CB 14. Para Raksasa — The Giants

1644 Kata
“Kadang kata tak harus diucapkan lewat suara. Mata ternyata juga bisa bicara. Tinggal mencoba memahami dan percaya. Aku tahu aku aman bersamamu.” Chana – Isyarat ⠀ "Bentar, Mbok. Aku pasang kondenya dulu," ucap Chana tersenyum riang pada si Mbok. Ia baru saja bereksperimen menjalin rambut Mbok Sumi kemudian sedang berusaha menyanggulnya. Di awal kedatangannya ke mansion ini, Chana pikir Mbok Sumi tidak bisa bicara. Tapi ternyata si Mbok memakai bahasa isyarat karena sedang batuk flu dan suaranya hilang. "Ini kok nggak bisa keputer kayak di TV itu ya, Mbok?" Chana meringis bingung. Memiringkan kepala melihat hasil sanggul yang tidak sesuai dengan harapannya. Apa dia yang salah praktek? "Aku ulang lagi nggak apa-apa, ‘kan, Mbok," tawanya renyah. Mengedip-ngedipkan mata dengan polosnya. Si Mbok hanya terkekeh mengangguk menghadapi tingkah manja Chana. Sudah lama ia tidak merasakan keceriaan lagi di mansion ini. Sejak Chana tinggal di sini, bahkan si Mbok pun merasa tidak kesepian karena ada majikan yang harus dia layani. Sementara itu, dulu Daniyal kalaupun datang ke mansion, pasti mendadak. Hanya untuk memeriksa kondisi mansion, memantau kerja pengurus rumah kaca di mana tanaman-tanamannya yang berharga berada, lalu makan di paviliun Mbok Sumi. Pria itu sangat menghindari masuk ke dalam mansion. Mbok Sumi paham betul, Tuannya sangat melankolis dengan hal-hal yang mengingatkan pria itu tentang istrinya tercinta. Namun sekarang, meski kedua muda-mudi tadi saling kucing-kucingan selama beberapa hari ini, paling tidak Chana dan Daniyal ada di mansion. Semoga nanti ada kemajuan yang lebih menggembirakan. Sejujurnya kalau tidak terlanjur janji dengan Daniyal, Mbok Sumi pasti akan bercerita pada sahabatnya, Bunda Daniyal, mengenai Chana. Ia juga berharap Chana bisa bertemu dengan Den Ayu Kirana dan mereka bisa cocok. Lalu ... sekali lagi, ada pernikahan di sini. Romantis bukan? Si Mbok tersenyum-senyum membayangkannya. ⠀ "Mbok, kayaknya kita kedatangan tamu, deh," desis Chana. Mbok Sumi yang tengah melamun seketika menengok ke arah yang dilihat Chana. Chana terpana menatap beberapa orang pria yang muncul di teras beranda. Kegiatan salon menyalon rambut bersama si Mbok berhenti sudah. Mbok Sumi membenahi sanggul rambutnya, kemudian berdiri menyambut para tamu itu. Chana tetap berada di tempat, mengamati mereka. Tamu yang baru saja datang itu semuanya berwajah tampan, berbadan besar, kekar dan sangat tinggi. Mungkin di atas 180 cm. Benar-benar raksasa. Dua di antaranya, yang paling muda, bahkan punya wajah yang sama persis. Kembar identikkah? Mereka terlihat sudah lama mengenal Mbok Sumi, bicara begitu akrab memakai dialek Jawa yang tidak Chana mengerti. Kadang sesekali mereka melirik ke arahnya. Membuat Chana menundukkan wajah risi. Sebaiknya ia kembali ke kamar, pikir Chana ketika Mbok Sumi berpamitan menuju dapur. Namun belum sempat ia beranjak dari sana, salah seorang di antara para pria tadi bergegas menghampirinya. Memblokir langkahnya. Pria itu menatapnya dengan pandangan penasaran. Garis bibirnya tertarik ke atas, menampilkan senyuman. Sekilas dia terlihat seperti Dokter Alfa, hanya saja berambut hitam bergelombang dan senyum yang terkesan nakal. Sementara itu Dokter Alfa punya senyum yang lebih sinis. "Hello, Pretty Lady. Boleh minta waktu kamu sebentar?” Chana menengadah, menatap bingung pria itu. Memangnya pria ini mau bicara apa? Bukankah mereka semua tamunya Dokter Alfa? “Perkenalkan, aku Nates Qizil Alfathar," ucap pria itu seraya menyentuh dadanya dan membungkuk sopan. "Boleh kami tahu siapa kamu?" dia mengulurkan tangannya pada Chana. Chana memandangi telapak tangan yang besar itu sejenak. Sedikit ragu saat menyambutnya. Tapi pria tadi dengan cepat menangkap jemari tangannya. "Chana," ucap Chana lirih. "Wow! That's a beautiful name. Sama cantiknya dengan pemiliknya,” Lagi, pria itu tersenyum. “Kamu tahu tidak, Chana dalam bahasa Arab artinya anggun, penyayang dan ada pula yang menyebutnya kesayangan." Chanya mengejapkan mata. Ucapan pria itu berhasil membuat wajahnya merona seketika. Ia bahkan tidak tahu arti namanya sendiri. "Senang berkenalan dengan Anda, Miss Chana," Nates tersenyum manis kemudian mengecup punggung tangan Chana sekilas. Ya Ampuun ...! Kenapa dia harus mengecup tanganku ...? Chana melongo. Jantungnya berdetak tak karuan. Sementara itu, Nates mengedipkan mata, memberinya tatapan menggoda. "Ini adikku," ucapnya lagi sambil menunjuk pria paling jangkung dan berotot di antara mereka, "Lioneil." Pria itu mengangguk pada Chana. Wajahnya datar, tak terbaca. Perawakannya paling sangar di antara mereka semua, mungkin karena dia tidak mencukur cambangnya dengan bersih — membuat bayangan bulu-bulu yang baru tumbuh di wajahnya terlihat begitu jelas. Rambutnya juga gondrong dan hanya diikat asal. Namun tetap tidak menutup ketampannya. Hm ... bagaimana mengatakannya. Jantan? Macho? Entahlah. "Dan yang ini," lanjut Nates lagi memperkenalkan Chana pada si kembar identik. "Rayel dan Harzel." Si kembar dengan langkah cepat menghampiri Chana. Menjabat tangannya dengan penuh semangat dan pandangan yang nyata-nyata sangat penasaran. "Hai ..., aku Harzel," ucapnya, mengamati Chana. "Sepertinya kita seumuran. Apa kamu juga 18 tahun? Atau malah 14 tahun?" takarnya. Masa sih ia berusia 14 tahun? Chana sulit untuk tersinggung, ia sendiri juga lupa umurnya berapa. "Apa kamu pacar Kakakku?" tanya kembarannya yang pastinya bernama Rayel. Ia membuka kacamatanya dan memindai Chana dengan tatapan menyelidik. "Kamu terlalu muda untuk jadi pacarnya." Chana mendesah bingung. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Kakak yang mana maksud mereka. Apa jangan-jangan Dokter Alfa? "Yeah, jangan mau dengan pak tua itu. Dia terlalu muram. Masih mending kami berdua," Harzel terkekeh mendorong kembarannya yang ikut terkikik. "Muda, ceria, rupawan, dermawan." "Hey, twins, enough!" Pria pertama yang menyapa Chana menengahi. "Jangan bikin gadis ini bingung. Kalian terlalu balita buatnya. Lebih baik dia dengan pria yang dewasa. Lebih berpengalaman dan mapan." "Siapa bilang. Kamu juga sama tua nya dengan Mase!" kekeh Rayel. Kembarannya ikut terbahak bersamanya. Nates berdecak, mengabaikan si kembar. Matanya menyipit menatap Chana yang kebingungan dengan tingkah aneh mereka semua. "Kamu bisa memilih di antara kami berdua," tukas Nates lagi. Pria itu mengedikkan kepala pada saudaranya Lioneil, yang langsung menggeleng menimpali dengan nada bosan. "Gue nggak ikutan." "Okay, kalau begitu kamu bisa memilih aku saja," pria itu tersenyum lebar. Si kembar mengomel protes. Tapi Natez malah menggenggam tangan Chana. Sebenarnya ada apa dengan mereka semua? Mereka kira Chana bisa di oper-oper begitu saja?! Chana berusaha menarik tangannya, namun pria bernama Nates itu malah semakin memperkuat genggamannya. “Sebagai perkenalan pertama, gimana kalau kita jalan-jalan di sekitar komplek sini? Banyak pemandangan dan tempat-tempat menarik yang bakal bikin kamu senang. Aku punya banyak waktu untuk jadi guide-mu hari ini.” “Loe cari mati, Nates,” desis pria bernama Lioneil memutar bola matanya. Namun Nates mengabaikan saudaranya. Tetap fokus pada Chana. “Aku tahu, pasti sangat membosankan bersama sesepuh tua itu. Dia tidak akan mengajakmu ke mana-mana. Denganku, kita bisa pergi ke mana pun yang kamu mau. Kamu juga bisa dapat apa pun yang kamu mau. Kamu bakal lebih nyaman bersamaku. Aku tidak se-temperamen dia," kekehnya. Hah? Chana baru saja akan menyuarakan protes ketika tangannya ditarik begitu saja keluar dari teras beranda, kalau saja tidak terdengar bentakan kasar dari pintu teras depan. ⠀ "DIA TIDAK AKAN KE MANA-MANA!” Dokter Alfa berdiri menjulang di pintu dengan tatapan membunuh pada mereka semua. Si kembar mengkerut, saling berpandangan dengan wajah cemas. Mundur dan berusaha tidak terlihat di belakang pria yang bernama Lioneil. Lioneil memilih menatap langit-langit teras, tetapi Nates malah tersenyum sumringah. "Hello, my bro, long time no see." "SINGKIRKAN TANGAN LOE DARINYA!" "Whoa …. Galak amat. Gimana kalau gue nggak mau?" tantang Nates. Chana menelan ludah. Sekarang ia berada di antara pria bermata cokelat kemerahan yang sedang mengamuk dan pria bermata kelabu keunguan yang barbar. Dan mereka berdua begitu menyeramkan, seperti para Dracula yang sedang berebut untuk menyedot darahnya. Ingin rasanya Chana menangis di tempat. Dokter Alfa menggeram, bergerak mendekat, menepis tangan Nates dari Chana, kemudian menarik Chana ke belakang tubuhnya. Menamenginya. "Wow ..., what's wrong with you, bro ...?" Nates malah terkekeh geli. Dokter Alfa hanya menatapnya dingin. Suasana semakin terasa mencekam. Hanya Nates yang masih tampak santai dan slengean. "Bastardo! Che cazzo cosa stai facendo, dannazione!!!" Chana gemetar mendengar bentakan Dokter Alfa. Meskipun ia tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Dokter Alfa, tapi dari tekanan suaranya, Chana tahu sang dokter benar-benar murka. Untung saja Chana tidak bisa melihat wajahnya. Kalau tidak ia bisa mimpi buruk! Cuma pria bernama Nates yang sepertinya berani mati menantang Dokter Alfa, sementara yang lainnya lebih memilih bungkam. Namun sepertinya kali ini senyum nakal di wajah Nates telah menghilang, berganti dengan dengusan mengejek. Dia sama seramnya dengan Dokter Alfa, batin Chana cemas. "Jangan bilang gadis mungil ini bakalan jadi iparku," komentar Nates pedas. "Dia tampak bukan tipe mu, Mase. Ini lebih jadi tipeku. Biasanya kamu lebih suka wanita yang molek, tinggi semampai, seksi dan dewasa." Chana berjengit, merasa seakan dia hanyalah batangan korek api di mata pria itu. Apa imagenya memang sejelek itu? Dan apa maksudnya bukan tipe mu, tapi tipe ku? Chana tidak mau jatuh ke tangan Nates! Tubuh Chana terasa menggigil seketika. Dokter Alfa menggenggam jemarinya lebih erat. Entah kenapa, ketakutan Chana seolah menghilang, berganti dengan rasa aman. Chana masih tidak bisa melihat wajah Dokter Alfa, tapi ia bisa mendengar dokter Alfa menggeram marah. "Chiudi la bocca, Nates!" desisnya berbahaya. Wajah Natez mulai tampak memerah. Garis bibirnya menegang. Binar jahil matanya berganti dingin. "Apa loe tahu bahaya apa yang bakal disebabkan wanita ini nantinya ...?" pria itu bicara pelan mengancam. Chana tersentak. Dia tidak salah dengar, ‘kan? Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa dia bisa menyebabkan bahaya? Bahaya apa ...? Dadanya kembali terasa sesak. Chana mencengkeram lengan Dokter Alfa lebih erat. Dokter Alfa berpaling padanya. Berbisik pelan, "Kembali ke kamarmu, Chana." Chana tahu, jika ini situasi biasa, ia pasti akan minta penjelasan lebih dulu. Tapi Dokter Alfa tidak memerintah. Pria itu malah menatapnya seakan memohon pengertian, mempercayakan semuanya padanya. Mata itu berusaha menenangkannya. Baiklah. Chana mengangguk. Perlahan melepaskan lengan Dokter Alfa. Ia memaksakan diri berjalan, meski dengan kaki gemetar. Beranjak ke kamarnya tanpa memandang ke arah gerombolan raksasa itu lagi. Hatinya dipenuhi tanda tanya. Apa maksud perkataan pria tadi?Mungkinkah ini ada kaitannya dengan masa lalu yang telah ia lupakan? Kenapa Dokter Alfa tidak pernah bercerita padanya? Mengapa Chana bisa membuat Dokter Alfa berada dalam bahaya? Ia tidak mau kehadirannya malah merugikan orang yang tulus menolong dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN