Raihan menatap wajah seputih kapas Anindira dari seberang meja di ruang pengunjung tahanan. Lingkar mata yang menghitam dan sorot mata Anindira yang meredup membuat wanita itu tampak menyedihkan. Untuk beberapa detik Raihan mengutuki dirinya sendiri karena harus melihat Anindira dalam kondisi seperti itu. Seandainya ia lebih cepat mengambil keputusan untuk mengatakan semua perasaan terpendamnya pada Anindira, wanita itu tidak akan pernah mengalami hal mengerikan seperti sekarang.
“Aku menyesal kita harus bertemu dalam situasi seperti ini Nindi,” ucap Raihan dengan suara tertahan ditenggorokan.
Anindira menunduk. Bahagia sekaligus sedih melebur menjadi satu rasa yang berkecamuk di hati dan mendorong air matanya untuk mengalir.
“Lisa menghubungiku. Dia menceritakan semuanya,” lanjut Raihan.
“Aku tidak tahu apa-apa soal pencucian uang itu, Rai.” Isakan mengiringi suara serak Anindira.
Raihan memberikan tatapan menenangkan. Hasratnya untuk memeluk Anindira sungguh menggebu, namun ia sadar mereka sedang berada di ruang tahanan. “Iya. Aku yakin itu. Aku janji akan mengeluarkanmu dari tempat ini, Nindi.”
Bahu Anindira naik turun menahan tangis yang ingin meledak bersama jeritan hatinya. Hati Raihan melesak tidak tega. Tidak memedulikan penjaga lapas yang sedang memerhatikan mereka, ia menggenggam tangan Anindira yang menjulur di atas meja. “Jangan menangis, Nindi. Aku bersumpah akan segera mengeluarkanmu dari neraka ini.”
Kunjungan Raihan menyematkan asa yang baru untuk Anindira. Ia sedikit lega dengan janji yang diucapkan Raihan, meskipun masih meragu. Wanita itu ingin segera keluar dari tempat yang mengekang kebebasannya dan ingin segera meluruskan kesalahpahaman yang terjadi pada Kenan. Ia yakin Kenan pada akhirnya akan mengetahui kebenaran bahwa ia tidak bersalah. Bagaimapun, hatinya sudah tertambat pria itu. Begitupun sebaliknya.
***
Raihan berjalan dengan langkah tegas menyusuri lorong di antara ruangan-ruangan khusus eksekutif Citra Prana & Coal tbk. Sebagai pengacara dari salah satu tersangka kasus pencucian uang, Raihan punya hak untuk mencari bukti dan bertanya pada saksi di tempat kejadian perkara.
Dadanya berdentam hebat melihat tulisan CEO di atas pintu sebuah ruangan. Tidak sabar, ia mengetuk pintu tersebut. Seorang wanita cantik berblazer biru membukakan pintu.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita itu menyelidik.
“Saya ingin bertemu dengan Pak Kenan.”
Wanita itu mengamati Raihan beberapa saat, kemudian ia kembali melayangkan pertanyaan, “Apakah Bapak sudah ada janji?”
“Katakan saja pada bos Anda, saya pengacaranya Anindira Elvina. Raihan Adiaksa Putra.”
Wanita itu mengerjap. Ia kembali ke mejanya lalu mengangkat gagang telepon. Beberapa saat kemudian ia memberi akses pada Raihan untuk masuk.
“Silakan langsung saja ke ruangan Pak Kenan.” Wanita itu menunjuk pintu pembatas ke bilik pribadi Kenan.
Raihan memasang mimik geram saat memasuki ruangan Kenan. Tatapan siaga sang CEO dari balik meja kerjanya tak membuat Raihan gentar. Demi semesta yang telah mempertemukan mereka kembali, keinginan Raihan saat ini hanya meninju wajah tampan sang CEO.
“Ternyata kau punya nyali juga datang ke sini.” Nada angkuh dan tatapan bermusuhan Kenan berpadu menyerang Raihan.
Raihan bergeming mencoba meredam emosinya agar tidak berujung pada perkelahian. Sebagai seorang advokat, Raihan tahu kosekuensi akan perbuatannya apabila ia tidak bisa mengendalikan emosi. Namun, akhirnya ia mengeluarkan pernyataan yang menusuk hati Kenan. "Hanya seorang pengecut yang bisa mengambil keuntungan dari seorang gadis lugu."
"Kau bilang lugu? Perempuan jalang itu kau bilang lugu? Dia, kau, dan teman-temanmu yang lainnya sama saja. Kalian semua sama berengseknya!" tandas Kenan.
"Kalau kau menganggap aku dan yang lainnya berengsek, kenapa kau harus menumpahkan semua kebencianmu pada Nindi?"
Kenan mengempas posisinya nyamannya. Tidak beranjak dari balik mejanya, Kenan berdiri sambil bersedekap. Wajahnya dihiasi evil smirk. "Karena dia memang pantas menerimanya. Dan kau, aku bersumpah kau akan merasakannya juga nanti. Tunggu saja giliranmu."
"Kau tidak akan pernah bisa menyentuhku. Aku ingatkan padamu, kau akan menyesal sudah memperlakukan Nindi seperti sampah!" Tantang Raihan.
"Dia memang sampah. Sama sepertimu." tandas Kenan.
Raihan mengentakkan kaki. Kedua tangannya mengepal erat. Jika saja kewarasan tidak menahannya, ia pasti akan menghajar Kenan. Logikanya sudah terlatih untuk menghadapi situasi yang membuat emosi terbangun dan meledak-ledak.
"Aku pastikan kau akan menyesal, Kenan!" Raihan berbalik lalu melangkah pergi.
Senyum sinis Kenan perlahan berubah menjadi senyuman menyedihkan. Ia menatap langkah Raihan sampai bayangan pria itu menghilang di balik pintu. Separuh hatinya sudah hancur berkeping-keping saat dia melampiaskan kekesalannya pada Raihan dengan mengatakan ujaran kebenciannya pada gadis yang sudah merengkuh hatinya.
Kamu memang benar, Raihan. Aku memang seorang pengecut yang tak bisa mengakui jika aku hanya bisa menyakiti gadis yang sangat aku.... Aku tahu suatu saat nanti semua penyesalanku takkan mampu untuk menebus semuanya. Tapi kalian layak merasakan sakit yang kurasakan.
Dilanda lara yang mengendap terlalu lama, Kenan berniat memastikan bahwa perasaannya pada Anindira hanya rasa sesaat. Pria itu kembali mengunjungi Anindira keesokan harinya. Ia tidak menyadari bahwa Anindira berharap banyak padanya sampai ia bertemu dengan Anindira.
“Aku senang kau datang, Kenan.” Wajah Anindira tampak cerah. Semburat merah kini mewarnai wajahnya yang selama beberapa hari ini terlihat pucat.
Kenan memaku diri di tempat duduknya. Tatapannya waspada dan penuh antisipasi. Hati kecilnya berkata, jangan lakukan, tapi mulutnya mengeluarkan kalimat yang sangat dibencinya. “Aku datang ke sini hanya ingin menegaskan padamu bahwa aku tidak ingin berhubungan denganmu lagi.”
Kalimat yang meluncur dari mulut Kenan menghujam d**a Anindira. Rasa sakit menjalar ke seluruh urat sarafnya, mencengkeram tubuhnya, dan menahan semua kata di tenggorokannya hingga ia hanya mampu terpangah.
“Aku ingin mengakhiri segalanya,” imbuh Kenan.
“Kenapa?” Anindira memaksakan diri untuk berbicara hingga suaranya terdengar bergetar.
“Karena aku tidak ingin melanjutkannya. Cukup aku tahu kau gadis gampangan. Hanya dengan sedikit sanjungan dan sentuhan, kau dengan mudahnya menyerahkan dirimu padaku.”
Anindira membelalak. Kenan sudah mencabik-cabik harga diri dan harapannya. Air matanya meluruh membasahi pipi.
“Bagaimana bisa kau bilang seperti itu, Kena? Kau tahu—“
“Kau pantas menerima semua ini, Anindira Elvina. Jika kaupikir aku benar-benar sudah memaafkanmu, kau salah besar.”
“Berengsek kau, Kenan. Kau memanfaatkan dan menjebakku.”
Kenan menarik sebelah ujung bibirnya membentuk senyuman sinis. “Kini kau tahu bagaimana rasanya dimanfaatkan sekaligus dijebak, ‘kan?”
Jantung Anindira berdenyut kencang. Kepalanya mulai berputar-putar. Sudah tak terhitung seberapa berat beban yang mendadak menghantam dadanya. Nyeri itu sangat menyesakkan. Anindira terisak.
“Pergi kau! Pergi!!!” usir Anindira.
Kenan berdiri lalu berbalik pergi tanpa menoleh lagi ke belakang.
Akupikir kau mencintaiku, Kenan. Ternyata kau menipuku. Kau hanya ingin membalas dendam padaku. Anindira terisak.
Semua ucapan Kenan sangat membekas di hati Anindira, menguapkan segala kekuatan yang sedang semainya. Tulangnya-tulangnya melemas tak bertenaga. Andai ada kata yang tepat untuk melukiskan kekecewaan dan rasa sakitnya atas perlakuan Kenan padanya, Anindira ingin sekali menjerit dan membunuh dirinya sendiri. Namun, sesuatu yang terpendam jauh di dalam hati menyeruak menguatkan dirinya ketika tangannya menyilang, memegang perutnya yang masih rata.