2. US

2236 Kata
"Apa kau percaya takdir? Jika ya, maka percayalah kau adalah jodohku" ***** Alleta Setelah mendapat izin dari Ibu, aku dan Edwin pergi menuju taman bermain seperti yang Edwin inginkan. Tentu saja aku izin terlebih dahulu, aku tidak mau membuat semua orang khawatir karena kami bermain tanpa izin. Aku dan Edwin bercanda dengan riang seharian ini. Rasanya sudah lama aku tidak bermain ke tempat-tempat seperti ini. Edwin benar-benar anak yang manis. Tidak ada kata ‘anak nakal’ pada Edwin. Rasanya aku sangat ingin mengajaknya untuk tinggal bersamaku. Seperti saat ini, kami sedang duduk sambil makan es krim di area taman bermain. Aku tertawa melihat pipi Edwin yang penuh dengan es krim coklat. Aku mengelapnya dengan tissue, wajahnya sangat tampan ditambah dengan rambut coklatnya yang berantakan dan sedikit berpeluh akibat seharian berlarian denganku. "Kak Leta, hari ini aku senaaaang sekali",aku tergelak sambil mengacak rambut Edwin dengan gemas. "Kakak juga senaaang sekali bisa bermain denganmu hari ini, Ed". "Seandainya aku bisa setiap hari bermain dengan kakak", ujarnya sedih. Aku tersentuh mendengarnya, kenapa ia harus menerima perlakuan seburuk itu dari Edward? Lalu kemana teman sepermainannya? "Kalau boleh tau apa kau tidak punya teman di sekolah?". Ia mengangguk. "Aku punya beberapa teman, tapi mereka juga sibuk. Setiap pulang sekolah mereka langsung dijemput oleh pengawal mereka masing-masing dan tidak ada waktu untuk bermain". Pantas saja, lingkungan anak konglomerat ternyata. "Hum... tapi Ed tak boleh bersedih ya, kakak bersedia jadi temanmu kalau kamu mau" "Benarkah?", tanyanya berbinar. "Tentu. Kamu bisa mengajak kakak bermain kapan saja", Edwin langsung menghambur ke pelukanku yang aku terima dengan senang hati. "Setelah ini kamu masih ingin bermain atau pulang?",tanyaku. "Hmm... aku ingin bermain komedi putar kak". "Tidak ada main lagi, pulang Ed!", kami terlonjak mendengar suara dingin dari arah belakangku. Edward?! Kenapa dia bisa ada disini ? Inikan masih jam 4 sore? Apakah sekarang sudah jam pulang kantor? Eh, tapikan dia yang punya, sebebasnya dialah hahaha "Tapi kak, aku masih ingin bermain komedi putar", rengek Edwin. "Tidak Ed, cukup! Kau sudah puas bermain seharian ini. Sekarang juga, kau ikut kakak pulang!",bentak Edward. "Hei, kasar sekali ucapanmu kepada adik sendiri. Tidak bisakah kau bersikap lebih baik?",geramku. "Aku tak butuh izinmu untuk bersikap", gumamnya. "Setidaknya bersikap lebih baik apabila kau ingin dihormati oleh orang lain, Edward",balasku. Matanya memicing menatapku "kau pikir siapa dirimu berani memanggil namaku seperti itu?" Aku berdiri menegakan tubuhku, "kenapa? apakah salah? aaat ini kita sedang diluar, dan tidak ada yang bisa menekanku untuk memanggilmu dengan sebutan 'tuan' bukan?" Aku tersenyum menatapnya yang terlihat marah. "Ayo pulang Edwin, sekarang!",bentak Edward dan menarik paksa Edwin. "Kak, tunggu. Tadi mommy dan daddy bilang kepadaku untuk mengajak kak Leta ke rumah", sontak langkah Edward terhenti dan berpaling menatapku dengan sinis yang kusambut dengan senyuman. Ia kembali menatap Edwin. "Apa kau tidak berbohong?",tanyanya curiga. "Tentu! Aku tak suka berbohong, kak",jawab Edwin. Kudengar Edward menghela nafas seperti orang yang jengah akan kehadiranku, hatiku serasa dicubit melihatnya. "Baiklah, kau ikut kami",gumamnya dingin. ***** Edward Dering ponselku mengusik perjalanan kami, tertera nama Daddy di display ponsel. "Yes, dad. Hallo" "Edward, apa Ed dan Alleta bersamamu?" Aku melirik dua orang berbeda umur tertidur saling berpelukan dibangku belakang mobilku. "Ya, dad. Kenapa daddy mengundang perempuan gemuk itu ke rumah? Bisa-bisa seluruh hidangan habis olehnya". "Hentikan ucapanmu, Edward. Apa kau tidak tau siapa dia?",aku memutar bola mataku "Yayaya I know, the daughter of the woman who safed Edwin (Ya ya ya aku tau, anak dari wanita yang telah menyelamatkan Edwin)". "Jika kau sudah tau, harusnya kau bersikap baik kepadanya, Ed" "Aku tak akan bersikap baik kepadanya, untuk apa memelihara parasit di kehidupan kita yang sudah sempurna ini, Dad? Apalagi tubuhnya, lihatlah Dad. Tubuhnya sangat gemuk dan menjijikan!" "Cukup Edward! Dad tak pernah mengajarkanmu untuk menghina fisik orang lain, apalagi dia itu seorang gadis Edward. Ya Tuhan sadarlah nak" "Memang kenyataannya seperti itu kan dad? Aku harap ini yang terakhir aku bisa bertemu dengannya" Daddy tergelak disebrang sana. Aku mengerutkan dahiku. "Apanya yang lucu, Dad?" "Sorry, son. Tapi sepertinya takdir berkata lain. Alleta mungkin akan datang hampir setiap hari untuk menemani Edwin bermain, Edwin sangat menyayangi gadis itu. Para bodyguard Ed mengatakan bahwa adikmu sangat senang bermain dengan Alleta". "What?! please, Dad. I beg you (Apa?! kumohon Dad)". "No, son. Kuharap kau bisa lebih bersikap baik pada Alleta, dia bagian dari keluarga kita sekarang. Aku dan mommy-mu sangat menginginkan anak perempuan sejak dulu, tapi Tuhan berkehendak lain. Kami sangat menyayangi kalian, kami tak pernah menyesal memiliki kalian. Tapi bahagia kami akan bertambah dengan hadirnya Alleta yang bisa menjadi kakak sambung bagi Edwin atau bahkan bisa menjadi menantuku kelak",ujar Dad. Hatiku yang menghangat mendengar ucapan daddy langsung hilang ketika perempuan menjijikan itu disebut menjadi menantunya kelak. Siapa yang Dad maksud menikah dengan gadis jelek itu. Tak mungkin Edwin. Aku? Cih! Lebih baik aku tidak menikah apabila harus bersanding dengan wanita seperti itu, menjijikan! “You’re dreaming, Dad (Kau mimpi, Dad)", kesalku. “Whatever (Terserah), Dan.. boleh daddy memberimu nasihat?" "Apa itu dad?" "Hati-hati atas karma, apabila kau terlalu membencinya seperti itu. Bisa-bisa kau berbalik jatuh cinta setengah mati kepadanya. Benci dan cinta itu sangat tipis dan hampir tidak terlihat Ed", sontak perutku bergejolak muak mendengar kalimat yang Daddy ucapkan. "Jangan bercanda dad, aku tak akan pernah menyukai wanita tambun seperti dia!" Segera kuputuskan panggilan daddy. Huh! Apanya yang jatuh cinta? Menjijikan! Kulirik gadis gemuk dibelakangku, huh, menggelikan, Dad! Saat perjalanan kami hampir sampai, terdengar deringan lagi dari ponselku. Mommy. Ada apa lagi, pikirku "Yes, Mom" "Dimana posisimu sekarang, Ed?" "Sebentar lagi sampai, Mom. Ada apa?" "Begini, barusan ada panggilan mendadak yang mengharuskan Mommy mengantar Daddy ke Kota Makassar. Ada meeting penting yang harus daddy hadiri. Kau tau Daddy tak bisa pergi tanpa Mommy". "Lalu aku harus bagaimana, mom? Bukankah mommy mengundang gadis tambun itu?". "Edward, jaga bicaramu nak. Jangan pernah menyakiti hati wanita, karena kau yang akan tersiksa nantinya", ujar Mommy. "Yayaya mom, daddy sudah menasihatiku panjang lebar tadi, dan sekarang mommy juga menceramahiku. Sebetulnya apa yang ingin mommy sampaikan?" "Seluruh asisten rumah tangga dan koki kami liburkan sejak tadi pagi, mereka sedang tamasya ke Bandung. dan mommy belum sempat memasak hidangan makan malam, jadi ketika sampai kalian pesan makanan dari restoran langganan saja ya, kalau Edwin tidak mau turuti saja apa yang diinginkan olehnya. Dan jangan lupa ajak serta Alleta" Huft! Merepotkan sekali sih! Kenapa harus meliburkan para pelayan itu dihari yang sama! "Oke, mom. Anything else? (Oke, Mom. Ada lagi?)" "Nope, have fun honey! (Tidak, selamat bersenang-senang!) mom dan dad sedang perjalanan menuju bandara. See you!" Kami sampai dan benar saja, tidak ada satu orangpun terlihat di rumahku. Aku menengok Edwin dan gadis tambun itu, emosiku tersulut seketika melihat Edwin tertidur pulas dipelukan gadis tambun jelek itu, menjijikan. Seperti seonggok daging yang tergeletak tak berguna. Kugebrak kursi disebelahku dengan kencang. "Bangun! Kalian pikir mobilku hotel!" Alleta dan Edwin terlonjak kaget dari tidur mereka. Wajah gadis itu menyedihkan sekali, mata berair dan rambut berantakan, mengerikan! "Kalian, turun" Gadis tambun itu keluar seraya menggendong Edwin yang tertidur lagi. Aku mengikuti mereka turun dan membuka pintu rumahku. Gadis itu menatapku bingung. "Mom dan dad mendadak pergi dinas, dan para pelayan diliburkan sejak pagi kalau itu yang ingin kau tanyakan dalam kepala gemukmu", gadis jelek itu mengangguk paham. "Kalau begitu aku pulang saja" "Tidak", aku merutuki diriku yang entah kenapa mulutku otomatis menjawab kata tersebut, dan sekarang wajah gadis itu sedikit merona. Sial, pergi saja kau makhluk jelek! "Kenapa?", tanyanya. "Tidak perlu besar kepala, mom yang memintaku untuk mengajakmu makan dan aku tidak mau setan kecil dalam gendonganmu mengadu kepada orangtuaku", jawabku kesal. Ia tersenyum, cih! Dia pikir senyumnya itu menawan. Sama sekali tidak. “Dia juga anak dan adik dari setan kalau begitu”, apa katanya?! "Kak leta?" Edwin terbangun tiba-tiba di gendongan gadis itu. "Kau sudah bangun, Ed?" "Hmm, aku lapar" "Kau ingin makan apa, Ed? biar kakak pesan",tanyaku. Edwin menggeleng. Apalagi yang diinginkan anak ini sih. "Aku ingin makan masakannya kak Alleta, kakak mau kan memasakan makan malam untuk kami?" "Apa maksud..." "Tentu! Ayo, Ed antar aku ke dapur rumahmu", gadis itu dengan seenaknya memotong ucapanku! Sialan! Kutarik lengannya, ia mengaduh kesakitan. "Apa yang kau lakukan?", pekiknya kesakitan. "Jangan seenaknya berlaku di rumahku, nona. Atau kau akan menyesal" Ia mengernyit menatapku, dan wajahnya berubah menjadi datar seketika. "Apanya yang seenaknya, Edward? Aku hanya ingin memasak untuk makan malam kalian? Apa aku salah?" "Aku tak percaya kau bisa memasak!" Ia tergelak "aku punya usaha catering, kalau kau lupa" "Bukan kau, tapi ibumu" Tiba-tiba Edwin tertawa "Kalian lucu sekali, seperti anak kecil saja! Sudahlah kak Edward, aku ingin makan masakan kak Alleta. Kalau kakak mengusir kak Alleta akan ku adukan ke mommy dan daddy. Ayo kak, kita ke dapur!" Yang benar saja! yang anak kecil ‘kan dia! aku melihat mereka masuk dengan riang ke arah dapur. Sial! Sial! Sial! Ada apa denganku?! aku mendengar suara cekikikan dari arah dapur, membuat gangguan telinga saja. Sudahlah, aku lelah. Aku ingin istirahat di kamarku saja. Meredam emosi dengan cara mandi dan melemparkan diri ke atas ranjang. ***** Kini tubuhku sudah terasa segar setelah mandi dan menikmati ranjang kesayanganku. Sepertinya aku ingin tidur sebentar. Tak berselang lama, tercium aroma lezat memporak-porandakan perutku dan membuat kedua mataku terbuka secara otomatis. Dia benar bisa memasak? Egoku kalah dengan rasa lapar yang menerjang. Aku berjalan menuruni tangga dan menuju ruang makan. Ia sedang menata meja makan, rambutnya diikat asal, apron yang biasa digunakan oleh mommy melekat ditubuhnya, ternyata dia memiliki alis yang tebal dan bibir yang.... menjijikan! Aku benci gadis tambun ini. Mata kami bertemu, ia tersenyum menatapku. Cih! "Kau datang disaat yang tepat, makanan sudah siap, aku akan membangunkan Edwin terlebih dahulu" Sepeninggal gadis itu aku menghampiri meja makan dan melihat beberapa masakan yang sudah ia masak, porsinya terbatas untuk kami masing-masing. Apa ini? Sup tomat, ayam panggang, dan nasi hangat. Kudengar langkah kecil datang dari belakangku, kulihat wajah Edwin sudah berbinar menatap hidangan dihadapannya dan mulai menyantap makanan itu dengan lahap. “Lezat sekali kak Alleta! kakak harus sering-sering memasak untukku ya” Tau apa anak sekecil itu tentang makanan, dia pasti hanya mengarang. Aku mulai menyendokan sup tomat dengan bola daging itu, dan rasanya... sial! Ini sangat lezat! Aku menyuap ayam panggang yang terlihat menggiurkan ini, oh tidak, ini sangat memanjakan lidahku! ***** Tanpa Edward sadari, Alleta tersenyum menatapnya yang makan dengan lahap. Terbukti dari piring Edward yang sudah bersih lebih dulu sedangkan makanannya masih cukup utuh, ia baru menyendok sup tomatnya beberapa kali. Kebiasaan yang selalu gadis itu rasakan adalah rasa kenyang yang muncul setelah memasak, sehingga ia makan dengan sangat perlahan karena tidak terlalu bernafsu makan. "Apa kau masih lapar?", tanya Alleta lembut. "Tidak", gumam Edward. "Kelihatannya kau masih lapar, ini makan saja punyaku. Nasi dan ayam panggangnya belum tersentuh sama sekali", ujar Alleta seraya menggiring piringnya ke arah Edward. Brak! Alleta dan Edwin terperanjat saat Edward menggebrak meja makan tersebut. "Jangan bercanda! Aku tak sudi makan bekasmu! Kau pikir siapa dirimu sampai-sampai aku sudi memakan makanan bekasmu. Sangat menjijikan!",Bentak Edward dengan sangat keras membuat Alleta dan Edwin tersentak. Wajah Alleta terlihat berubah kaku, perlahan ia bangkit dari kursinya, membawa piring dan mangkuk supnya, dan membuang seluruhnya ke dalam tempat sampah. Dan hal tersebut tidak terlepas dari penglihatan Edward yang tercenung menatap makanan yang sudah tergeletak di dalam tempat sampah. Alleta tersenyum tipis menatapnya. Ia merasa jijik akan dirinya sendiri setelah mendengar ucapan Edward. "Aku pulang dulu. Terima kasih atas undangan makan malamnya", ucap Alleta pelan. "Kak Alleta, besok lusa kakak mau kan menemaniku bermain?", tanya Edwin dengan harap. Senyum Alleta kembali mengembang tulus. "Tentu saja, kamu sudah punya nomor ponsel kakak ‘kan? Tinggal hubungi saja kakak dan wiiing... kakak akan langsung melesat ke tempatmu", Edwin bersorak dan tertawa senang mendengar jawaban Alleta. "Oh ya dan juga masakan kakak sangaaaaat lezat! Aku sangat menyukainya, kapan-kapan boleh aku meminta kakak memasak lagi",Alleta mengusap kepala Edwin dan mengecup puncak kepala Edwin. "Dengan senang hati, pangeran Edwin. Kalau gitu kakak pulang dulu ya, sampai ketemu lagi Ed" "Aku pamit, Edward", pamitnya pada Edward. Kemanakah Edward? Masih tercenung menatap gadis dihadapannya, sepertinya ia masih tercenung melihat sikap ekstrim yang ditunjukan oleh Alleta. "Kak Alleta!",seru Edwin "Ya, Ed?", saut Alleta. "Kenapa tidak meminta kak Edward untuk mengantar saja?", mendengar pertanyaan itu Edward tergugup ditempat duduknya. Alleta kembali tersenyum "Tidak perlu, Ed. Kakak sudah memesan taksi online dan sudah datang" Ucap Alleta yang kemudian berjalan meninggalkan kakak beradik itu. Pergi secepat mungkin agar bisa menangis sesegera mungkin karena tenggorokanya sudah sakit menahan airmata sejak Edward membentaknya. ***** Alleta Waktu menunjukan pukul 22.30 malam. Aku sudah sampai di kamarku, air mata lolos begitu saja. Ibu dan kak Mike sudah tidur saat aku tiba. Sebuah keberuntungan untukku hingga mereka tidak melihat wajahku yang sudah menahan tangis sejak tadi. Aku merasa menjadi orang yang menjijikan mendengar ucapan Edward tadi. Ini bukan mauku! Aku tak meminta memiliki tubuh seperti ini! Kenapa semua orang hanya menilai dari fisik ? Tak bisakah mereka menilai hati seseorang? Entahlah, tapi aku tetap menyukainya. Sepertinya hatiku telah terambil olehnya, mau membencipun aku tak bisa. Aku memang bodoh! ***** Yang tidak diketahui Alleta adalah Edward yang terus mengingat kejadian dirinya membuang makanan karena perkataan pria tersebut. Edward tidak tau rasa apa yang berkecamuk di hati dan pikirannya. Yang Edward tau, kejadian itu terus berputar dalam ingatannya. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN