"Ketika kau memintaku untuk pergi dari kehidupanmu, maka aku akan pergi. Kecuali jika takdir menginginkan lain"
*****
Alleta memenuhi janjinya dengan Edwin hari ini. Mereka pergi ke taman, menghabiskan waktu bermain di ayunan sembari tertawa riang. Jalan-jalan di mall, mengajak Edwin ke area permainan, dan disinilah mereka sekarang, mengisi perut yang sudah meronta-ronta. Edwin memperhatikan porsi makan Alleta yang dianggapnya sedikit. Ya itulah Alleta, porsi makannya memang tidak terlalu banyak, tetapi tubuhnya tidak pernah bisa mengecil. Sepertinya mau makan banyak ataupun sedikit bobot tubuhnya berhenti disitu.
"Kak",saut Edwin.
"Ya?"
"Kenapa kakak makan sedikit sekali?"
"Ini memang porsi kakak, Ed. Sebetulnya kakak tidak terlalu banyak makan, tapi yah.. tubuh kakak berkata lain", jelas Alleta.
"Lalu kenapa kemarin kakak membuang makanan kakak?",Alleta tersenyum tipis.
"Tidak apa-apa. Maafkan kakak ya, kakak sangat menyesal membuang makanan seperti kemarin. Ed jangan mencontoh kelakuan kakak yang kemarin ya?", pinta Alleta.
"Ya, kak. Ed 'kan selalu suka makan, Ed tidak akan membuang makanan", Aletta mengusap rambut Edwin dengan lembut dan mengecup pipi bocah tampan tersebut.
"Kamu benar-benar anak yang manis", Edwin tersenyum senang menatap Alleta.
"Apa kak Edward masih bersikap buruk sama kakak?", senyum diwajah Alleta surut seketika mendengar nama Edward.
"Entahlah, kakak belum bertemu lagi dengan kakakmu. Sepertinya ia juga tidak suka dengan kakak, jadi kakak tidak mau membuat Edward merasa tidak nyaman dengan kehadiran kakak", ungkap Alleta.
"Kak Leta tau tidak?",tanya Edwin
"Apa itu?"
"Kemarin setelah kakak pulang dari rumahku, kak Edward tidak beranjak dari meja makan sampai hampir tengah malam loh kak", Alleta sedikit menganga mendengar penuturan Edwin. Apa maksudnya itu? Pikir Alleta.
"Ehmm.. apa kau tak salah lihat, Ed?"
"Tentu saja tidak, kak. Aku melihat kak Edward termenung. Aku juga tidak tau apa yang kak Ed pikirkan", jelas Edwin.
"Sudah cukup menggosipkan orangnya?", Alleta dan Edwin memekik mendengar suara dari orang yang membuat mereka hanya menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Edward sudah berdiri dibelakang Alleta dan Edwin, sepertinya ia juga mendengar seluruh pembicaraan mereka.
*****
Alleta
Edward tersenyum sinis menatap kami berdua. Ketika Edward membuka mulutnya hendak berbicara
"Mom? Dad?",seru Edwin yang langsung berlari ke arah pasangan paruh baya dibelakang Edward dan melompat memeluk pasangan tersebut.
"Ed, apa kau senang bermain hari ini?",tanya wanita yang Edwin panggil dengan sebutan 'mommy'.
"Tentu, mom. Aku sangat senang hari ini, aku dan kak Leta bersenang-bersenang sejak tadi",seru Edwin.
"Syukurlah, daddy merindukanmu, Ed. Karena itu dad dan mom memaksa kakakmu untuk keluar bersama kita hari ini",ujar pria tampan paruh baya berparas Amerika.
Sedangkan aku masih saling bertatapan dengan Edward yang menatap sinis ke arahku.
"Ehem!"
Mataku beralih ke Daddy-nya Edward yang menatap kami dengan tatapan menggoda.
"Kau pasti Alleta anak dari Felicha",tanya mommy-nya Edward
Aku beranjak dari tempat dudukku dan menampilkan senyum terbaik yang aku punya.
"Ya, tante. Perkenalkan saya Alleta Sylvannya", ucapku seraya menundukan kepalaku sekilas.
"Kau cantik sekali sayang. Aku Elena Mommy-nya Edward dan Edwin",ujar tante Elena seraya menangkup kedua bahuku.
"Dan aku George Arch, the most handsome husband and daddy in the world",ujar George bangga membuatku terkikik geli melihat tante Elena menepuk bahu om George dengan pipi yang merona.
"Dad, apa kita akan pergi bermain?",tanya Edwin, dasar Edwin, pikirannya selalu bermain dan bermain. Membuatku gemas saja.
"Yup! Kita akan pergi ke Bandung hari ini, kid",sontak mata Edwin membesar memancarkan sinar yang tidak bisa tidak membuatku ikut tersenyum melihatnya.
"Horeee!",Seru Edwin ia menatapku dan seketika tatapannya berubah menjadi sedih.
"Ada apa, sayang?",tanya Tante Elena yang menyadari perubahan raut wajah anaknya.
"Sepertinya aku tidak mau ikut mom",ujar Edwin yang mengundang tatapan terkejut dari orang tuanya.
"Kenapa?", tanya Om George
"Aku ingin bersama Kak Alleta saja, kalau aku ikut ke Bandung itu berarti aku tidak akan ketemu kak Leta 'kan. Aku ingin main sama kak Alleta", sontak pasangan paruh baya itu tertawa.
"Oh, kau sungguh menggemaskan, sayang", ucap Tante Elena seraya mencium pipi Edwin sampai menimbulkan bunyi.
"Kau tenang saja, Ed. Kak Alleta akan ikut bersama kita",sambung Om George
"Apa? yang benar saja, dad! Kenapa harus mengajak perempuan ini?!",Seru Edward membuat aku mundur selangkah dari tempatku. Aku takut melihat wajahnya yang tampak marah.
"Ada apa Edward? Mommy rasa tidak ada masalah kalau Alleta ikut bersama kita, dia anak yang baik dan Edwin sangat menyayanginya",protes tante Elena.
"Kalau begitu aku yang tidak akan ikut dengan kalian"
"Edward!",Bentak om George.
"Ayah tidak bisa memaksaku, ini adalah hakku mau ikut atau tidak", aku semakin malu menjadi bahan perdebatan. Edward memang benar, aku bukanlah siapa-siapa di keluarga ini.
"Maaf om, tante, terima kasih atas ajakannya. Tapi saya tidak bisa ikut dengan acara keluarga anda, saya bukan bagian dari keluarga anda dan saya tidak mungkin pergi tanpa izin dari Ibu saya. Lagipula kehadiran saya justru akan mengganggu waktu keluarga anda", selaku. Aku tergugup melihat semua mata tertuju pada diriku. Edward mendengus remeh.
"Kalian dengar sendiri ‘kan, Mom? Dad? Dia saja menyadari bahwa dirinya hanya menjadi benalu di keluarga kita. Kenapa mom dan dad bersikeras mengajaknya?",sinis Edward.
Hatiku mencelos mendengar kalimatnya yang tajam itu, tapi aku harus kuat, aku tak boleh menangis. Sebisa mungkin aku menampilkan senyum didepan mereka.
"Edward, jika kau bersikeras tidak ikut dengan kami maka daddy akan men-skorsing dirimu selama 1 bulan dari perusahaan", ancam Om George pada Edward.
Kulihat Edward membelalakan matanya mendengar ancaman ayahnya yang membuatku ikut merinding.
"Dan kau, Leta. Kau tak perlu khawatir tentang izin dari Ibumu. Sebelum kemari kami sudah mendatangi rumahmu dan meminta izin secara langsung kepada Felicha untuk mengajakmu liburan bersama kami. Dan Ibumu telah menyetujuinya, bahkan ia yang mengepakan baju-bajumu dalam koper dan sudah kami bawa. Perlu kau ingat, kami sudah menganggapmu dan keluargamu bagian dari keluarga ini sejak kejadian beberapa waktu yang lalu. Jadi tak perlu risaukan tentang kata 'pantas' atau 'tidak pantas'. Karena keputusanku dan istriku sudah bulat bahwa kau adalah bagian keluarga kami juga sekarang".
Aku tercenung mendengar kalimat yang terlontar dari Om George. Apa katanya? Aku? Keluarganya? Apa termasuk calon menantu pula? Aish! Apa yang kau pikirkan sih, leta.
"Jadi bagaimana, Lea. kamu akan ikut kan?", tanya tante Elena.
"Jika memang kehadiran saya tidak menganggu dan Ibu sudah memberi izin, saya akan ikut", om George dan tante Elena tersenyum mendengar jawabanku.
"So, let's go kids",seru tante Elena
*****
Dan disinilah mereka saat ini, sebuah villa megah di kawasan bandung yang merupakan lahan pribadi dari pemilik Angkasa Corps. George dan Elena memberi waktu istirahat sampai makan malam untuk bersantai.
Seorang gadis gemuk yang cantik sedang menatap pemandangan danau yang indah dihadapannya melalui balkon kamar yang diberikan untuknya. Ia menatap pemandangan itu dalam diam. Pikirannya melayang entah kemana. Ia ingin menghubungi ibunya, tapi sialnya ponsel Alleta tertinggal di kamarnya. Ia baru menyadari ketika baru sampai di villa.
Huft, semoga ibu menyadari ponselku yang tergeletak di atas ranjang, pikir Alleta.
Ia bersenandung menyanyikan lagu yang akhir-akhir ini menjadi lagu favoritnya.
Baby, to the moon and back
I still love you more than that
When your skies are grey and
Your whole world is shaking
Baby to the moon and back
I love you more than that
-Moon and Back- by Alice K.
"Jadi kau sudah merasa besar kepala, hum?"
Alleta memekik mendengar ucapan yang tak diduga, tubuhnya langsung memutar ke arah sumber suara tersebut.
"Edward?! sejak kapan kau berdiri disitu? bukankah aku sudah mengunci pintu, bagaimana kau bisa di dalam kamarku?", pekik Alleta. Edward tersenyum menatap remeh Alleta
"Sepertinya nona 'besar' yang satu ini sudah lupa darimana asalnya", Alleta mengernyit mendengarnya.
"Apa maksudmu, Edward?"
"Dengar nona 'besar', ini adalah peringatan pertama dan terakhir dariku. Pergilah dari kehidupanku dan keluargaku, kau tidak pantas menginjakan kaki di lingkungan keluarga kami. Aku, Edward Darius Allan berasal dari keluarga terhormat dan tidak akan pernah membiarkan parasit sepertimu hidup dalam keluargaku", Alleta mengerjapkan matanya berkali-kali untuk menghalau airmata yang sudah siap membanjiri wajahnya.
Tenang, Alleta. Tenang. Jangan menangis didepannya. Kau tidak boleh menangis. Kau. Tidak. Boleh. Me- na- ngis! Aku sangat membencimu Edward!, Jerit Alleta dalam pikirannya namun berbeda dengan suara hatinya.
Aku membencimu, tapi aku mencintaimu Ed, lebih dari yang kau tau, ujar suara dalam hati Alleta.
Edward masih menatap Alleta dengan tatapan yang menusuk. "Kau bisu?"
"Hah?"
"Oh, ternyata kau tidak bisu"
"Hah?"
"Kurasa pernyataanku cukup jelas, pergi dari kehidupan keluarga kami",ujar Edward.
"Bukankah kau juga mendengarnya sendiri bahwa om dan tante yang memintaku ikut dengan mereka?", balas Alleta.
"Apakah kau tidak bisa mengerti ucapan orang lain? ternyata selain jelek, kau juga bodoh", desis Edward.
Alleta memejamkan matanya menghela nafas lelah. Kepalanya sedikit pusing dan perutnya mual. Ia merasa tubuhnya tidak sehat sejak pagi, namun lupa melihat tawa Edwin.
"Baiklah, aku akan pergi..."
"Bagus",Edward bergumam seraya tersenyum licik
"Ya, aku akan pergi... kecuali..."
"Kecuali apa? Oh! Kau meminta imbalan? Tentu saja, sebutkan saja berapa nominalnya", potong Edward yang dijawab dengan senyum dan gelengan dari Alleta.
"Bukan, Edward. Aku tak pernah menginginkan uangmu. Aku bisa menghidupi diriku sendiri dengan usahaku sendiri tanpa perlu embel-embel uang darimu"
"Lalu apa yang ingin kau katakan, jangan membuang waktuku!",Alleta tergagap mendengar bentakan Edward
"Kecuali... takdir yang menginginkan kita untuk bertemu lagi setelah aku pergi",ujar Alleta dengan suara pelan. Garis wajah tampan Edward berubah menjadi keras, dan Alleta sedetik lebih lambat menyadari pergerakan Edward yang cepat.
Alleta memekik merasakan tangan kokoh Edward mencengkram lehernya dengan kuat. "Ed.. ward.. a..paa.. yaang.. kau.. laku..kan",ucap Alleta tertatih seraya berusaha melepaskan tangan Edward dari lehernya.
"Aku muak dengan kalimat takdirmu yang menjijikan itu, kau ingin kusebut apa parasit? Huh? Kau adalah jalang yang pura-pura berhati malaikat untuk merusak keluarga kami? Siapa yang menyuruhmu? Aku akan membunuhnya setelah aku membunuhmu dengan tanganku sendiri", bisik Edward tepat dihadapan wajah Alleta.
Air mata yang sudah tertahan sejak tadi keluar dari pelupuk mata Alleta, tidak banyak. Hanya satu tetes air mata yang menyiratkan kesedihan gadis itu.
"Aku tak akan tertipu dengan air mata jalangmu",desis Edward
"Ter..serah.. jika.. kau.. tidak.. per.. caya.. satu.. yang.. harus kau.. tau.. adalah.. a..ku.. me--- nyukai.. mu.. Ed..",desis Alleta dengan sisa tenaga oksigen yang ia miliki. Edward melepas cengkraman di leher Alleta dan berpindah dengan menjambak rambut panjang Alleta dan menahannya dengan kencang.
"Kya!",pekik Alleta
"Katakan sekali lagi",desisnya.
Sejujurnya Alleta sangat ketakutan menatap Edward, tapi ia sudah setengah jalan. Ia tak boleh menyerah
"Aku hanya ingin kau tau bahwa aku menyukaimu, Edward Darius Allan, Aah!!!",Alleta memekik saat Edward mendorongnya hingga ia terjerembap ke lantai.
Edward berlutut dan mencengkram wajah Alleta dengan satu tangannya "Ahh! Sakit Edward!",seru Alleta
"Pergi dari hadapanku! aku lebih baik menjadi lajang seumur hidup bila harus terjebak dengan wanita gemuk dan menjijikan sepertimu!", bentak Edward dan langsung berlalu pergi meninggalkan Alleta.
Gadis itu menatap pintu dengan tatapan kosongnya, airmata sudah membanjiri wajahnya sejak Edward menutup pintu kamarnya dari luar. Bukan nangis tersedu-sedu. Melainkan, tangisan dalam diam yang melambangkan seseorang sedang menahan sakit yang luar biasa di dalam hatinya. Tubuhnya gemetar akibat ketakutan.
"Seburuk itukah aku?", bisik Alleta ditengah tangisannya.
Satu lagi luka yang telah Edward torehkan untuk Alleta. Kejam. Satu kata itulah yang bisa melambangkan perlakuannya terhadap Alleta tadi. Kondisi Alleta sangat memprihatinkan, rambutnya yang berantakan, airmata sudah membasahi seluruh wajahnya sampai baju yang ia gunakan. Hanya satu yang diminta Alleta dalam hatinya. Just a little bit of his heart.
*****