Hoaaaammmmmm!
Kalma menguap sembari kakinya masih setia berjalan masuk lobi. Suara menguapnya yang begitu besar membuat orang yang berjalan di sampingnya menjadi terheran-heran melihatnya. Jika yang lain bekerja dan menyambut hari dengan penuh semangat, dia kebalikan dari itu semua.
Jam 1 dini hari, dia bangun karena perutnya yang sudah mulai bernyanyi keroncong. Melakukan paduan suara, memaksa mata Kalma untuk terbuka. Mau tidak mau, dia bangun untuk mengisi perutnya.
Sebab dia hanya punya dua mie instan dengan rasa berbeda, dan terbiasa makan dua mie sekaligus, alhasil dia menggabungkan dua mie itu. Namun, ketika mie tersebut sudah matang, rasa perpaduannya sangatlah aneh hingga Kalma tak bernafsu untuk menghabiskannya. Karena itu lah muncul ide dalam dirinya untuk membuat kopi dan setelahnya dia tidak bisa tidur lagi sampai subuh tadi. Terpaksa kini ia harus menguap meski orang tak suka dengannya.
"Ndut!"
Bahu Kalma sengaja di senggol. Dengan ogahan Kalma menatap pria itu, dan orangnya adalah orang yang sama dengan pria yang bersamanya kemarin. Arka Bagaskara.
Senyuman lebar dari Arka tidak begitu berarti bagi Kalma, sebab yang sangat di butuhkan oleh Kalma saat ini ialah kasur dan tidur. Selebihnya, ditunda dulu.
"Apa?! Gue ngantuk nih! Jangan main senggol-senggolan atau nanti gue tendang lo kayak kemarin malam." Kalma menggerutu pada Arka.
Mengingat semalam, Arka mengangkat tubuh Kalma keluar dari mobilnya saat ia masih terlelap. Tapi sepertinya Kalma salah paham, dia langsung menendang Arka hingga pria itu terjatuh bersamanya.
Bentakan dari Kalma sedikit membuat Arka terkejut. "Wih, pantes banget lo kusut dan sangat berantakan pagi ini. Rambut yang belum di sisir, kancing kemeja yang atas sebelah, dan bahkan sepatu pun beda sebelah. Lo masih waras atau otak lo ketinggalan di mall kemarin?"
Kalma menatap tampilan dirinya di kaca yang ada di sampingnya. Ia hanya tersenyum miring, sedikit menertawakan dirinya. Dia lupa kalau belum menyisir rambutnya setelah hanya membersihkan wajahnya dengan tisu basah. Kancing kemeja yang atas sebelah dipadukan dengan rok, padahal selama ini dia paling anti memakai rok karena bisa memperlihatkan pinggangnya yang penuh dengan lemak jahat. Dan yang lebih aneh adalah sepatunya yang beda warna. Jika kanan berwarna hijau, maka kiri berwarna kuning. Fix, Kalma sudah kehilangan akal untuk penampilannya pagi ini. Terlalu masuk akal untuk dikatakan GILA.
"Gue emang udah gila." Gumamnya.
"Tuh kan. Lo aja ngaku kalau lo udah gila. Gue jadi penasaran, lo ada niatan kerja gak sih di kantor gue? Secara kantor gue kan udah bergengsi banget, sedangkan lo? Orang gak sanggup lihat penampilan lo. Kalau lo mau tetap kerja di sini, setidaknya perhatikan penampilan lo, Ndut! Dengan begitu gue gak malu jadi atasan lo, dan lebih-lebih lagi lo yang gak bakal di ejek-ejek."
Namun ternyata, ucapan Arka yang begitu panjang hanya menjadi pengantar tidur Kalma. Bukannya mendengarkannya dengan baik, ia malah semakin menguap. Bahkan sepertinya ia sengaja melakukannya. Menguap di depan Arka hingga nafasnya bisa di rasakan oleh pria itu.
"Lo belum sikat gigi, ya? Bau banget!"
Kalma menghembuskan nafas di tangannya, kemudian mencium telapak tangannya. Ia terkekeh, "iya. Ternyata gue belum sikat gigi. Sorry ya kalau nafas gue baju jigong, nanti gue sikat gigi deh." Kalma mengakuinya.
Mendengar itu, entah darimana asalnya Arka menjadi ingin mual. Dia menutup mulutnya, menghindar dari Kalma dengan tatapan yang begitu aneh pada perempuan yang dari tadi terus nyengir kepadanya.
"Aneh banget, sumpah. Gimana jadinya nanti kalau dia nikah, terus masih dekil kayak gini. Sumpah, aku gak bisa membayangkan gimana besar sabar dan cinta suaminya nanti menerima si Ndut yang super duper dekil, ngeselin, gemesin sekaligus unik ini." Arka membatin.
"Lo pulang aja deh. Pulang, terus mandi dan balik lagi kerja!" Suruh Arka.
"Ngapain jauh-jauh pulang. Kamar mandi di kantor lo aja lebih bagus daripada kamar mandi kontrakan gue. Nanti aja, pas makan siang gue mandi di sini. Lo tenang aja. Lo kerja aja deh, gue juga mau kerja. Jangan seenaknya nyuruh gue."
Padahal yang sebenarnya terjadi, Arka adalah atasannya, maka dia pantas menyuruh Kalma. Kalma terkadang lupa kalau dia menjadi bawahan.
Arka syok dikatakan demikian oleh Kalma. "kan gue atasan lo, Ndut!"
"Gak peduli. Bagi gue, lo tetep si Udin kutu kumpret!" Kata Kalma.
Dengan begitu santainya, dia masuk ke dalam ruangan kerjanya bersama karyawan yang lain. Layaknya anak ayam yang senantiasa mengikuti induknya, Arka masuk ke dalam mengikuti Kalma meski tatapan karyawan yang lain terasa aneh kepadanya.
"Lo salah meja. Meja lo di belakang sana!" Ungkap Arka, melihat Kalma yang baru duduk langsung menidurkan kepalanya di meja karyawan lain, bukan di mejanya.
Kesal dengan hal itu, Kalma memukul lengan Arka. "Lo balik aja sana, Udin. Gue mau kerja!" Katanya terdengar songong, langsung balik ke meja kerjanya, dan malas-malasan di sana.
Arka yang mendapatkan perlakuan yang demikian, langsung membuat dirinya begitu malu. Harga dirinya langsung turun drastis oleh perlakuan Kalma. Hal ini tidak dilakukan saat mereka berdua saja, tapi di depan karyawannya yang lain. Semakin membuktikan kalau dirinya begitu tak terhormat hanya di depan perempuan yang satu ini.
Banyak yang menahan tawa, namun tak berani bersuara. Sekali saja mereka tertawa, gaji mereka langsung dipotong. Dan ya, Arka sangat tersinggung dengan hal itu sampai tak bisa menahan rasa malunya.
"Oh iya? Lo beneran mau kerja, kan?"
"Hmm...." Jawab Kalma.
"Oke. Kalau begitu gue akan buat lo kerja rodi hari ini. Jangan sampai lo mengeluh dan sengaja pura-pura bego setelah ini."
"Terserah!"
Mendapatkan jawaban yang demikian membuat Arka semakin bertekad. Arka tampak menelpon seseorang. Dia terlihat begitu serius dengan ekspresinya yang tampak kesal.
"Kamu sudah sampai kantor?" Tanya Arka mengawali.
"Oke. Cepat kamu kamu bawa laporan yang menumpuk di atas mejamu karena akan ada orang gila yang mau mengerjakannya. Kamu pulang saja dan nikmati liburanmu."
Tut...
Arka langsung menutup panggilan itu sepihak setelah menyatakan maksudnya menelpon. Dia masih tampak kesal. Melihat sekitarnya yang masih melihatnya, membuat Arka mau tidak mau membentak meski sebenarnya hal itu sangat jarang dia lakukan. Sebab semua karyawan Arka tahu bagaimana irit bicaranya seorang Arka Bagaskara, namun dengan seorang Kalma Lavina membuatnya menjadi seseorang yang berbeda, seakan-akan dia sudah hilang ingatan dan menjelma menjadi jiwa yang berbeda.
"Apa?! Ngapain kalian lihat-lihat?! Cepat kerjakan tugas kalian atau gaji kalian saya potong!"
Seketika menjadi boomerang bagi mereka, langsung bergerak cepat menuju meja masing-masing. Sengaja fokus ke komputer masing-masing, padahal mata mereka selalu curi pandang ke arah Arka yang marah dan Kalma yang malas.
Tidak lama dari itu, seorang pria masuk dengan membawa tumpukan laporan. "Pak, ini laporannya saya taruh dimana?" Tanya pria itu.
Arka hanya menunjuk meja Kalma yang masih kosong melompong, belum memiliki pekerjaan sedikitpun.
"Ini masih sedikit. Ambil semua laporan yang ada di mejamu!" Bentakan dari Arka seketika membuat suasana menjadi mengerikan.
Pria yang tadi membawa tumpukan laporan itu berlari keluar, sedangkan karyawan lain di ruangan ini sudah bergetar. Mereka ketakutan dengan kemarahan Arka.
"Kenapa kalian lihat saya? Mau saya suruh seperti itu juga?!"
"Tidak, pak!" Tolak mereka serempak.
Berbeda halnya dengan mereka yang bergetar ketakutan, Kalma sudah membuat pulau di mejanya. Dia sudah terlelap tidur.
Beberapa kali pria yang sebelumnya masuk dan menaruh laporan hingga memenuhi meja Kalma.
"Sudah semua, pak."
"Kamu boleh keluar dan pengajuan cuti yang kamu ajukan kemarin saya terima. Selamat berlibur!"
"Terimakasih, pak."
Pria itu tampak sangat senang. Dia akhirnya bisa berlibur dengan istrinya, sebab kemarin dia mengajukan cuti untuk honeymoon-nya yang sudah sangat telat. Namun kini, dia bisa melakukanya dengan tugas yang dialihkan ke Kalma.
Tok...
Tok...
Arka mengetuk meja Kalma, sedikit membuat Kalma terusik. Namun hal itu tidak sampai membuat Kalma bangun begitu saja. Malah dia mengganti posisi dan kembali tidur nyenyak, membuat pulau sendiri di mejanya.
Kesabaran yang sudah sangat menipis. Arka mendekati telinga Kalma dan bersiap untuk kejutan selanjutnya.
"Gempaaaaaa!"
Kalma langsung kaget, kesadarannya seketika naik ke permukaan. Dengan tampilan yang begitu acak-acakan, dia berlari hendak meninggalkan ruangan itu, namun bukan Kalma namanya kalau tidak melakukannya dengan bar-bar. Dia mendorong Arka saat hendak berlari. Beruntungnya dia bisa menahan keseimbangan tubuhnya. Kalau sampai dia jatuh, maka habislah wibawanya.
"Ngapain kalian diam saja? Gempa nih!" Ajak Kalma begitu percaya diri. Dia belum tahu kalau itu adalah akal-akalan dari Arka.
Semuanya tetap diam. Bahkan mereka menahan tawa. Tidak hanya karena Kalma yang dibohongi oleh Arka, melainkan juga karena penampilan Kalma yang semakin kacau. Kini, wajahnya dihiasi oleh aliran sungai durjana dari mulutnya. Aliran yang memiliki aroma paling mengerikan.
"Udin, ngapain lo diam aja disana?. Sekarang gempa woy, cepet keluar!" Ajak Kalma.
Tentu saja Arka diam. Dia lah yang memulai kebohongan itu.
"Ngapain lo diam terus? Ntar lo ketiban bangunan kantor lo sendiri, gak seru. Mana lo masih jomblo lagi!" Seru Kalma.
Dia sudah menaikkan sedikit roknya, hendak berlari sekencang-kencangnya. Namun, ucapan dari Arka membuatnya langsung berhenti.
"Anda keluar karena gempa atau karena saya pecat Anda dengan cara tidak terhormat?!" Tanya Arka. Seketika, dia menjadi sosok yang berbeda, meski dengan Kalma. Dia tidak mengunakan lo-gue lagi, melainkan saya-Anda.
Ngeri.
"Loh kok aneh? Si Udin kok gitu? Aku kan jadi takut. Ini gempa atau bukan sih?" Tanya Kalma dalam hatinya. Dia agak takut dengan Arka yang berubah menjadi dingin.
Kalma mendekat. Dia agak ragu, sekaligus takut. Dia juga malu apalagi setelah melihat tatapan yang lain padanya.
Kalma mencolek lengan Arka. "Lo kok gitu? Serem tauu, gue takut kalo lo gitu." Ujar Kalma dengan nada bicara yang rendah.
Arka menepis tangan Kalma. Tatapannya dingin mengarah pada Kalma. "Mohon sopan santunnya dijaga saat Anda berbicara dengan saya sebagai atasan Anda. Saya sangat tidak menerima orang yang bertindak kasar, apalagi dalam berkata-kata."
Dingin.
"Lo kok gitu? Gue minta maaf deh kalau gue salah, tapi jangan gini ngomongnya. Gue takut banget lo marah kayak gitu." Ujar Kalma.
"Silakan kerjakan tumpukan laporan itu. Itu semua laporan pemasaran dari tiga tahun sebelumnya. Saya meminta agar Anda meringkasnya menjadi satu file dan menyerahkannya kepada saya. Paling lambat saya berikan waktu tiga hari."
Kalma menatap laporan yang begitu menumpuk di mejanya kayaknya gunung. Mulutnya menganga lebar, "banyak banget, Udin. Ini sih bukan kerja namanya, tapi kerja rodi. Mana bisa gue kerjain sebanyak ini. Ini mah cari penyakit namanya." Gerutu Kalma.
"Silakan pilih. Mengerjakan tugas ini atau ganti harga HP yang kemarin dengan harga tiga kali lipat. Silakan pilih!"
Kalma terlihat ingin menangis. Matanya sudah berkaca-kaca, namun tatapan Arka berbanding terbalik dengan hal itu. Sorot mata yang dingin dan tak tersentuh.
"Tapi kan lo kemarin bilang kalau HPnya gak dikembaliin. Lah kok sekarang malah marah-marah dan nagih ganti HP. Lo kok bisa gitu sih, Udin?" Tanya Kalma. Suaranya sudah bergetar.
"Perlu Anda ketahui dan tanamkan bahwa saya adalah atasan Anda. Kerjakan segala sesuatu yang saya suruh tanpa ada bantahan sedikitpun!"
Arka membentak Kalma hingga Kalma menutup mata ketakutan. Terlihat dan terdengar dengan jelas kalau Kalma sedang menangis. Kalma masih berusaha membujuk Arka dengan mencolek-colek lengan pria itu, namun berakhir sama dengan tepisan darinya.
"Oke. Gue bakal kerjain. Tapi tiga hari setelahnya gue minta cuti selamanya!" Kata Kalma, menghapus air matanya.
"Awas aja lo kali nyari gue lagi, si Udin kutu kumpret!" Gerutunya kembali ke meja kerjanya.
Arka masih marah. Dia keluar dari ruangan itu dengan meninggalkan suasana yang masih mencekam. Sesaat ia keluar dari sana, terdengar dengan jelas helaan nafas lega dari semua karyawan di ruangan itu.
***
Arka tampak tidak fokus. Berulang kali dia berdecak, bahkan tak jarang pula menghela nafas kasar. "Si Ndut gak dendam kan sama aku?"