Kuy, ah, dikomen dan di-follow biar update-nya makin semangat.
=====
Cahaya matahari diam-diam menyelusup lewat celah jendela. Sinarnya yang hangat dan menyilaukan membangunkan Kenan dari tidur nyenyaknya. Tatap hijaunya menyusuri setiap jengkal tubuh Anindira yang masih terlelap di sampingnya. Tanpa berniat menginterupsi tidur gadis itu, ia menciumi bahu mulus Anindira. Tangannya bergerak bebas membelai punggung telanjang Anindira.
Tersentak oleh sengatan berahi yang dilancarkan Kenan, Anindira membuka matanya perlahan. Tatapan secokelat kopinya menemukan senyum Kenan yang menembus relung hatinya. Terkunci oleh hasrat dan terbelenggu oleh gairah, Anindira kembali pasrah ketika Kenan terus memancing gairahnya. Pagi itu Kenan sukses membuat Anindira memekik dan mengerang merasakan kenikmatan dunia yang tak terperi.
"I love you." Anindira mengecup bibir Kenan dengan lembut.
Kenan tersenyum. Aku juga mencintaimu Anindira. Namun, aku tak bisa mengatakan hal yang sama denganmu. Aku tak ingin ketiga kata krusial itu akan menjadi boomerang bagiku nanti.
Sejak malam itu hubungan Anindira dan Kenan semakin mesra. Baik Kenan maupun Anindira tak mampu lagi menahan untuk tak saling menyentuh dan mencecap setiap kali mereka bertemu. Sebuah hubungan yang diyakini Anindira akan membawanya ke tempat yang lebih baik dari kesendirian.
***
Sebulan kemudian.
"Apa?! Kau sekarang pacaran dengan Kenan? Kenan sicupu itu?" teriak Lisa dari ujung telepon. Salah satu sahabatnya semasa duduk di bangku SMA itu seakan tak percaya dengan pengakuan Anindira.
"Dia sudah berubah, Lisa. Apa kau tak pernah melihat dia berpose untuk Men's Health Asia?"
"Ya, aku tahu itu. Tapi tetap saja menurutku dia tidak berubah. Tetap cupu? Apa kau sudah—?"
"Ya, tentu saja. Aku dan Kenan sudah... ya, kau tahulah."
"Wah, bakalan cepet punya keponakan, nih. By the way, apa kau benar-benar mencintai dia? Aku, kok, tidak yakin, ya? Bagaimana kalau Raihan kembali?"
"Aku sudah melupakan Raihan, Lis.” Anindira membisu. Hatinya bagai diremas-remas mengingat bagaimana ia dengan begitu bodohnya percaya pada bujuk rayu dan pesona Raihan, dulu. Ia pikir dengan menjebak Kenan dan membuatnya meringkuk di balik jeruji besi, Raihan akan membuka hati untuknya. Ternyata ia salah. Raihan hanya memanfaatkan rasa cinta Anindira kepadanya untuk melakukan hal-hal yang ia mau. Kenyataannya, pria itu tidak pernah mencintai Anindira. Ia bahkan pergi ke Australia tanpa memberitahu Anindira. Ia membiarkan Anindira menunggu dalam resah.
“Nindi, kau masih mendengarku, kan?” Suara Lisa membuyarkan lamunan Anindira.
“Iya, Lis.”
“Dua hari lagi aku pulang ke Jakarta. Pokoknya, kau harus menceritakan semuanya padaku.”
“Oke, deh. Aku tunggu kepulanganmu. See you.”
“À bientôt!”
Percakapan via telepon dengan Lisa yang masih berada di Paris berlangsung beberapa menit. Anindira lega akhirnya dia bisa mengakui hubungannya dengan Kenan pada Lisa. Ia sudah membuktikan bahwa ia sudah move on dari Raihan. Kini hatinya hanya dipenuhi oleh Kenan dan segalanya tentang pria itu.
Anindira kembali ke ruang rapat. Wajahnya tampak berseri-seri. Ia duduk di deretan staf. Sesekali ia mencuri lihat ke arah Kenan yang duduk di kursi pembicara. Begitu pun dengan Kenan. Mereka saling melemparkan tatapan nakal dan menggoda.
"Hari ini Tim Audit menemukan beberapa kejanggalan dalam laporan keuangan perusahaan.” Seluruh peserta rapat tiba-tiba dibuat terkejut oleh pernyataannya perwakilan tim audit. Tak terkecuali staf keuangan.
Ruang rapat terasa lebih hening dan atmosfer di ruangan itu berubah tegang. Hampir seluruh peserta memfokuskan diri mereka pada si pembicara. Kecemasan tampak di wajah para staf keuangan. Tak terkecuali Anindira.
“Awalnya semua berjalan lancar. Namun, kami menemukan kejanggalan pada laporan keuangan. Kami pun menemukan banyak data fake untuk mencairkan proyek-proyek bodong. Aliran-aliran dana tersebut ternyata masuk ke rekening manejer dan beberapa staf.” Auditor itu kemudian menjelaskan keanehan-keanehan dalam laporan keuangan yang mereka temukan hingga akhirnya menyeret nama manajer keuangan perusahaan tersebut, Radit, dan kedua staf keuangan termasuk Anindira.
Anindira menyangkal keterlibatannya dalam usaha pencucian uang tersebut. Namun, semua bukti yang ada tidak bisa membuat Anindira terbebas dari segala tuduhan.
Saat itu juga Kenan menyeret Anindira ke ruangannya. Ia tak memedulikan banyak pasang mata memandanginya dan Anindira. Semburat merah tampak jelas di wajah Kenan. Tatapan abu-abunya menggelap karena amarah mulai mendekap dirinya.
"Aku tidak pernah menyangka kamu bekerja sama dengan Radith untuk mencurangiku. Aku percaya padamu, Nindi," kata Kenan dengan nada geram.
"Kenan, aku bersumpah aku tidak tahu menahu soal itu. Aku hanya membuat laporan saja," sanggah Anindira.
"Benarkah? Lalu, kenapa saldo rekeningmu menggendut setelah adanya laporan-laporan palsu itu? Nindi, apa kekuranganku? Aku sudah memberimu segalanya bahkan sampai hatiku pun kuserahkan padamu. Kau emang licik sama seperti dulu. You never change!" tukas Kenan.
"Kenan, demi Tuhan aku tidak tahu apa-apa soal itu. Aku hanya membuatkan laporan saja. Masalah saldo rekening, aku bersumpah aku tidak tahu. Kenan percayalah padaku." Anindira terus meyakinkan dan memohon kepada Kenan, tapi sepertinya Kenan lebih memercayai laporan para Auditor itu.
Kerugian perusahaan mencapai ratusan juta. Atas keputusan bersama dengan dewan komisaris, akhirnya Radith, Anindira dan staf lain yang terlibat digiring ke pihak berwajib.
Lia terkejut menerima kabar bahwa anak bungsunya kini sedang menjalani pemeriksaan kepolisian. Namun, yang lebih mengejutkannya adalah kehadiran Kenan di kantor polisi saat ia mengunjungi Anindira. Meskipun Kenan banyak berubah, Lia masih mengingat wajah pria yang pernah melecehkan anaknya. Lia segera menghampiri Kenan yang sedang duduk berhadapan dengan Anindira di ruang pemeriksaan.
“Kau? Apa yang sedang kau lakukan di sini? Penjahat sepertimu tidak pantas duduk berhadapan dengan putriku.” Lia langsung menyerang Kenan dengan kalimat yang bernada geram.
Kenan mengerutkan dahinya. Dengan tenang ia berdiri lalu menguburkan kedua tangan ke saku celananya. Irisnya menatap tajam Lia.
“Tanyakan saja pada putri Anda apa yang sudah ia lakukan pada saya delapan tahun yang lalu dan sekarang.” Kenan menekan kata “sekarang” dalam ucapannya. “Jika putri Anda masih punya nyali, ia pasti akan mengatakan hal sebenarnya. Permisi.”
Kenan mengayuhkan langkah arogannya melintasi Lia. Pria itu meninggalkan Lia dan Anindira dengan amarah yang bergolak.
“Nindi, itu si Kenan, ‘kan? Kenan yang waktu itu—?”
“Iya, Ma. Dia Kenan. Dia bos Nindi sekarang,” tutur Anindira dengan air mata berlinang.
“Apa? Bosmu? Kenapa kau tidak pernah bilang sama Mama, Nindi?”
“Maafin Nindi, Ma.” Anindira menceritakan semua yang terjadi pada Lia dari awal termasuk kejadian delapan tahun lalu.
Lia tidak habis pikir Anindira bisa melakukan semua kebodohan itu. Namun, terlepas dari itu Anindira tetap anaknya. Ia tetap harus membela Anindira.
Lia dan kedua kakak Anindira bisa saja menggunakan jasa pengacara untuk membela Anindira, namun saat ini mereka hanya mampu untuk membayar pengacara kelas teri. Kasus yang dihadapi Anindira butuh penanganan pengacara hebat. Akhirnya, mereka memutuskan menghubungi Lisa memberi tahu apa yang terjadi pada Anindira. Mereka yakin Lisa punya koneksi dengan beberapa pengacara handal.
“Begini saja, Tante. Saya akan mencoba menghubungi Raihan. Saya dengar dia sudah kembali ke tanah air beberapa bulan lalu dan mendirikan firma hukumnya sendiri. Dulu kita berteman baik, tidak mungkin Raihan menolak membantu Anindira,” saran Lisa via sambungan telepon.
“Terima kasih, ya, Lisa. Tante berharap banyak padamu.”
“Saya akan membantu semampu saya, Tante. Anindira sahabat saya. Saya tidak akan membiarkan dia menjalani hukuman atas kesalahan yang tidak dia lakukan.” Ucapan tulus Lisa begitu menenangkan. Lia dan kedua kakak berharap Lisa membantu dan memperoleh jalan keluar untuk membebaskan Anindira dari segala tuduhan.
***
Di kantor Firma Hukum Raihan Adiaksa Putra, tiga hari kemudian
“Aku harap kau masih punya perasaan, Rai. Kau berutang banyak pada Nindi. Kau memanfaatkannya hanya untuk kepentinganmu sendiri.” Suara Lisa terdengar menekan dan sedikit geram.
Raihan meremas tangannya di atas meja. Rahang tegasnya mengeras dan hatinya berdenyut kencang menahan beban yang ia simpan selama bertahun-tahun.
“Jika kau berpikir aku tidak pernah menyesali itu, kau salah, Lis.”
“Kau sudah beberapa bulan ada di Jakarta. Bahkan, kau sudah mendirikan firma hukummu sendiri. Kenapa kau tidak mencoba menghubungi Nindi?”
Raihan bergeming. Iris gelapnya memandang lurus ke depan. Tatapannya keras dan tajam. “Mungkin aku hanya seorang pengecut. Dulu, aku meninggalkannya tanpa memberitahu perasaanku yang sesungguhnya. Aku tahu dia dekat dengan Kenan saat ini. So, aku memilih menjauh.”
“Kau memang pengecut, Rai. Dari dulu. Namun, kesempatan itu masih ada. Saat ini Nindi butuh kau, Rai,” tandas Lisa.
Raihan bersandar ke punggung kursi. Ia melihat Lisa dari seberang meja kerjanya dengan tatapan kosong. Pikirannya memutar gambar-gambar kelam peristiwa delapan tahun lalu.
Gadis cantik berseragam abu-abu itu berjalan tergesa-gesa menghampiri beberapa siswa dan siswi yang sedang duduk di kantin sekolah.
"Kalian jahat! Kalian tahu apa yang sudah kita lakukan pada si cupu itu sudah membuat dia masuk penjara," katanya terengah-engah sambil menahan napas seakan oksigen dalam paru-parunya hampir habis.
"Sudahlah, sayang. Calm down, please! Yang penting si cupu itu sudah nggak bisa gangguin kita lagi 'kan sekarang," kata Raihan. Ia merangkul bahu Anindira, lalu membimbingnya untuk duduk di bangku sebelahnya.
"Iya, Nin. Harusnya kamu senang dia udah ngilang dari sekolah ini. Dia, tuh, ibarat kuman tahu. Bikin sakit orang-orang di sekitarnya," imbuh Lisa yang duduk di seberang meja didampingi teman mereka yang lain, Bobby.
Anindira, Raihan, Lisa dan Bobby memang sudah berteman baik sejak pertama mereka memasuki sekolah ini. Tanpa mereka sadari, mereka seolah membentuk sebuah grup pertemanan yang hanya diisi oleh siswa dan siswi terpopuler di sekolah itu. Anindira si cantik yang cerdas, Raihan si ganteng yang cool plus anak salah satu pendiri Yayasan sekaligus Dewan sekolah yang menaungi sekolah, Lisa si cantik dan fashionable, serta Bobby yang merupakan anak salah satu pejabat tinggi.
Tak ada seorang pun yang berani mengganggu grup pertemanan mereka. Segala tindak tanduk mereka berempat seolah selalu dibenarkan oleh siswa lain maupun guru-guru sampai datang seorang siswa baru bernama Kenan. Kenan yang polos berani membatasi tindak tanduk mereka yang sudah dianggap sudah keterlaluan. Dia selalu menentang semua yang dilakukan empat sekawan itu meski imbasnya dia sangat dibenci oleh mereka.
Hal terakhir yang membuat empat sekawan, tepatnya hanya Raihan dan Bobby, begitu ingin mengusirnya dari sekolah adalah ketika Kenan besaksi bahwa dia melihat Raihan dan Bobby membocorkan ban mobil seorang guru kimia yang terkenal killer dan sangat tegas. Kesaksian Kenan membuat Raihan dan Bobby mendapat hukuman skorsing selama satu minggu. Bagi Raihan dan Bobby, mendapat hukuman seperti itu seperti mendapat hantaman ganda karena bukan hanya hukuman dari sekolah saja yang mereka dapat tapi juga dari orangtua mereka.
Hal itu membuat mereka mendendam pada Kenan. Anindira yang sangat lugu dengan mudah dimanfaatkan Raihan untuk menjebak Kenan. Awalnya Anindira menolak. Namun, karena dorongan ketiga temannya yang lain dan khawatir jika penolakannya berdampak pada penolakan Raihan, akhirnya Anindira melakukan hal terbodoh yang dia sesali seumur hidup. Tinggal dua bulan lagi ujian dan Kenan tak bisa mengikutinya di sekolah. Dia harus mengikuti ujian dari dalam rutan.
“Rai. Raihaaan!” Seruan Lisa mengembalikan Raihan ke masa kini.
Raihan mengerjap. Matanya semakin menggelap karena terbakar marah. Dari dulu sampai sekarang kenapa harus selalu Kenan yang menggangu hidupnya? pikirnya.
Pria yang menyandang gelar Ph.D dari Universty Of Canberra itu mengembus napas panjang sebelum berucap, “Aku takkan membiarkan siapa pun menyakiti Nindi. Apalagi si cupu berengsek itu.”