Raihan tak kenal lelah mencari bukti yang menunjukkan ketidakterlibatan Anindira dalam kasus yang membelitnya. Hampir dua puluh empat jam ia bergelut dengan peluh dan logika. Baginya, penebusan dosanya pada Anindira tidaklah cukup hanya dengan membebaskan wanita itu dari segala tuduhan.
Kerja keras Raihan berbuah manis. Melalui detektif sewaannya, ia berhasil menemukan salinan laporan keuangan yang dibuat oleh orang kepercayaan Radith. Bahwasanya laporan yang dibuat Anindira ternyata direka ulang dengan mengubah angka-angka dalam laporan tersebut. Mengenai rekening Anindira yang menggendut tanpa sepengetahuan Anindira pun tak luput dari perhatiannya. Ternyata, orang kepercayaan Radith sengaja membuat seolah-olah Anindira menerima kucuran dana dari Radith.
“Semua ini hanya permainan, Nindi. Dia tahu Radith mencurangi perusahaannya dan dia memanfaatkan situasi untuk menjebakmu. Dia yang membayar orangnya Radith untuk mentransfer dana ke rekeningmu.” Nada geram terdengar dari ucapan Raihan saat ia mengunjungi Anindira di ruang tahanan.
“Aku tahu, Rai. Kau tidak perlu menjelaskan padaku. Dia sudah mendapatkan keinginannya melihatku membusuk di sini.” Suara Anindira tersekat di tenggorokan. Bulu mata lentiknya yang hitam dan lebat bergerak menutupi mata cokelatnya yang digenangi air mata.
“Aku akan menyeretnya ke balik jeruji besi karena sudah membayar orang untuk melakukan kejahatan padamu. Dia memfitnahmu, Nindi. Si berengsek itu sudah mencemarkan nama baikmu.” Raihan mendesah kesal. Tatapan gelapnya berkilat penuh amarah.
“Yang terbaik untukku saat ini adalah keluar dari sini, Rai. Aku tidak akan pernah menuntutnya. Semua dendam ini takkan ada habisnya jika kita terus saling menyerang. Aku punya sesuatu untuk kupertahankan dan kuperjuangkan. Hatiku, harga diriku, dan ....” Ucapan Anindira mengambang di ujung. Sesak di dadanya meruntuhkan semua kekuatannya.
Raihan menggenggam tangan Anindira. Sentuhan hangat yang menenangkannya membuat Anindira merasa lega bahwa ia tidak sendirian.
“Secepatnya kau akan kembali pulang. Aku janji.”
Raihan menepati janjinya. Dua hari kemudian Ia dan Lisa menjemput Anindira yang terbukti tidak bersalah di rumah tahanan.
“Nindi, aku senang kau bebas dari semua tuduhan.” Lisa memeluk sesaat Anindira yang tampak senang, meskipun kilat matanya masih menyiratkan kesedihan. “Maafkan aku baru bisa menemui sekarang. Kau tahu, kan, jadwal pemotretanku sangat padat.”
“Tidak apa-apa, Lisa. Terima kasih kau sudah menghubungi Raihan untuk memberitahu keadaanku.”
“Mama mana, Lis? Mama tidak ikut menjemput?” Anindira mengedarkan pandangannya mencari Lia.
“Tante Lia dan Bang Nanda menunggumu di rumah. Mereka sedang mempersiapkan kejutan untukmu,” sahut Lisa bersemangat.
Anindira menatap Raihan penuh haru. Pria yang pernah meninggalkannya dalam kegelisahan dan keputusasaan kini kembali. Pria ini pula yang menyelamatkannya dari amukan dendam Kenan. Anindira mendekati pria bertubuh jangkung dengan setelan jas hitam yang tampak memukau. Di dalam hati, Anindira merasa sangat malu karena keadaannya yang sangat kacau—dengan pakaian lusuh dan wajah polos—ketika ia memandang sosok yang nyaris sempurna itu. Namun, ia sudah tidak peduli seandainya Raihan yang sekarang tidaklah sama dengan Raihan yang dulu, yang memujanya, dan mungkin saja mencintainya. Ia hanya ingin berterima kasih pada pria itu.
“Terima kasih, Rai. Aku berutang banyak padamu untuk semua ini.” suara Anindira terdengar bergetar.
Raihan menyunggingkan senyum manis. Ia merangkul Anindira seraya berkata, “Kita semua punya utang yang perlu ditebus, Nindi. Aku senang bisa membantumu.”
“Aku tidak tahu harus membalas semua kebaikanmu dengan apa?”
“Ehem!” Dehaman Lisa menginterupsi keintiman mereka. “Kalian pikir aku obat nyamuk apa? Ayo, pulang! Jangan deket-deketan terus. Ada yang jomblo di sini.”
Raihan merangkul Lisa dengan tangannya yang lain sambil tertawa. “Hahaha. Memang kaupikir aku dan Nindi bukan jomblo?”
“Bisa aja kamu, Rai.” Lisa melempar senyuman.
***
Lia menyambut kedatangan Anindira dengan sukacita. Tak berhentinya ia menciumi anak bungsunya. Wanita baya itu meminta Raihan dan Lisa untuk makan malam di rumahnya. Namun, Lisa beralasan jadwal pemotretannya tidak bisa ditinggalkan. Berbeda dengan Raihan yang tidak bisa menolak permintaan Lia. Ia bertahan untuk tetap tinggal sementara waktu di rumah itu karena alasan lain, Anindira. Pria berambut gelap hitam itu ingin lebih banyak menghabiskan waktu dengan “kekasih yang belum sampai”-nya.
Selama beberapa minggu Raihan melakukan pendekatan pada Anindira meski gadis itu kerap menghindarinya. Patah hati karena dikhianati Kenan masih sangat berbekas dan terasa perih. Anindira belum siap menerima lagi kehadiran seorang pria dalam hidupnya. Terlebih lagi, saat ini ia terbebani oleh kenangan Kenan yang mungkin akan ia rasakan seumur hidupnya.
Suatu malam Raihan mengajak Anindira untuk makan malam. Sekian lama menunggu, akhirnya ia menyerah. Ia tak bisa lagi menunggu untuk mengatakan semua isi hatinya pada gadis itu.
“Aku tahu saat ini mungkin aku bukan orang yang kauharapkan untuk mengatakan semua ini. Asal kau tahu, aku tidak pernah mengkhianati perasaanku padamu sejak kita lulus SMA dan berpisah. Aku tidak pernah memberikan hatiku pada gadis mana pun. Iya, aku akui aku bukan orang suci yang bisa menahan semua hasrat. Aku memang pernah tidur dengan beberapa gadis semasa aku kuliah, tapi itu hanya untuk kesenangan semata. Ber-one night stand, kemudian melupakan semua yang terjadi keesokan harinya. We did stupid things, sometimes. Didn’t we?” Raihan meraih tangan Anindira lalu menggenggamnya. Ia mengembus napas panjang untuk mengusir ketegangan yang menyelimutinya. Menyatakan cinta itu sama horornya dengan menghadapi seribu musuh yang siap tempur.
“Rai, aku—“
“Aku tahu. Aku tidak mempermasalahkan itu. Aku mau kau jadi partner hidupku, bukan hanya sekadar partner seksku, Nindi.” Raihan memotong dengan nada seolah ia sudah mengetahui apa yang sudah terjadi antara Anindira dan Kenan.
“Rai—“
“Aku masih menyimpan rasa itu, Nindi. I still love you.” Raihan kembali memotong ucapan Anindira dan membuat gadis itu tersentak.
Ucapan Raihan membuat Anindira membeku. Rasa dingin merayap dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Anindira ingin mengumpati, memaki, dan menjerit di telinga pria itu kenapa baru sekarang ia mengatakan hal yang seharusnya ia katakan delapan tahun yang lalu. Tapi mulut Anindira terkunci. Tubuhnya menegang sampai Raihan mengatakan, “Aku ingin segera mengakhiri masa lajangku. Maukah kau menjadi istriku?”
“Tidak. Aku tidak mau. Maaf, aku mengecewakanmu.” Anindira menarik tangannya dari genggaman Raihan lalu berdiri dan berjalan meninggalkan Raihan.
Raihan tidak menyerah. Ia mengejar Anindira dan berhasil meraih tangan gadis itu tepat di depan deretan mobil di tempat parkir restoran.
“Nindi, listen to me. Please!”
“Rai, aku tidak bisa ....” Anindira tidak bisa menahan tangisnya. Baginya semua yang Raihan lakukan untuknya saat ini tidak akan berguna. Ia tidak pantas menerima cinta Raihan seandainya pria itu tahu apa yang sedang Anindira sembunyikan.
“Aku mencintaimu dan aku ingin menikah denganmu, Nindi. Biarkanlah masa lalu menjadi kenangan pahit. Kita tidak boleh kebas dengan masa depan,” tutur Raihan lantang.
Masa depan? Anindira menatap Raihan. Jantungnya berdegup dua kali lebih kencang ketika ia membayangkan masa depannya yang sudah hancur. “Aku tidak punya masa depan, Rai.”
Raihan memeluk Anindira. Ia membisikkan kalimat untuk meyakinkan gadis itu, “Masa depanmu bersamaku, Nindi.”
Aku harap begitu, tapi aku tidak bisa selamanya menyembunyikan benih Kenan yang sedang bertumbuh di rahimku. Anindira meluapkan laranya di pelukan Raihan.