"Momen ini tak akan pernah kuhilangkan sampai kapanpun. Saat kau merengkuhku dengan erat. Sangat erat"
*****
Alleta terbangun dengan kondisi yang tidak nyaman. Rasanya setiap bagian tubuhnya terasa linu. Dalam hati Alleta menamainya dengan sebutan 'Edward Effect'. Tubuhnya sangat berat untuk digerakan, kepalanya pusing dan mual diperutnya juga tak kunjung hilang.
*****
Alleta
Kulirik jam di dinding kamar yang kutempati di villa ini. Pukul 04.30. Ini adalah rekor terbaruku, biasanya paling pagi aku bangun pukul 5.00 itupun dengan gedoran pintu dari ibu. Tapi tubuhku terasa semakin tidak enak, kepalaku sangat pusing dan mual tak juga hilang dari kemarin, sepertinya aku harus bangun dan mandi.
"Ouch!", pekikku merasakan nyeri yang luar biasa dari perutku yang terkena tendangan Edward semalam, kondisinya memar, sedikit bengkak, dan terasa panas di area yang bengkak.
Benar-benar Edward Effect, pikirku.
"Lebih baik aku segera mandi dan menyiapkan sarapan untuk mereka",gumamku.
*****
"Selamat pagi"
Alleta memekik mendengar suara sapaan di belakangnya. Sontak Elena tergelak melihat tingkah Alleta yang dianggapnya lucu.
"Tante mengagetkanku saja, selamat pagi",jawab Alleta seraya menepuk dadanya.
"Kau ini lucu sekali All. Anyway, kau memasak sarapan untuk kita semua?", Alleta tersenyum lalu mengangguk.
"Ya, hanya saja aku tidak tau menu kesukaan tante dan keluarga. Jadi aku membuat nasi goreng seafood dan sandwich"
"Wah, kau tau? Nasi goreng seafood adalah makanan kesukaan Edward dan sandwich adalah menu kesukaan Edwin untuk sarapan",ujar Elena menatap Alleta dengan pandangan tak percaya.
"Syukurlah kalau begitu. Hmm, tapi aku tidak tau kesukaan tante dan om. Apa yang kalian sukai?",tanya Alleta
"Kami? Aku dan suamiku menyukai segala jenis masakan. Jadi kau tak perlu khawatir saat menjadi menantuku kelak", sontak wajah Alleta merona mendengar jawaban Elena.
"Siapa yang menantu, sayang?",saut George yang sudah muncul entah dari mana seraya memeluk Elena dari belakang. Melihat kemesraan pasangan paruh baya di depannya membuat hati Alleta menghangat, ia juga ingin kelak suaminya menyayanginya dengan begitu dalam.
"Ssst! Obrolan wanita, sayang",goda Elena.
Edward dan Edwin menyusul kedatangan George dan kini sudah duduk di meja makan. Edward menatap Alleta sejenak dan beralih ke nasi goreng seafood kesukaannya. Dengan gerakan lincah ia menyendokan beberapa centong nasi ke piringnya. Alleta melirik tangan pria itu, perbannya masih tertata rapi.
"Edward",panggil Alleta. Pria itu menjawab panggilan Alleta dengan tatapan dinginnya.
"Setelah ini perbanmu harus diganti dan lebih baik meminum obat penahan rasa sakit lagi agar kau tidak merasa tersiksa dengan sakitnya",jelas Alleta.
"Kau paham tentang cara mengobati luka ya, All?",tanya George memotong ketika Edward hendak menjawab ucapan Alleta.
Sorry, Alleta. Aku tudak ingin kau mendengar jawaban menyakitkan dari anakku,batin George.
"Ya, om. Semuanya kudapatkan dari nenek yang dulunya adalah seorang dokter"
"Wah, kau cucu seorang dokter?",tanya Elena yang dijawab dengan anggukan Alleta.
"Wow! Sandwich ini sangat lezat mom!",seru Edwin membuat perhatian seluruh orang teralihkan.
"Tentu saja, dan yang membuat semua sarapan ini adalah kak Alleta-mu tersayang",jawab Elena. Gerakan tangan Edward terhenti di depan mulutnya, ia menatap nasi goreng yang sangat lezat itu. Makanan favoritnya ditambah cita rasa yang lezat membuatnya bingung akan melanjutkan sarapannya atau tidak.
Ia akan besar kepala jika aku tetap memakannya, pikir Edward. Ia meletakan sendoknya, pria itu masih menuruti egonya.
"Aku sudah selesai", gumam Edward. Hati Alleta mencelos mendengarnya.
"Oh ya! Pukul 9 nanti kita berangkat menuju beberapa tempat wisata, bersiaplah"
*****
Edward
Aku menatap halaman villa dari balik jendela ruang baca. Nyeri lukaku sudah tidak terasa setelah gadis tambun itu memberi obat penghilang rasa sakit setelah sarapan. Aku sangat benci melihat hidangan yang ia buat. Kuakui memang masakannya lezat, tapi kelezatan itu sirna membayangkan gadis berlemak itu berdiri di depan kompor seraya mengolah makanan. Rasanya membuatku mual. Cih! Kulihat tanganku yang terbalut perban dengan rapi. Yah, setidaknya si gemuk itu punya sedikit keahlian.
Flashback on
Tok.. Tok.. Tok..
Aku menatap dengan datar gadis yang mengetuk pintu kamarku. Ia balas menatapku dengan pandangan tidak terbaca.
"Perbanmu harus diganti, ikut aku ke sofa disitu",pintanya dengan nada dingin yang membuat sesuatu di dalam hatiku tergelitik. Entah apa yang terjadi padaku sejak semalam, aku selalu mengikuti perkataan gadis jelek ini dan membuat emosiku naik.
Aku duduk di sofa tempat ia meletakan kotak P3K, mataku mengekori gerakannya. Ia berlutut dihadapanku, menarik tanganku yang terluka dan membuka perbannya dengan lembut.
Baru kali ini aku memperhatikan wajahnya dengan seksama, kulitnya bersih tanpa bedak, alisnya memang tebal alami, hidungnya cukup mancung, bulu matanya hitam dan cukup lentik. Bibirnya mungil cenderung bulat namun terlihat penuh dan... sepertinya sangat kenyal. Bodoh, apa yang kau pikirkan Ed!
Aku memperhatikan lebam wajahnya, sudah sedikit memudar.
Aku menarik tanganku ketika menyadari ia akan memberikan cairan yang membuatku tak sengaja menendang perutnya kemarin. Ia terlihat menahan tawa dan menatap ke arahku sehingga lehernya yang terdapat bekas tanganku terlihat. Sudah pudar dan hampir tak terlihat, tapi aku merasa masih dapat melihat dengan jelas jejak tanganku tercetak disana. Sesuatu kembali menggelitik dari dalam diriku.
"Aku akan pelan-pelan", ujar suaranya yang sangat lembut membuat tengkukku meremang dibuatnya. Ia menarik tanganku lagi dan menggenggamnya erat, perlahan ia menyentuhkan kapas berisi cairan sialan itu disertai dengan tiupan lembut yang keluar dari bibirnya. Tak terasa aku menggeram memejamkan mata merasakan sensasi perih dan sentuhan lembut dari nafasnya.
"Sudah", ucapnya. Aku membuka mataku melihat ia sedang mengolesi obat merah, menutupnya dengan kapas dan membalut tanganku dengan kain kasa yang baru. Tanpa berkata apapun ia membereskan kotak P3K dan berlalu meninggalkanku.
Flashback off
"Kau sedang memikirkan apa, Ed?", tanya daddy membuyarkan lamunanku.
"Kau mengagetkanku saja, dad. Aku tidak memikirkan apapun"
"Oh ya?", pandangan daddy beralih ke perban di tanganku.
"Bagaimana lukamu?"
"Sudah membaik"
"Sepertinya perbannya baru", aku memandang daddy curiga.
"Apa yang ingin daddy tanyakan sebetulnya?", ia tergelak.
"Kau itu lucu, son. Kau memakinya habis-habisan tapi ia tak gentar. Sedangkan kau hanya sekali dibentak olehnya langsung tak berkutik"
"Aku tidak seperti yang kau pikirkan, dad", elakku.
"Oh ya? Lalu kenapa kau hanya diam dan menuruti perintahnya begitu saja? Bahkan dad bisa melihat tatapan terkejut darimu", aku diam. Tak tau harus menjawab apa. Akupun tak mengerti kenapa aku hanya diam saja kemarin.
"Sekarang kau panggil Alleta, kita berangkat sekarang", perintah dad
"Tidak ma..."
"Harus mau!", tegas dad yang benar-benar tak bisa kubantah. Dengan menghela nafas kesal aku beranjak ke lantai atas tempat kamar gadis 'besar' itu. Pintunya tidak tertutup rapat, rasa ingin tauku muncul. aku mendorongnya pelan agar tidak terdengar olehnya. Mataku membelalak melihat pemandangan yang... DAMN!
*****
Ketika Edward membuka pintu kamar Alleta diam-diam, ia justru menemukan pemandangan yang membuat gairah prianya bangkit.
Alleta hanya menggunakan pakaian dalam berwarna putih s**u, punggung putih mulusnya tertutup rambut panjang bergelombang coklatnya yang sebatas punggung. Ia membungkuk memakai celana denim panjangnya, memasukan kakinya satu persatu dan sedikit merenggangkan bokongnya kebelakang untuk mengepas celananya. Sungguh pemandangan yang hampir membuat Edward mimisan. Ia mengambil blouse berbahan ringan dan memakainya dan mengibaskan rambutnya yang terjebak di dalam bajunya.
Ergh!, umpat Edward dalam hati yang matanya menyalang melihat adegan didepannya.
Setelah Alleta memakai cardigan polosnya berwarna navy, ia membalikan tubuhnya dan memekik mendapati Edward yang berdiri di ambang pintu tengah menatapnya tajam. Sontak wajahnya memerah membayangkan Edward melihat tubuh berlemaknya sebelum berpakaian tadi.
"Apa yang kau lakukan?! Sejak kapan kau... Oh tidak", seru Alleta.
"Dad menyuruhku memanggilmu untuk berangkat", gumam Edward serak dan sedetik kemudian pergi dari hadapan Alleta. Ya Tuhan, bagaimana ini? Pikir Alleta.
*****
Alleta bersenang-senang dengan Edwin hari ini, ia berusaha melupakan kejadian memalukan tadi. Memang tubuhku adanya begini, mau bagamana lagi, pikir Alleta. Edwin benar-benar menempel dengan Alleta, ia mengajak Alleta berlarian kesana kemari tanpa henti. Meminta gendong dan memeluk Alleta dengan sayang. Seakan tak mau terlepas, Edwin memilih duduk disamping Alleta saat ini, di sebuah restoran keluarga di tempat wisata taman bunga daerah Bandung yang ramai oleh orang-orang berlibur. Alleta menentuh kepalanya yang terasa sangat berdentum sejak kemarin, ia menguatkan dirinya untuk tidak sakit, besok ia pulang dan bisa beristirahat di rumahnya. Kampusnya pun sedang libur, ia berencana akan minta izin pada Felicha untuk berisirahat.
"Kak Alleta kenapa?", tanya Edwin.
"Tidak, Edwin. Kakak tidak apa-apa kok",jawab Alleta.
Diam-diam George memerhatikan anak pertamanya yang bersikap aneh seharian ini. Edward hanya diam tak banyak bicara sejak pagi, ia tak tahu bahwa di benak anakanya masih teringat jelas langkah demi langkah Alleta memakai pakaiannya, dan itu sangat mengganggu suasana hati seorang Edward.
"Ahh! Panas!", jerit Alleta membuat orang-orang disekitarnya menoleh kearahnya. Edward terperangah menatap Alleta yang tengah mengipasi tubuhnya dengan tangannya. Baju dan celananya sudah penuh dengan cairan bening dan beberapa potongan wortel. Ternyata seorang pelayan pria tak sengaja terpeleset dan menumpahkan sup yang dibawanya pada Alleta. Seluruh mangkuk dan piring pecah disekeliling Alleta, gadis itu tampak sangat tersiksa.
"Astaga!", seru George dan Elena.
"Cepat kau ke kamar mandi, aku akan membelikanmu pakaian yang baru dan peralatan mandi", ujar Elena yang panik.
Alleta menuruti perintah Elena tanpa kata ia mengangguk lalu berjalan menuju kamar mandi.
*****
Alleta
Ini sangat panas. Aku menatap kulit tubuhku yang memerah akibat sup panas tadi. Hari yang sial untukku. kepala dan perutku juga tidak semakin membaik, ada apa dengan tubuhku?
Tok! tok! tok!
"Alleta, kaukah itu? Aku membawakanmu baju dan peralatan mandi",ucap tante Elena.
Aku membuka pintu kamar mandi sedikit dan menyembulkan kepalaku.
"Terima kasih banyak tante, maaf merepotkan"
"Tidak apa, aku kembali ke meja kita ya", ucap Tante Elena yang kujawab dengan anggukan.
Aku menggulung rambutku dan membasuh tubuhku yang terasa sangat lengket, membersihkan perlahan bagian yang sedikit melepuh karena sup panas tadi. Aku menggeram merasakan perih yang luar biasa di kulitku.
Kau benar-benar gadis gendut yang sial, Leta,pikirku.
Setelah tubuhku bersih dan aroma segar sabun sudah melekat di tubuhku, aku mengeringkan tubuh dengan handuk yang dibelikan oleh Tante Elena dan membuka paper bag yang berisi baju ganti. Pakaian dalam, dan... apa ini? Aku terbelalak melihat pakaian yang dibawakan tante Elena untukku. Dress bermodel bahu terbuka sebatas paha dan stocking tebal dengan panjang di atas lutut.
Astaga! Pakaian apa ini? Apa tante berpikir aku adalah seorang gadis bertubuh indah dan cocok menggunakan pakaian ini?
Aku melirik pakaianku sebelumnya yang sudah tidak bisa tertolong. Mau tidak mau aku menggunakan pakaian ini. Sesudahnya aku membuka gulungan rambutku dan menyisirnya sekilas dengan jari.
Aku menatap diriku di cermin, salah satu bagian tubuh yang kusukai adalah bahu. Entah kenapa rasanya bahuku tidak memiliki lemak berlebih sehingga bentuk tulang bahuku terlihat menonjol. Dan sekarang aku mempertontonkan bahuku pada orang lain. Dengan menenteng paperbag berisi pakaian kotor aku keluar dari kamar mandi, langkahku terhenti melihat pemandangan indah di dekat restoran ini. Sebuah danau buatan yang tidak terlalu besar namun dikelilingi pepohonan rindang. Kakiku tertarik melangkah ke arah danau tersebut. Ketika sampai, sungguh suasana yang menenangkan pikiran. Bunga teratai yang mekar dengan indah disertai bebek-bebek yang berenang. Aku berjalan ke bawah pohon rindang dekat danau. Senyumku mengembang sempurna, akhirnya aku menemukan ketenangan setelah seharian penuh dengan kesialan. Aku menyandarkan tubuhku di pohon tersebut, memejamkan mata dan menghirup udara bersih yang rasanya memberi kesegaran di dalam tubuhku.
"Alleta?"
Seseorang memanggil namaku, aku membuka mataku dan seketika wajahku memucat melihat dua wanita cantik yang selalu mem-bully-ku selama tiga tahun di SMA.
"Artha? Devira?", ucap Alleta.
Mereka menatap dan menilai penampilanku, tatapan merendahkan itu terlihat lagi. Aku meremas jari dibalik dress yang kukenakan. Kakiku mundur selangkah saat Artha berjalan mendekatiku. Ia mendengus menatapku.
"Leta.. leta.. leta.. sepertinya takdirmu memang menyedihkan seperti ini",ujarnya
"Apa maksudmu?", tanyaku. Devira melangkah mensejajari Artha.
"Ya, menyedihkan. Selalu menjadi perempuan gemuk yang menjijikan", mereka menertawaiku lagi. Setelah sekian lama aku tidak mendengar kata-kata itu lagi, mataku memanas. Cukup! Aku tak boleh menangis!
"Kalau boleh ku tebak, kau... pasti belum memiliki kekasih 'kan?",ucap Devira
"Tentu saja! Siapa yang mau menjadi pendamping hidup wanita menjijikan sepertinya",jawab Artha. Ia memperlihatkan jemari kurusnya, aku menangkap sebuah cincin dengan mata kecil di tengahnya.
"See (Lihat)? Aku akan menikah minggu depan, dengan pengusaha muda yang tampan",ucapnya angkuh.
"Dan aku telah dilamar kekasihku yang berasal dari German, kami akan menikah bulan depan di German", ucap Devira yang ikut memperlihatkan jarinya yang terlingkar oleh sebuah cincin.
Cukup, tolong hentikan.
Tiba-tiba sepasang tangan merengkuhku dari belakang.
"Ternyata kau disini, sayang"
*****
"Tidakkah Alleta terlalu lama untuk mandi dan berganti pakaian?", tanya Elena menyadari Alleta yang tak kunjung datang.
"Ya, ini sudah hampir satu jam. Edward, tolong cek kondisi Alleta apakah ia baik-baik saja", ujar George.
"Tidak mau", jawab Edward.
"Jangan jadi pria tak tau malu, siapa yang merawat tanganmu hingga membaik seperti ini? jka tidak kau pasti sudah demam dan tidak bisa beraktifitas", balas George.
"Itu bukan mauku, dia sendiri yang.."
"Mommy yang memintanya merawat lukamu, Edward Darius Allan. Sekarang, berdiri dan lihat bagaimana kondisi Alleta", perintah Elena.
Edward berdecak mau tak mau menuruti perintah ibunya yang sudah memanggilnya dengan nama lengkap, itu artinya ia mulai marah.
pria itu memasuki kamar mandi, ia mengernyit melihat dua bilik kamar mandi yang sudah kosong. Kemana sih wanita jelek itu?, pikir Edward.
Ia memutar pandangannya dan menemukan bentuk tubuh yang ia kenal mengenakan baju dengan bahu terbuka, wanita itu tampak didatangi oleh dua orang wanita dengan pandangan merendahkan. perlahan ia mendekat dan mendengarkan percakapan para wanita.
"Artha? Devira?", ucap Alleta.
Mereka menatap dan menilai penampilan Alleta, tatapan merendahkan itu terlihat. Tampak Alleta mundur selangkah saat salah satu dari mereka berjalan mendekat.
"Leta.. leta.. leta.. sepertinya takdirmu memang menyedihkan seperti ini",ujar wanita berambut pirang panjang.
"Apa maksudmu?", tanya Alleta. Kemudian wanita satunya melangkah mensejajari.
"Ya, menyedihkan. Selalu menjadi perempuan gemuk yang menjijikan", mereka menertawai Alleta.
"Kalau boleh ku tebak, kau... pasti belum memiliki kekasih 'kan?",ucap Devira
"Tentu saja! Siapa yang mau menjadi pendamping hidup wanita menjijikan sepertinya",jawab Artha. Ia memperlihatkan jemari kurusnya, aku menangkap sebuah cincin dengan mata kecil di tengahnya.
"See (Lihat)? Aku akan menikah minggu depan, dengan pengusaha muda yang tampan",ucapnya angkuh.
"Dan aku telah dilamar kekasihku yang berasal dari German, kami akan menikah bulan depan di German", ucap Devira yang ikut memperlihatkan jarinya yang terlingkar oleh sebuah cincin.
Cih, manusia-manusia menjijikan, ucap Edward dalam benaknya.
Entah apa yang mengontrol tubuhnya, Edward mendekat dan merengkuh tubuh Alleta dari belakang dan menunjukan keintiman yang membuat siapapun merasa tersipu.
"Ternyata kau disini, sayang"
*****
Alleta
"Edward?", ia mengecup bahuku yang terekspos, sontak tubuhku meremang menerima sentuhan yang belum pernah kurasakan selama 22 tahun hidup di dunia.
"Aku menunggumu dari tadi, kenapa lama sekali sayangku hmm? Aromamu sangat harum", ia menghirup pundakku dalam-dalam. Entah apa yang dilakukan Edward. Wajah Artha dan Devira tampak pucat melihat sikap Edward yang sangat intim. Ia mengecupi pundakku, kepalanya menelusuk ke leherku, mengecup dan melumatnya. Seketika kupu-kupu diperutku beterbangan, gelenyar panas mengalir di sekujur tubuhku.
"Engh, Ed?", Edward tak menjawab, tangannya mengangkat tanganku untuk membelai tengkuknya tanpa menghentikan aktivitasnya dileherku, tanganku otomatis meremas-remas rambutnya hingga berantakan. Dan tangannya membelai mengusap perutku dengan lembut.
"Ed, ada teman-temanku",ucapku menahan desah. Ed menghentikan aktivitasnya dan menatap Artha dan Devira yang sudah merona melihat apa yang kami lakukan. Sesungguhnya jantung dan hatiku terasa ingin lompat ke dalam danau, entah seperti apa rupa wajahku saat ini, sepertinya sudah merah padam.
"Hmm? Oh, siapa mereka, sayang?",tanyanya dengan tatapan datar ke arah Artha serta Devira dan suara yang serak.
"Mmm... mereka teman satu SMA-ku dulu"
Artha tersenyum dengan tatapan menggoda ke Edward, ia melangkahkan kakinya dan mengulurkan tangannya ke arah Edward.
"Hai, aku Artha, aku adalah teman baik Alleta saat SMA", Edward tidak membalas uluran tangan Artha. Ia justru menoleh menatapku dengan lekat. Dan tersenyum. Duniaku terasa berhenti melihat senyuman Edward yang ternyata sangat, uuuh!!!
Ini pertama kalinya ia tersenyum kepadaku. Jika seperti ini jadinya, rasanya aku rela terus dicemooh orang-orang disekitarku. Agar bisa melihat senyumannya hanya untukku. Oh Ed, tak bisakah kau seperti ini terus kepadaku?
"Tetap kau yang paling cantik, sayang. Aku tidak mau tersentuh oleh orang-orang yang tidak sepadan dengan kita. Mereka hanya sampah", ujarnya lalu mengecup pipiku, dan kembali melumat leherku. Gaun yang tidak terlalu tebal ini membuat sentuhannya di kulitku sangat terasa saat tangannya membelai pinggulku dan berubah menjadi nakal ketika berhenti di bokongku dan meremasnya.
"Engh, Ed", mataku terpejam merasakan sentuhannya, tanganku terulur mengusap dan meremas rambutnya yang dihadiahi erangan kecil darinya. Kudengar langkah kaki menjauh dari kami, aku membuka mata dan melihat Artha dan Devira sudah menjauh dari kami. Aku tau Edward pun mengetahui kedua orang itu sudah pergi menjauh, tapi ia tetap pada aktivitasnya bahkan semakin tangannya meremas pinggulku semakin kencang. Tidak, ini harus dihentikan. Aku menghentikan aktivitasku di kepala Edward.
Aku tau kau hanya berpura-pura, Ed, pikirku.
Tanganku terulur melepas remasannya di bokongku dan aku melangkah menjauhinya. Ia menatapku, tatapannya sudah kembali datar. Kulirik bibirnya yang basah dan memerah. Wajahku terasa panas merasakan leher dan pundakku basah akibat ulahnya. Aku berdeham mengurangi rasa gugupku.
"Sebaiknya kita kembali", ujarku seraya memutar tubuhku.
Entah apa yang kurasakan, responku selalu lebih lambat dengan apa yang terjadi. Tubuhku sudah tertarik ke belakang dan punggungku sudah menempel dengan pohon tempatku bernaung tadi. Nafasku tertahan melihat wajah Edward yang tepat di depan wajahku. Matanya berkabut menatapku, sedetik kemudian kurasakan sesuatu yang lembab dan kenyal dibibirku. Mataku terbelalak. Edward menciumku! Oh tidak, ciuman pertamaku!
Bibirnya melumat bibirku dengan kuat, perlahan mataku terpejam menikmati sentuhannya. Ia menjentikan lidahnya membuka bibirku dan menerobos masuk mengajak lidahku menari. Entah apa yang merasuki diriku, perlahan aku membalas permainan bibir dan lidahnya, kualungkan tanganku ditengkuknya dan meremas rambutnya.
"Engh!", lenguhku saat kedua tangannya meraba dan meremas kedua bokongku. Dan sekarang, tubuh kami tidak berjarak sesentipun. Oh Edward! Kau membuatku gila!
Remasannya semakin kuat dan ia semakin memperdalam ciumannya dengan liar, tanganku ikut merespon liar dengan menjambak rambutnya dan mengusap punggungnya. Ia menggeram merasakan jambakan di rambutnya. Pikiranku kalut, mimpi apa aku semalam menerima perlakuan seperti ini dari Edward. Bermimpipun aku tak berani! Momen ini tak akan pernah kuhilangkan sampai kapanpun. Saat kau merengkuhku dengan erat. Sangat erat.
Tangannya menarik kaki kananku untuk melingkari pinggangnya, membelai pahaku dengan sangat intim. Tangannya sangat terasa dikulitku yang tidak tertutupi oleh stocking pemberian tante Elena. Tante Elena? Astaga iya aku lupa!
Tiba-tiba perasaan takut terlihat orang lain muncul dibenakku, ini tempat umum. Tante Elena dan yang lainnya pasti sudah menunggu kami. Dengan sekali sentak aku mendorong tubuhnya dan melepaskan pagutannya. Nafas kami terengah, rambutku dan rambutnya sama-sama berantakan, dan bibirku terasa panas berdenyut. Ia menatapku dengan nyalang, mataku terarah pada bibirnya yang sedikit bengkak.
"Aku harus kembali ke meja"
"Lupakan apa yang telah terjadi barusan, anggap saja itu tadi balasanku karena telah menyelamatkanmu dari dua makhluk sampah tadi. Dan anggap pertolonganku tadi adalah bayaran karena kau telah merawa lukaku", dan berlalu pergi meninggalkanku sendiri. Disini. Dan aku merasa ada yang hilang dari diriku.
Dingin. Hatiku terasa teriris mendengar penuturannya. Itu benar-benar menyakitkan.
Airmataku terasa mengalir dipipiku. Lidahku kelu dan kakiku terasa lemas.
Sungguh, aku tak mengerti denganmu, Ed.
*****
Aku membetulkan penampilanku yang berantakan setelah adegan panas tadi. Dengan langkah yang berat aku kembali ke mejaku. Rasanya tubuhku sangat berat sekali, mataku sangat panas. Entahlah, mungkin karena habis menangis barusan.
Tatapanku bertemu dengan Edward yang langsung mengalihkan pandangannya seakan tidak terjadi apa-apa antara kami sebelumnya.
"Kau sangat cantik dengan baju yang kupilihkan, All",seru Tante Elena bersemangat. Aku tersenyum menatapnya.
"Terima kasih tante"
Tante Elena mengernyit memperhatikan wajahku. "Kenapa kau pucat, Alleta? Apa kau sakit?".
"Tidak tante, mungkin masih kaget dengan peristiwa tadi" disaat anak tante mencium dan menjamahku dengan liar, lanjutku dalam hati.
"Ya sudah kalau begitu, ayo kita makan", ajak om George dengan dijawab oleh anggukan oleh yang lainnya.
Dan setelahnya aku tidak berani menoleh ataupun menatap ke arah Edward. Terlalu menyakitkan. Sepertinya aku akan menyerah saja setelah ini.
*****