jawab, wahai Ki sanak." Geram Nandan yang mulai mencium aroma-aroma tidak baik. Albi menghela napasnya panjang dan mulai menceritakan kejadian di cafe tadi, tepatnya sebelum Nandan datang dan Albi yang marah-marah kepada cewek bernama Shena itu. Sekarang Nandan yang sudah tahu cerita lengkapnya, hanya ingin mencekik Albi saat ini juga. "Rasanya gue mau pingsan!" Ucap Nandan sambil mengelus d**a. "Itu namanya g****k, Albi sayang. Kenapa sih Lo menyia-nyiakan kesempatan bagus kaya gitu. Dia mungkin sedikit sombong—" belum sempat Nandan melanjutkan ucapannya, Albi sudah memotongnya. "Sedikit sombong apanya? Kalau dilihat-lihat, emang belagu banget tuh cewek. Mentang-mentang banyak followers, terus nantang-nantang gue." Ucap Albi penuh kemarahan. Nandan mengusap wajahnya dengan kasar, "Lo bisa enggak sih rendahin harga diri Lo sebentar aja, gitu? Ini masalah cafe lho." "Enggak lah! Mau masalah apapun, gue enggak akan merendah sama siapapun." Tandas Albi galak. "Huft, tahu gitu gue berangkat lebih awal, Gusti. Gini amat punya teman enggak ada akhlak!" Ucap Nandan berbicara kepada dirinya sendiri. Albi yang dibicarakan pun hanya diam, melanjutkan aktivitasnya membersihkan meja-meja ruangan cafe. Sampai akhirnya mereka mendengar suara notifikasi dari ponsel Albi. Nandan menatap Albi, begitupula sebaliknya, "jangan bilang, kalau itu." Albi mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya, memang ada banyak notifikasi dari akun Rainbow cafe. Mungkin, Albi mulai merasa gelisah sendiri. Ada banyak sekali komentar di sana. Klik. ShenaShen22 gue benar-benar heran sama pemilik cafe ini. Gue sempat senang dengan pelayanan dan menu yang ditawarkan. Gue suka banget sama americano buatan mereka. Sayangnya, hari ini gue datang dan disambut sama pemiliknya secara langsung. Tetapi apa? Gue ngerasa kalau si pemilik ini sama sekali enggak punya attitude yang baik untuk menyambut tamu. Jadi, maaf kalau penilaian gue buruk untuk kali ini. "b*****t!" Ucap Albi keras-keras. "Mulutmu," ucap Nandan yang memperingatkan Albi agar tidak berteriak seenaknya. "Cewek sinting, sialan!" Ketusnya secara berulang-ulang. Nandan menghela napas panjang karena mendengar ucapan tidak indah dari mulut Albi. "Ini namanya azab, Bi. Makanya, kalau punya mulut jangan kasar gitu! Oke?" Ucap Nandan kemudian. Albi menatap Nandan dengan tajam, "terserah Lo aja deh! Capek gue!" •••••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN