“Aku pikir menghindar bisa membuatku berhenti memikirkanmu.
Ternyata semakin jauh jarak,
malah semakin memperumit segalanya.
Mungkin dekat meski saling tak tatap,
saat ini lebih nyaman buat aku dan kamu.
Setidaknya pikiranku tidak perlu berkelana,
mencari di mana kamu berada.”
Daniyal – Cuma Mengintip
⠀
Sudah hampir satu minggu Daniyal tidak bertemu langsung dengan Chana. Ia sengaja menghindari gadis itu. Menghilang selama tiga hari setelah terapi Chana. Kembali ke Big House orang tuanya, lalu meluangkan waktu bermain dengan putrinya.
Sisa hari selanjutnya, Daniyal kembali menginap di apartemennya yang jauh lebih dekat dengan rumah sakit di mana ia bekerja.
Namun, seberapa pun pengalihan yang Daniyal lakukan, ternyata tidak mempan untuk menghapus bayang-bayang Chana. Khususnya siluet gadis itu saat di kolam dan momen hujan-hujanan di mana jemarinya menyentuh kulit polos Chana.
Hah …. She was very hot. Dan desahan yang terlepas di bibir Chana malam itu, terus menggema dalam benak Daniyal. Memenjarakannya dalam lamunan fatalmorgana.
Gosh!
Bagaimana bisa Daniyal jadi semesum ini?
Huff!
Daniyal kira ia sudah impoten sejak kehilangan Kirani. Tetapi ternyata ... 'perangkat perang'-nya masih berfungsi sangat baik. Terlalu bersemangat malah. Woah!
Namun, bisa jadi itu karena Daniyal sudah hidup selibat bertahun-tahun lamanya dan kebetulan ada Chana di dekatnya. Membuat hasratnya tiba-tiba terbangun dan menjadi barbar tanpa bisa ia cegah.
Apa perlu ia mencoba sedikit bermain-main dengan wanita lain? Sekadar untuk melepaskan gairahnya, maybe? Just for One Night Stand (ONS) with someone strange. Wanita dewasa dan seksi, suka sama suka dan tidak terikat lebih jauh. Ia juga bisa pakai pengaman.
But, hell!
Ini bukannya sama seperti gaya hidup Nates yang Daniyal hina dina selama ini?
Itu – sangat – bukan – Daniyal! Bagaimana bisa ia memikirkan hal berbahaya ini? Sembarangan memilih wanita untuk diajak …. Ah, sudahlah! Lagi pula hubungan seperti itu juga sangat beresiko terserang penyakit.
Ck!
Daniyal yakin dirinya sudah gila karena memikirkan ini! Memangnya dia sudah kepepet banget, gitu?
Pikirannya kembali teralih pada si mungil Chana. Daniyal merasa takut berdekatan dengan Chana. Takut sesuatu yang liar dalam dirinya, terbangun kembali. Takut ia akan lepas kendali dan melakukan sesuatu yang nantinya mereka sesali.
Terakhir, sepulang mengantar Chana terapi, Daniyal cukup terkejut dengan perubahan sikap gadis itu. Chana, meminta maaf padanya. Atas segala hal, katanya. Tapi tidak mau mengatakan alasannya kenapa. Gadis itu juga lebih banyak diam saat sampai di mansion. Suasana jadi lebih canggung.
Apa Chana masih marah padanya?
Kalau marah kenapa dia yang minta maaf?
Daniyal benar-benar tidak habis pikir. Apa memang begitu jalan pikiran semua wanita?
Tapi Kirani tidak begitu. Kirani orang yang tenang, terbuka, dan dewasa dalam bersikap. Bersama dengannya membuat Daniyal merasa damai. Tapi dengan Chana, gadis itu juga begitu tenang, tenang yang tidak bisa ditebak. Seakan dia sedang memendam bom yang sewaktu-waktu bisa terbakar sumbunya kemudian meledak!
Apa itu hanya di depan Daniyal?
Saat gadis itu bersama Mbok Sumi, Chana tampak begitu lembut, manis dan ceria seperti peri. Daniyal juga sering melihatnya memeluk Mbok Sumi dengan manja. Raut wajahnya begitu lugu, seperti anak-anak.
Dari mana Daniyal bisa tahu?
CCTV tentunya!
Sebenarnya ini agak tidak wajar, memasang kamera pengawas di di dalam kamar pribadi. Tapi, tidak ada jalan lain. Ia tidak mau Chana kabur dari mansion lagi. Jadi Daniyal mesti tahu setiap pergerakan Chana dan memantau gadis itu meski dari jauh. Hanya untuk memastikan keselamatan Chana tentu saja. Tidak ada maksud lain.
Sebenarnya Daniyal tidak suka mengintip. Cuma terkadang waktu senggangnya di mansion membuatnya bosan. Jadi sepertinya memperhatikan CCTV cukup menarik.
Oke, bohong! Memperhatikan Chana lumayan menarik .... Menarik banget.
Hanya saja, setelah terapi waktu itu, bukan hanya Daniyal yang mencoba menghindari Chana. Chana juga begitu.
Seringkali ketika Daniyal pulang ke mansion, Chana lebih betah mengurung diri di dalam kamar. Makan pun gadis itu akan membawanya sendiri ke dalam kamar. Lalu menyuapnya di lantai. Gadis itu juga membersihkan lantai itu kembali. Seakan berusaha tidak meninggalkan noda setitik pun. Bahkan Chana seperti berusaha tidak menyentuh benda apapun di kamar Kirani.
Chana juga menunda sarapan paginya sampai Daniyal berangkat bekerja. Ketika malam tiba, gadis itu lebih suka tidur di sofa santai kamar. Sofa itu sebenarnya sangat sempit buat Daniyal, tapi untuk Chana, ternyata cukup luas.
Apa sebegitunya kata-kata Daniyal terpatri dalam memori gadis itu?
Daniyal juga pernah memergoki Chana yang tengah bermenung di balkon kamar Kirani. Duduk di ayunan gantung rotan sambil memeluk lututnya. Daniyal melihat wanita itu memandang ke arah depan dengan tatapan kosong. Chana memang tidak menangis. Tapi gadis itu tampak begitu muram. Kadang dia malah tertidur di sana.
Apa dia bosan?
Daniyal sampai menanyai Mbok Sumi, bagaimana perkembangan Chana. Mbok Sumi hanya menyarankan agar Chana diberi kesibukan, sehingga membuatnya tidak sering melamun.
Jadi Daniyal memutuskan meminta Pak Mansur untuk mengangkut kembali beberapa barang yang dibawa Chana dari menara ke dalam kamar. Tapi itu semua sama sekali tidak disentuh oleh Chana. Dilirik pun tidak. Semua peralatan keterampilan itu terabaikan begitu saja di meja kamar.
Lalu bagaimana caranya Daniyal bisa membuat Chana betah tinggal di mansion ini?
Daniyal menarik napas panjang. Ia teringat kembali obrolannya dengan Raoul setelah sepupunya itu menanyai Chana beberapa hal saat menjalani terapi.
***
"You know, Bro," Raoul langsung bicara begitu masuk ke ruangan pribadinya. Ruang kedap suara. "Loe yakin punya bakat merawat pasien khusus seperti Chana?"
Daniyal mengernyit.
"I mean, gue rasa metode mem-bully pasien bukanlah cara cepat untuk membuat dia sembuh," Raoul terkekeh. "Serius loe manggil dia 'Liliput', huh?"
Daniyal melengos. “Dia memang sebesar liliput.”
"Emangnya apa yang terjadi? Kenapa dia jadi Liliput dan loe jadi Buto Ijo, hum?" Raoul merebahkan tubuhnya ke sofa.
"That's kinda private."
Raoul menyipitkan mata.
"Kenapa loe mute suaranya tadi? Gue nggak bisa denger apa pendapat dia tentang gue," tukas Daniyal sedikit kesal. Ia hanya bisa mendengarkan obrolan Raoul dan Chana sampai cewek itu curhat bahwa Daniyal memanggilnya 'Liliput', makan angin dan bla-bla-bla. “Kalian ngobrolin apa?”
Raoul menyeringai. "That's kinda private too."
"Tsk! Ngebales!" Daniyal berdecak.
"Penasaran, huh?" goda Raoul.
Daniyal hanya menggeleng, tidak mau membahas hal itu lagi.
"Jadi, gimana menurut loe perkembangan Chana?" tanya Daniyal mengalihkan topik. "Gue sudah ngisi beberapa lagu dengan beragam bahasa di ponselnya. Aneka game dan gue nggak pernah mengajari Chana gimana cara makai ponsel itu."
"Uhm ... berarti secara naluri, dia nyoba belajar sendiri gimana menggunakan ponsel?"
"Yup."
"Kalau gue pribadi mikir dan loe juga dengar, Chana paham omangan gue waktu gue pakai bahasa Inggris. Itu artinya, sebelum mengalami amnesia, dia sudah punya skill dalam bahasa Inggris. Lebih ringkasnya, dia cerdas dan berpendidikan."
"Huum." Danial mengangguk setuju. "Menurut loe berapa kisaran umur Chana?"
Raoul berpikir sejenak. Mengetuk-ngetuk dagunya. Memperhatikan Chana dari balik dinding kaca ruangan sebelah. Gadis itu tampaknya tertarik dengan timbangan berat badan.
"Uhm … gue pikir, dari cara dia menjawab dan bercerita, kayaknya minimal seumuran si kembar Harzel dan Rayel. Maksimal dua puluh lima tahun, maybe. I’m not sure.
Terus terang wanita asli Asia punya wajah dan perawakan yang lebih muda dibanding umurnya. Jadi gue belum bisa terlalu mastiin. Mungkin pas terapi berikutnya, Let's see then."
"Hum ... gitu."
"Tapi paling nggak, kalau jalan bareng dia, loe masih belum bisa dipanggil 'Sugar Daddy' juga, sih."
"Yeah, syukurlah," ucap Daniyal tanpa pikir panjang. Sejurus kemudian ia tersentak, kemudian melirik Raoul yang tengah tersenyum culas padanya. Ck! "Gue nggak punya maksud apa pun dengan Chana, okay! Gue cuma nolong dia. Just like that!"
Raoul terkekeh. "Sure. I like that so, Bro. Easy ...."
Daniyal menyipitkan mata pada Raoul. Ia tahu Raoul pasti sedang memancingnya.
"Jangan mikir kejauhan, Raoul."
Raoul terdiam, menatap Daniyal yang sok menyibukkan diri membuka file, Chana. Pria itu tidak sadar saja kalau filenya terbalik. Raoul memutar bola matanya. Menggelengkan kepala.
"Kenapa loe nggak coba ... membuka lembaran baru, Mase? Loe nggak mungkin sendiri terus. Buka hati loe."
"Hati gue cuma buat Kirani. Dia satu-satunya wanita yang jadi pendamping hidup gue. Istri gue, one and only," tegas Daniyal dengan wajah muram. “Harus berapa kali gue jelasin sama loe.”
Raoul mendesah lelah.
"Okay, it's up to you, bro. That’s your life. I know.
Tapi … gue cuma ingin mengajak loe berpikir ke depan. Kirana ... butuh sosok seorang Ibu."
Daniyal menyandarkan kepala ke sandaran kursi. Memejamkan mata.
"Gue bisa jadi Ayah sekaligus Bundanya," ucap Daniyal. "Lagian gue nggak butuh cewek yang pura-pura sayang sama anak gue, padahal yang dia mau cuma menundukkan gue lewat Kirana."
Daniyal membuka mata, menatap Raoul intens.
"Loe ngerti maksud gue, 'kan? Gue nggak mau Kirana bertemu ular berbisa lagi."
Raoul menghembuskan napas berat. "Nggak semua cewek kayak gitu, Bro."
"Tapi membedakan mana pembohong dan yang beneran tulus itu sangat sulit.
Itu ibaratnya kalo ngelihat foto cewek di sosmed cantik banget, pas ketemuan ternyata beda jauh. Fotonya ternyata penuh dengan intrik 'percantik'. Nge-prank banget."
Raoul tergelak mendengar perumpamaan Daniyal. Sepertinya Daniyal sudah kapok dengan ide coba-coba yang dulu. Tapi bolehkah dia sedikit menguji Daniyal lagi?
"Well, back to the topic. Chana."
Daniyal kembali memusatkan perhatiannya pada ucapan Raoul.
"Gimana kalau Chana tinggal di apartemen yang nggak seberapa jauh dari mansion gue. Selain keamanan di sana lebih terjaga, Chana juga bisa bersosialisasi dengan orang lain.
Gue juga bisa kenalkan dia ke Selva. Loe tahu, 'kan, dulu Selva sempat ragu, mau jadi dokter anak atau psikiater. Siapa tahu Selva bisa bantu memulihkan ingatan Chana." Raoul memberi jeda ucapannya. "Lagian Chana kelihatannya nggak cocok sama loe."
"Siapa bilang nggak cocok?!" Daniyal nyolot.
Aha! Gotcha!
"Chana akan tetap tinggal sama gue. It is the final decision," tegasnya.
Raoul menyembunyikan seringainya dengan menyeruput moccacino di hadapannya.
"Kalau Chana tinggal di apartment itu, Selva bakal ngenalin dia juga ke Yadine, Elga, Nabel dan teman-temannya yang lain. Bukan hanya itu, krucil gue juga bisa menghibur Chana. Selva juga bisa ngasih laporan perkembangan Chana ke gue. Selain itu, Chana juga nggak bakal kesepian kayak tinggal di mansion loe.
Just think more, dude. Loe nggak bisa selalu ada di mansion buat nemenin dia. Kesibukan kita di RS, belum lagi loe juga harus bagi waktu buat Kirana. Dan gue yakin, selama loe pergi, Chana tinggal sendirian di mansion itu. So sad. Dia bakalan bosan, stres dan bisa aja jadi depresi."
"Nope! Gue bakal bikin dia nyaman tinggal di mansion gue dan dia nggak bakalan ngerasa bosan. Chana nggak akan pindah ke mana-mana. Lagian Neil bilang, Chana belum aman."
"Cuma itu alasannya?"
"Yup!"
"Gimana kalau gue kasih challenge.”
Daniyal memiringkan kepala. Raoul orang yang penuh dengan intrik, hampir sama seperti kakaknya Daimon. Jadi Daniyal harus lebih berhati-hati saat mendengar mereka bicara.
“Kalau sampai terapi awal tahun depan kondisi psikologis Chana menurun, dia stres, bosan, dan lainnya, loe harus mencoba ide yang gue kasih tadi. Deal?"
Daniyal mendesis. "Itu nggak bakalan terjadi.”
Raoul mendengus. "Kalau begitu, berjuanglah untuk membuatnya betah, karena masa depan itu sungguh misteri" ujar Raoul lagi. Lalu ia teringat sesuatu. "By the way, selain Neil, apa Nates dan yang lainnya sudah tahu soal Chana? Ayah, Bunda?"
"Belum ... dan jangan sampai itu terjadi."
***
Netra cokelat kemerahan itu kembali beralih pada layar CCTV.
Hari ini, Chana sedang duduk bersenda gurau dengan Mbok Sumi di teras beranda depan. Dia agaknya tengah berupaya menguncir rambut Mbok Sumi. Daniyal tersenyum.
Mbok Sumi pasti kesulitan menghadapi Chana, tetapi wanita paruh baya itu mengalah, akhirnya membiarkan rambutnya dijajah Chana. Mereka tertawa riang. Daniyal ikut terkekeh menyaksikannya.
Hanya sesaat, lalu tiba-tiba keduanya berhenti tertawa, melihat pada satu titik di luar teras beranda.
Daniyal ikut memfokuskan pandangannya. Memperhatikan layar CCTV lainnya. Siapa yang dilihat kedua wanita itu?
Sial!
Daniyal terperanjat dengan mata melebar!
Bagaimana bisa makhluk-makhluk perusuh itu datang ke mari tanpa mengabarinya lebih dulu?!
Serta merta Daniyal melompat meninggalkan monitor, membanting pintu kamar dengan terburu-buru. Memutari lorong panjang menuju tangga spiral. Melompati beberapa anak tangga dari ruang keluarga serta ruang tamu yang luas. Berlari lebih kencang menuju teras depan.
Jangan sampai mereka bertemu dengan Chana!!!
Dan ....
Too late!
Makhluk-makhluk dari kegelapan itu sudah menemukan Liliput-nya.
Damned!