"Dasar si Udin kutu kumpret, kampret kayak jambret!" Gerutu Kalma terus menerus tanpa henti.
Mulutnya tak henti-hentinya menyebut nama Arka dengan nama yang buruk, namun tangannya masih setia mengerjakan tugas dari Arka. Kini, dia sudah mengerjakan 30 persen dari semua dokumen yang menumpuk di mejanya. Ia pilih dan pilah berdasarkan bulan dan tahunnya, kemudian mengerjakannya dari tahun yang lebih lampau.
Bisa dikatakan kondisi Kalma saat ini hampir mendekati kata gila. Bagaimana tidak? Rambutnya begitu acak-acakan dengan penampilan tadi pagi yang sudah berawal kocak. Belum lagi dengan wajahnya yang berminyak, semakin membuatnya tampak seperti orang gila yang stress.
Krukkkk....
Krukkkk....
"Duh,... Kok kalian gini sih? Aku kan masih kesel sama si Udin itu, kalian jangan ikut kesel juga kalau gak di isi sama aku. Lagian kalian juga yang salah. Gara-gara kalian yang terus demo minta di isi terus, aku jadi gendut dan jadi bahan bully si Udin. Tapi kalian sama sekali gak mau hargain aku. Aku kesel banget sama si Udin kutu kumpret itu. Please lah, mohon mengerti keadaanku, cacing-cacing kesayanganku." Gumamnya, mengusap perutnya yang tadi berbunyi nyaring.
"Cacing-cacing di perut, diam-diam merayap," katanya bernyanyi dengan nada yang salah.
Dia sudah sangat lapar saat ini, namun meninggalkan kursinya saja dia sangat enggan sebelum menyelesaikan tugasnya. Kondisi ruangan sudah sangat sepi, hanya dia saja yang tersisa sebab semuanya sudah pulang satu per satu meninggalkan Kalma yang mengerjakan tugas negara dari Arka.
Ia sendiri dengan penampilan yang mendekati gila, ditambah lagi dengan belum makan, semakin membuatnya tampak ngenes. Ia hampir menangis dengan kondisinya yang sekarang, tapi mengingat bagaimana Arka yang memarahinya dengan nada yang dingin di depan semua rekan kerjanya, membuatnya kembali membara dengan menyebut Arka dengan sumpah serapahnya.
"Gak! Pokoknya aku gak boleh kalah sama di Udin itu. Dia pikir aku gak bisa selesain semua tugas darinya? Ini mah kecil bagiku!"
Ia mulai meremehkan tugasnya. Kembali semangat mengerjakan laporan itu. Namun, tidak lama setelahnya, tubuhnya melemas. Wajahnya masam, bibirnya cemberut dan maju kayak bebek.
"Ya ampun.... Gini amat jadi karyawan kantoran. Aku pikir kayak di TV-TV, duduk-duduk biasa dan santai kayak dipantai. Nyatanya aku beneran kerja rodi. Kalau aku gak kerjain laporan ini, aku harus ganti harga HP dengan harga fantastis, tingkah dewa dan neraka j*****m ini. Tapi, kalau aku kerjain semuanya sebelum tiga hari, yang ada aku malah dilarikan ke rumah sakit. Aduh.... Bingung hayati...." Gumamnya, dengan pipi yang sudah bertumpu pada meja. Kakinya sudah berhentak-hentak tak karuan dengan sepatu warna-warni.
"Aku lelah.... Mau nikah aja." Ujarnya lagi.
"Tapi gak ada pasangan. Gimana dong? Aku kan jomblo."
Kalma bangun. Dia berkeliling ruangan ini, meneliti satu per satu meja dari karyawan yang satu departemen dengannya.
"Ish! Si Udin emang gak pernah adil. Masa iya mejaku penuh sama laporan, sedangkan meja karyawan lain gak ada tumpukan laporan sama sekali. Emang kampret tu orang." Gerutu Kalma.
Setelah berkeliling, Kalma kembali lagi ke mejanya. "Aku harap ruangan ini gak ada setannya kayak si Udin. Semoga nanti malam aku gak kerasukan kalau tidur di sini."
"Aku bakal buktiin sama si Udin kalau aku bisa mengerjakan semua laporan ini, bahkan sebelum tiga hari. Kalau aku bisa melakukannya, aku bakal tagih sesuatu sama dia. Minimal dia harus jadi badut, biar nanti kalau aku sakit ada hiburan dikit."
Kalma terus menggerutu sembari mata, tangan, dan otaknya kembali bekerja. Saking sibuknya, dia sampai tidak menyadari kalau ada dua pasang mata yang sekarang sedang memperhatikannya dari luar kaca.
"Kenapa ngeyel banget sih? Kalau waktunya pulang, ya pulang. Jangan paksa diri dengan tugas itu. Ndut... Ndut... Kenapa kamu keras kepala banget?"
"Aku kan gak sengaja marah kayak gitu. Malah aku nyesel banget. Lebih nyesel dari pas tahu kalau aku udah jomblo dari Agnes."
***
Kalma benar-benar mengerjakan tugasnya sampai malam. Matanya masih tetap siaga di depan layar, dengan tangan yang menari lincah di atas keyboard, dan otak serta matanya yang memproses kata yang bakal dia suguhkan di layar komputernya.
Krek!
"Aduh!"
Kalma menggerakkan pinggul dan punggungnya yang kaku. Dia juga melakukan sedikit senam untuk meregangkan otot-ototnya.
"Sehari jadi karyawan Udin sudah buat aku jadi kayak nenek-nenek. Bisa-bisa sebulan kerja sama dia bikin aku jadi nenek beneran. Tulang keropos, kerutan dimana-mana, tensi darah pun udah kayak rollercoaster." Gerutu Kalma.
Sudah setengah jalan, Kalma menyelesaikan 50 persen dari semua laporan itu. Jari-jari Kalma sudah kaku, perut sudah lelah berdemo karena tidak di isi, pula dengan mata yang sepertinya sudah memanas dan lelah.
Kalma melepas pekerjaannya. Dia berbaring di lantai, menjulurkan kakinya lurus, menaruh tangan di perut yang isinya kosong melompong dan menatap langit-langit ruangan itu yang hanya diterangi satu lampu di atas kepalanya.
"Apa aku resign aja ya dan balik jadi travel blogger?" Tanyanya.
"Kalau aku tetap jadi pegawai kantoran, aku bisa cepat tua. Skincare pun tidak mempan di wajahku yang burik ini. Tapi, dengan aku jadi pegawai kantoran, babe bisa bergosip bangga ke teman-teman satu gengnya. Kalau aku balik jadi travel blogger, aku bisa awet muda, tapi babe bakal jodohin aku sama juragan tuwir dan tinggal jemput ajal itu. Heran aku sama babe, kenapa dia malah mau jodohin aku sama kakek-kakek yang jelas-jelas lebih tua dua kali lipat dari dia. Ini babe aku yang buta atau gimana sih? Heran deh..."
"Ternyata selama ini aku dibohongi sama temen-temen aku. Mereka bilang jadi pegawai kantoran itu enak, eh taunya bikin eneg. Yang ada aku bisa muntah setiap hari, apalagi lihat wajah dingin es batu si Udin."
"Si Udin juga kenapa cuek gitu? Aku kan jadi takut. Untung aku nangis, jadi gak jambak rambut dia. Mulutnya dingin banget, kayak ada es baru di depan bibirnya yang dower itu."
Entah dengan siapa Kalma bercerita. Dia terus bergumam, bercerita tentang banyak hal yang memang kebanyakan gerutuannya itu tentang Arka yang tiba-tiba berubah padanya. Sampai-sampai dia tidak sadar kalau rasa ngantuk sudah menyeretnya menuju pantai kapuk.
Kalma terlelap, di atas lantai yang dingin, dengan posisi yang sedikit menyedihkan.
Apa kabar dengan cacing-cacing kesayangannya yang sudah lelah mendemo dari tadi pagi? Apakah mereka juga ikut terlelap? Sama-sama lelah dan ingin nikah?.
***
Berbeda halnya dengan Kalma yang sudah terlelap di ruangan yang dingin itu, ada sebuah ruangan yang kini sedang memanas. Bukan karena suhunya, tapi karena pemiliknya yang sekarang sedang resah, gelisah, dan gundah.
Siapa lagi kalau bukan Arka. Dia masih tetap di ruangan kerjanya. Beberapa kali dia turun ke bawah, tepatnya ke ruang departemen Kalma untuk memantau perempuan itu. Namun, ketika ia tahu kalau Kalma yang tidak pulang, ia pun juga melakukan hal yang sama.
"Si Ndut gak dendam kan sama aku?" Tanyanya khawatir.
Tanpa sengaja matanya melihat ke arah atas, melihat jam dinding yang sudah menunjukkan angka 12. Sontak membuatnya kaget dan langsung berdiri dari kursinya. Menyambar jasnya dan keluar dari ruangannya.
"Si Ndut pasti sudah pulang. Dia balik sendiri atau pake taksi?"
Dengan cepat turun ke bawah dan menuju ruang departemen Kalma yang masih terang.
"Gak ada orang. Si Ndut udah pulang atau gimana?" Tanya Arka.
"Tapi kok dia gak matiin komputernya ya?" Tanya Arka lagi.
Karena rasa keanehan itu, Arka masuk ke ruangan itu. Dia tidak menemukan siapapun. Tidak ada Kalma, sepi.
"Aduh!"
"Aww!"
Arka tanpa sengaja menginjak sesuatu yang kenyal, dan ternyata itu adalah lengan Kalma. Beruntungnya dia tidak terlalu menginjaknya, keburu kaget dengan ringisan dari Kalma.
"Ndut? Kenapa tidur di lantai sih?"
Anehnya, Kalma tidak bangun setelah lengannya yang diinjak tanpa sengaja itu. Dia malah memperbaiki posisi tidurnya. Anteng, tanpa beban dosa.
"Huft... Ini cewek emang aneh bin ajaib. Bisa-bisanya dia gak bangun setelah aku injak lengannya." Heran Arka. Dia berjongkok, melihat wajah Kalma yang tertidur dengan santainya, tanpa ada beban.
Senyum Arka terbit. " Lucu banget pipi chubby-nya. Pengen aku tarik...." Gumam Arka, entah dengan kesadaran penuh atau dengan tingkah perasaan yang sampai kini belum ia sadari.
Tangan Arka sudah hampir mendekati pipi Kalma, namun terhenti ketika mendengar dering nada ponsel Kalma di atas meja kerja.
"Siapa lagi sih? Ganggu banget!"
Bangun, Arka menghampiri meja Kalma. Di kembali tersenyum aneh. "Gak aku sangka kalau dia mau kerjain semuanya. Aku pikir dia bakal tantang aku lagi dengan gaya songong menggemaskan miliknya." Gumamnya.
Mengambil HP Kalma dan melihat nama yang sama dengan nama yang kemarin malam menelpon Kalma.
"Siapa sih si Babe ini?" Kesal Arka.
Tanpa menunggu lama, Arka menggeser ikon hijau dan menempelkan benda itu di telinganya. "Heh! Siap--"
"Dek, kamu dimana? Babe udah di kontrakan kamu, nih. Babe bawa calon suami kamu."
Mampus!