"Astaga Mikha, bagaimana bisa kamu berpikir aku melakukan itu padamu?"
Wajah Mikha memerah karena marah dan malu sekaligus.
Dominic mengusak pucuk rambut Mikha "Ya, kamu menyerangku, hampir saja aku tak bisa mengendalikan diriku, tapi saat aku ingat kau gadis kecil- ku, mana mungkin aku melakukan itu."
Mikha tertegun "Maksudmu ... adalah kau berbohong?"
"Itu pelajaran untukmu agar tidak mabuk sembarangan lagi, mengerti. Beruntung malam itu aku yang menemukanmu, jika tidak, mungkin kamu benar-benar akan di tiduri orang." Dominic tertawa, sementara wajah Mikha semakin merah padam.
"Sialan!" teriaknya "Kamu tahu, aku tidak bisa tidur karena itu!" Mikha melayangkan pukulan di d**a Dominic "Jahat sekali, kau bahkan menikmati harimu setelah kau membohongi aku."
"b******k! kurang ajar! aku kira aku menjadi jahat." Mikha benar-benar tak bisa lagi membendung amarahnya, beberapa hari ini dia berpikir tentang banyak hal jika itu benar-benar terjadi padanya, dia bahkan berpikir harus bagaimana jika janin tumbuh di rahimnya, atau bahkan dia merasa berdosa sebab melakukannya dengan suami orang.
"Jahat ... jahat ... jahat." pukulan Mikha membabi buta, namun Dominic hanya membiarkannya. Hingga bahu Mikha bergetar hebat, dia menangis.
"Hei ..." Dominic mengerutkan keningnya "Kau baik- baik saja?" Dominic tak menyangka jika Mikha akan sangat terpuruk, padahal hari dimana Dominic berbohong dia tak melihat Mikha menangis.
"Aku kira ... aku sudah benar-benar menjadi jahat ... karena melakukannya dengan suami orang," racaunya dengan sesegukan.
Dominic tertegun, dengan mata yang tak lepas dari Mikha, gadis itu terduduk di lantai dengan sesegukan, namun nampak lega seolah beban di pundaknya begitu terangkat. Apa menurutnya itu sebuah kesalahan yang fatal?
Dominic menghela nafasnya setelah nafas Mikha terlihat lebih tenang "Tapi, Mikha ... sungguh kamu merasakan itu?" Mikha mendongak menatap Dominic dengan wajah kusutnya "Menyukaiku?" lanjutnya.
Mikha membelalakan matanya "Kali ini aku tak berbohong, kamu mengatakan itu saat mabuk."
Dunia Mikha seolah berhenti berputar sekarang, bagaimana bisa dia mengatakan itu pada Dominic "Ti- tidak," kilahnya. "Kau ... kau pasti berbohong lagi."
"Aku tidak berbohong. Kamu bahkan masih menaruhnya sejak kecil, aku pikir itu hanya pemikiran anak kecil yang polos, tapi siapa sangka, kamu benar-benar menyukai aku." Dominic menarik dagu Mikha agar semakin mendongak "Jika ya, aku bisa memberikan pilihan ..." Dominic menjeda ucapannya "Kamu bisa menjadi milikku." Mikha tertegun, tatapannya berubah menjadi gelap, lalu dengan sekuat tenaga menggerakan tangannya untuk menampar Dominic.
Suara tamparan itu begitu nyaring, namun Dominic tak bergeming, seperti saat pertama kali, Mikha bahkan merasakan tangannya sangat sakit.
"Apa yang kamu bicarakan!"
Dominic mengusap pipinya "Kamu tidak dengar?"
"Kamu gila?!" bagaimana bisa dia menyukai pria ini, pria b******k, sialan.
Dominic menyeringai "Beritahu aku jika kamu mau." sekali lagi dia mengusak rambut Mikha lalu pergi dari sana.
Mikha mengepalkan tangannya, menatap kepergian Dominic, dia menyesal pernah menyukainya.
Mikha menyeka air matanya, "b******k!" bahkan meski Mikha sangat menyukainya dia tidak akan sudi menjadi simpanannya. Menjadi miliknya?
Cih!
Mikha kira pria itu benar-benar seperti malaikat saat berkata tidak melakukan apapun padanya, tapi kenapa pria itu kini membuat dirinya menjadi iblis saat menawarkan dirinya menjadi seorang simpanan, tentu saja simpanan, memang sebutan apalagi untuk wanita yang berhubungan dengan pria beristri.
Baru saja dia bernafas lega saat ternyata tak melakukannya dengan Dominic, lalu kini pria itu mengatakan hal mengejutkan.
Mikha memejamkan matanya, tak seharusnya dia berpikir yang macam- macam, jika pria itu bisa berbohong tentang malam itu, bukan tidak mungkin dia juga hanya bercanda, kan?
"Benar." Mikha terkekeh "Dia pasti sedang mengerjaiku lagi." Mikha menghela nafasnya lalu bangkit dengan sisa kekuatannya, bukankah itu artinya dia masih gadis, dan tidak kehilangan kehormatannya?
Itu cukup, persetan dengan si sialan Dominic, dia tidak peduli.
***
Mikha sedang fokus bekerja saat seseorang mengetuk mejanya.
"Ya?"
"Tuan Dom memintamu datang," ucapnya ketus "Sebenarnya apa yang kau bicarakan dengan Tuan Dom di ruang rapat tadi, kau menjadi perbincangan, dan sekarang kau di panggil kesana."
Wajah Mikha memerah, tentu saja bukan karena malu tapi marah karena mengingat apa yang Dominic katakan padanya tadi.
"Tidak ada," kilahnya.
"Dengar, jadi anak magang yang baik, dan jangan macam- macam!" peringatnya lalu pergi meninggalkan Mikha yang hanya bisa mendengus sebal.
"Macam- macam apa," gerutunya. "Sepertinya aku bernafas pun salah," dosisnya kesal. Mikha jadi ingin segera meloncat ke tiga bulan dan pergi dari sana, sejak awal dia masuk sepertinya segalanya sudah buruk.
Mikha berjalan dengan gontai ke ruangan Dominic, sesampainya disana dia mengetuk pintu lalu masuk setelah terdengar seruan dari dalam sana.
"Anda memanggil saya, Tuan," ucapnya sesopan mungkin, Mikha bahkan menundukkan wajahnya sekilas sebelum menatap kembali pada pria tampan di depannya.
Dan saat melakukan itu, lagi- lagi Mikha di buat terpesona dengan wajah tampan dan terlihat panas itu, bagaimana tidak Dominic dengan kacamata bacanya duduk dengan kemeja yang tergulung hingga di bawah siku menampilkan otot lengan yang besar dan nampak kasar, jangan lupakan beberapa kancing atas yang terbuka menunjukkan d**a bidang dengan beberapa bulu halus terlihat.
"Duduklah!" Dominic menyisir rambut yang sudah kusutnya ke belakang, membuat Mikha menelan ludahnya kasar.
"Mikha!" Dominic tersenyum miring saat Mikha hanya diam dan menatap ke arahnya.
Mikha mengerjapkan matanya lalu berjalan dan duduk di depan Dominic "Ada yang bisa aku bantu, Tuan."
"Kau ingat Tuan, Stevan?"
Mikha mengangguk "Tentu saja." minggu lalu mereka melakukan rapat bersama, jadi tidak mungkin dia lupa.
"Besok dia meminta kita untuk pergi ke villanya untuk merayakan pesta aniversary mereka."
Mikha menunjuk dirinya "Kenapa aku?"
"Karena Nyonya Miranda yang menginginkannya."
"Tapi-"
"Kau akan pergi denganku, jadi bersiaplah," ucapnya tanpa bantahan, membuat Mikha hanya bisa pasrah dan mengangguk.
"Tapi bukankah, minggu lalu mereka pergi untuk merayakannya?" Tuan Steven bahkan mengadakan rapat dadakan demi pergi ke Moskow untuk Anniversary mereka.
"Tapi pestanya belum diadakan."
Mikha menghela nafasnya "Baiklah, aku akan merapikan pekerjaanku hari ini."
Dominic mengangguk lalu mengibaskan tangannya agar Mikha hendak segera pergi, pria itu bahkan tak melihat ke arahnya membuat Mikha merasa terusir.
Mikha mencebik lalu pergi.
Dominic mendongak setelah mendengar pintu tertutup, menatap pintu itu dengan datar tanpa ekspresi, matanya di penuhi kabut kemarahan bercampur sebuah ambisi membuat suasana hatinya yang sudah gelap menjadi semakin gelap.
Matanya kini menatap ke luar jendela dimana pemandangan kota New York berada, hingga dering dari ponselnya mengalihkan perhatiannya.
Dominic menatap ke arah layar ponselnya dimana menampilkan nama asistennya.
"Ya?"
"Tuan, istri anda dalam pemindahan ke rumah sakit Ibu kota."
"Pastikan tidak ada satu orangpun yang tahu tentang ini."
"Aku mengerti, Tuan."
Dominic mematikan panggilan tersebut lalu meneguk minuman di depannya dengan sekali tegukan, tatapannya yang terarah ke jendela semakin menajam menunjukkan kemarahan mendalam, lalu dengan sekali remasan dia meremukkan gelas di genggamannya menyisakan darah yang merembes melalui celah pecahan gelas yang masih dia genggam erat.