6. Care About Me

4083 Kata
"Kau bilang membeciku. Tapi kenapa sikapmu membuatku selalu merasa kalau kau peduli kepadaku" ********** Edward Semalam tidurku benar-benar tidak nyenyak, bayangan e****s gadis tambun itu saat mengenakan celana denimnya selalu terlihat ketika akan memejamkan mata. Alhasil, tubuhku lesu dan sekarang aku sangat mengantuk. Dan kemarin... Argh sial! Kenapa aku bisa lepas kendali seperti itu, jangan memalukan Ed! "Edward", panggil mommy. "Yes, mom(Ya, Mom)?" "Kemana Alleta? Kenapa ia belum turun untuk sarapan?", aku mengangkat bahuku. "I don't know (Aku tidak tau)", tiba-tiba terlintas di ingatan saat aku dan dia melakukan kegiatan panas dipinggir danau kemarin. Sial! Kenapa masih saja aku merasakannya! Wake up (bangun)! "Panggil dia, Ed. Ajak dia untuk sarapan bersama-sama hari ini. Sore ini kita kembali ke Jakarta",sambung dad. Sungguh itu adalah kata-kata yang kutunggu dari kemarin. Aku sudah tak tahan bertemu dengan gadis tambun itu. "Syukurlah, aku senang kita kembali hari ini" "Jemput dia, Ed",perintah Daddy. "Biarkan saja, dad. Gadis gemuk seperti itu tidak akan melewatkan sarapannya" "Kak Alleta itu sangat caaaaantiiik",sela Edwin. Aku mendengus mendengarnya. "Kau masih terlalu kecil untuk memahami kata 'cantik', Ed. Duniamu masih terlalu sempit",sergahku. Edwin menatapku marah dan menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Ti...dak! Kak Alleta adalah perempuan paling cantik setelah mommy. Sepertinya kakak yang tidak mengerti apa itu 'cantik'. Ternyata kak Edward itu sangat bodoh". Demi Tuhan dia seorang anak kecil! Berani-beraninya ia mengataiku seperti itu. "Ed, jemput Alleta", tegas Dad. Dengan langkah berat aku beranjak dari meja makan menuju kamarnya. Tok.. tok.. tok.. Hening. Tok.. tok.. tok.. Hening lagi. Tok.. tok.. tok.. Akhirnya kudengar suara pergerakan dari dalam kamar gadis ini. Sudah kuduga ia masih tidur. Cih gadis macam apa itu, terdengar suara kunci dibuka dan terbukalah pintu kamar dihadapanku. "Apakah kau seorang wanita? Apa yang kau pikirkan sehingga dengan enaknya masih bergelung di dalam selimut. Jangan merasa sebagai tuan rumah disini!",sentakku. Namun tidak ada balasan darinya. Dahiku mengkerut memperhatikan wajahnya. Pucat. Sangat pucat dan matanya merah berair, tampak tidak sehat. Ia menatapku datar. "Sampaikan permohonan maafku kepada om dan tante. Aku tidak bisa sarapan dulu, perutku mual. Aku tidak enak badan", sedetik kemudian ia membanting pintu kamarnya tepat di depan wajahku. Seketika amarahku tersulut melihat perlakuannya yang merendahkanku. Ia pasti berbohong. Kubuka pintu kamarnya dengan kasar. Brak! Kulihat tempat tidurnya kosong, kudengar suara pintu kamar mandi terbuka. Sosoknya keluar dengan wajah yang tidak bisa dibilang sehat. Benarkah si gemuk ini sakit? "Ada apa?",tanyanya lemah. "Turun. Sarapan", perintahku. "Kubilang aku tidak mau, aku lelah berdebat, Ed. Biarkan aku sendiri", ujarnya dengan langkah tertatih ke arah tempat tidur dan telungkup dibalik selimut. Kesabaranku habis. Kutarik dengan kasar selimutnya dan menarik paksa tangannya. Ia menggeram seperti kesakitan. Tiba-tiba ia mendorong dadaku hingga aku terhuyung ke belakang dan saat itu juga ia berlari ke arah kamar mandi. "Huek! Huek! Huek! Argh.. pahit", desisnya. Sontak aku menyusulnya ke kamar mandi, ia muntah. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, dengan sigap aku menangkapnya. Astaga! Panas sekali suhu tubuhnya! Sebelah tanganku terulur ke arah kran washtafle, membasahi tanganku dan membersihkan bibirnya yang tersisa sedikit muntahan. Ia mengerang lagi. Matanya terbuka menatapku, merah berair. Satu kesimpulannya. Gadis ini memang sakit. Dan kali ini dia tidak bohong. Kurasakan kesadaran gadis ini mulai menghilang. Tidur? Tidak, dia pingsan. Aku berusaha menggendongnya a la bridal dan menidurkannya di ranjang. Segera aku keluar dan berlari ke meja makan. Dia sakit, harus segera ditangani oleh dokter. "Ada apa, Edward? Mana Alleta?", tanya mom. "Sebentar mom, aku harus segera mengambil ponselku", jawabku tergesa-gesa. "Ada apa? Kenapa kau mencari ponselmu? Mana Alleta?", tanya dad. "Dia sakit, sekarang ia pingsan. Aku harus segera mencari ponselku untuk menghubungi dokter", jawabku. "Astaga, cepat panggil dokter Ed!", seru mommy. ***** "Bagaimana keadaannya?", tanya Edward kepada Dokter Citra. "Dilihat dari gejalanya, nona Alleta terkena gejala thypus. Tapi saya belum bisa memastikan, thypus atau tidaknya baru bisa dilihat setelah 3 hari dan saya harus mengambil sample darah nona Alleta untuk diuji di laboratorium. Dan saya menemukan cukup banyak luka memar di area perut, tangan, leher dan wajah. Khususnya di area perut terdapat luka iritasi pada kulit nona Alleta. Apakah anda bisa menjelaskan apa yang terjadi pada nona Alleta?", jelas Dokter Citra kepada Edward. "Kemarin ia memang terkena tumpahan sup panas sewaktu kami berada di suatu restaurant. Dan sebelumnya ia terjerembab dari kasur karena terlilit selimutnya", jelas Edward dengan sedikit gugup. "Benarkah?", tanya dokter Citra curiga. "Apa maksudmu dengan pertanyaan itu?", desis Edward. "Tidak, pak. Hanya saja saya melihat luka-luka tersebut seperti bekas penganiayaan. Apabila memang luka tersebut berasal dari penganiayaan seseorang, maka saya harus melaporkannya ke pihak berwajib sebagai bentuk kekerasan. Ya sudah kalau begitu, saya akan berikan obat untuk diminum oleh nona Alleta. Saya minta nona Alleta bed rest. Jangan melakukan kegiatan apapun termasuk perjalanan ke Jakarta untuk mengantisipasi bila beliau terkena gejala thypus. Mohon untuk terus didampingi, bila ia masih muntah-muntah berikan obat penghilang rasa mual. Selain itu semua obat-obat tersebut harus dihabiskan selama 3 hari. Setelah habis tolong hubungi saya lagi untuk memeriksa perkembangannya", jelas Dokter Citra dengan detail yang diberi anggukan oleh Edward sebagai jawaban mengerti. ***** "Jadi, bagaimana diagnosa dokter?", tanya George pada Edward. "Gejala thypus, dan radang akibat terkena tumpahan sup kemarin. Dokter menyuruhnya untuk bed rest selama 3 hari kedepan. Tidak boleh melakukan perjalanan ke Jakarta dulu, merepotkan sekali", jelas Edward. Elena menarik salah satu alisnya menatap putra sulungnya. "Really (benarkah)? Kau tampak panik saat ia pingsan tadi", ucap Elena. "Tidak. Sama sekali tidak. Aku hanya tidak ingin dituduh yang bukan-bukan", elak Edward. "Dan, kau harus menjaganya selama 3 hari kedepan sementara kami bertiga akan kembali ke Jakarta sore ini sesuai rencana. Aku akan menghubungi Felicha untuk menjelaskan semuanya", jelas George. "Dan tidak ada bantahan", tegas George saat melihat Edward akan membuka mulutnya untuk protes. "FINE (BAIK)!", seru Edward yang kemudian beranjak dari diskusi tersebut. ***** Alleta Terbangun dengan rasa sakit yang luar biasa di kepala adalah hal yang paling kubenci. Aku menggeram. Perutku terasa mual dan mataku sangat panas. Ada apa denganku? Sreg.. Aku menoleh saat menyadari ada pergerakan lain di ranjangku. Edward? Kenapa ia tidur diranjangku? Aduh.. kepalaku sakit sekali, aku ingin muntah. Tiba-tiba aku teringat saat ia menarikku paksa, aku mendorongnya dan berlari memuntahkan cairan empedu yang... iyuuuuh pahit sekali! Lalu.. Oh! Aku ingat ia menangkapku saat kehilangan keseimbangan, menyeka mulutku dengan tangannya. Dan setelahnya duniaku terasa gelap. Aku pingsan. Kupejamkan mataku. Bagaimana aku bisa melupakanmu, Ed? Dan sekarang kau berada sedekat ini denganku. "Kau sudah bangun", ucapnya dengan suara serak dan rambutnya yang berantakan khas orang bangun tidur. Lidahku terasa kelu untuk menjawabnya. Pemandangan dihadapanku membuatku berangan melihat pemandangan ini setiap pagi jika kami menikah kelak. Menikah? Khayalanmu terlalu tinggi Alleta! Ia menempelkan punggung tangannya ke dahiku. Aku mengernyit. Tangannya terasa dingin. Atau panasku yang terlalu membara? "Demammu masih sangat tinggi",gumamnya. "Aku kenapa?",tanyaku dengan suara serak. Ia tak menjawab, ia beranjak dari ranjang dan keluar dari kamarku. Hatiku mencelos menatap pintu yang tertutup. Kepalaku semakin berdentum, aku memejamkan mata dan menutup mata dengan lengan kananku. Kepalaku sakit sekali. Cklek! Pintu kamarku terbuka, kudengar suara dehaman dari pria yang telah mengisi hatiku. Kubuka mataku, kulihat Edward kembali dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman. Aku mengernyit tak suka. Ia meletakan nampan tersebut di meja nakas dan duduk ditepi ranjang. "Sudah hampir sore, makan lalu minum obatnya",ujarnya sedikit.... lembut? Ia menopang tubuhku untuk bersandar di kepala ranjang. Tatapan kami bertemu. "Aku kenapa?" "Kau terkena gejala thypus dan radang di perut yang bengkak. Kau ini sungguh merepotkan. Apa susahnya bilang kalau kau sakit!?",serunya. Aku menunduk mendengarnya "maaf". Kudengar ia menghela nafas dengan kasar. "Kau harus bedrest selama 3 hari. Ususmu terluka cukup parah. Sekarang makan" "Edwin, tante, dan om dimana?" "Mereka sudah kembali ke jakarta sejak tadi. Dan akulah yang harus menjagamu disini jika tak mau dipecat dari kantor. Sangat merepotkan" "Aku ingin pulang", sergahku. "Kau tuli? Kau tidak mendengar apa yang kukatakan barusan?",kesalnya. Aku menggeleng "biar aku istirahat di rumahku saja. Aku tidak mau menjadi bebanmu" Ia mengusap wajahnya dengan kasar "MAKAN!", kulirik bubur ayam yang entah kenapa mengingatkanku pada muntahan. Perutku seperti diaduk-aduk saking mualnya. "Tidak mau, aku mual", elakku. "Kau harus makan", tegasnya. "Tidak mau, ah! kepalaku sakit sekali",kepalaku kembali berdentum. Aku memejamkan mataku, rasanya tubuhku berat dan dunia serasa berputar seperti kehilangan gaya gravitasinya. Telingaku menangkap suara berdecak dan dentingan sendok di mangkuk. Pasti mau memaksaku makan. Tidak mau! Melihatnya saja aku sudah sangat mual. Tiba-tiba daguku disentuh dan ditarik ke bawah sehingga bibirku terbuka dan cup! Aku terbelalak saat Edward mentransfer bubur itu dari mulutnya, ia menangkup wajahku saat hendak memberontak. Aku sedang sakit, ia bisa tertular! apasih yang ia pikirkan? Ia memasukannya dengan perlahan kemulutku, awalnya aku sangat mual dan memaksa mengatupkan bibirku. Tapi saat matanya menatapku tajam rasanya tubuhku semakin lemah tak berdaya. Dan sekarang bubur dimulutnya sudah habis kutelan. Namun ciumannya tak berhenti, ia membersihkan sisa bubur di bibirku dan menggigitnya lembut sebelum menjauhkan bibirnya. "Sudah ku bilang untuk makan",ujarnya dingin, aku hanya diam tak menjawab. Ketika ia akan menyendokan bubur ke mulutnya lagi aku segera menghentikannya "Baik, aku akan makan sendiri" Karena kau akan membuat penyakitku bertambah bila seperti itu. Penyakit jantung! Lanjutku dalam hati. Ia meletakan sendoknya dan memberikannya kepadaku. Aku menyuap sedikit demi sedikit sampai batas maksimal perutku aku hanya bisa menghabiskan kurang dari setengahnya. "Aku sudah tidak kuat",ucapku lemah. Ia mengambil mangkuk dipangkuanku, mengambil air mineral dan 6 macam obat. Aku mengernyit menatap obat yang sangat besar-besar tersebut. Terdiri dari 2 kapsul dan 4 tablet besar. Dan aku benci melihat obat seperti itu. Ia yang mengerti tatapan takutku kembali menghela nafas. Menegak semua obat di tangannya dan meminum air dalam gelas. Hah? Aku bingung menatapnya. Memangnya ada metode penyembuhan baru ya? Minum obat diwakilkan orang lain dan bisa jadi sembuh? Pikiranku membeku saat ia meraih tengkukku dan meminumkan obat itu langsung seperti menyuapiku tadi. Astaga Edward! pekikku dalam hati. Ia membelai leher depanku agar mau menelan suapan obat ajaibnya. Dan lagi-lagi aku menurutinya. Obat itu sudah berpindah dan masuk dengan sempurna. Aku mendorong tubuhnya untuk melepas pagutannya. Tapi ia justru bertahan dan tangannya mengarahkan tanganku untuk mengalungkan lehernya dan semakin menekan bibirku. Rasanya tubuhku sangat terbakar. Entah ini murni karena demamku atau karena aktivitas kami yang saling mentransfer hawa panas dalam diri masing-masing. "Chu.. kup.. ed", selaku saat ia menarik seraya menggigit lembut bibir bawahku lalu melepaskannya. Nafasnya terengah seraya menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. "Istirahatlah", ujarnya lalu memposisikan diriku kembali terlentang, menyelimutiku, mengambil nampan dan keluar tanpa berbicara apa-apa lagi. Perlahan mataku terasa berat, sepertinya obatnya mulai bereaksi. Aku putuskan untuk tidur saja. ***** Edward Ergh! Apa yang kulakukan! Kenapa aku tak bisa menahan diriku sedikit saja! Bibirnya. Kenapa terasa begitu pas untuk dikecup! Ingat, Ed. Kau membencinya. Kau harus bisa bersikap kejam padanya! Kuputuskan untuk kembali ke kamar gadis sial itu. Aku tercenung melihatnya yang sudah bermain di alam mimpi. Sepertinya obatnya sudah bekerja. Aku berjalan perlahan mendekati ranjangnya. Mataku beralih pada bibirnya yang masih pucat namun sedikit bengkak karena ulahku tadi. Entah kenapa, bibir itu selalu mengundang untuk dilumat. Ergh! Wake up Ed!. Aku mendesah pelan dan beralih menempati ranjang disebelahnya. Perlahan mataku terasa berat, sepertinya aku juga mengantuk dan kuputuskan untuk tidur lagi. Besok aku harus bangun pagi-pagi dan membuatkan gadis jelek ini sarapan. ***** "Engh.. panas.." Mataku terbuka mendengar lenguhan tersiksa dari gadis gemuk itu dan.. Ya Tuhan! Wajahnya merona akibat suhu tubuhnya yang tinggi. Kenapa obatnya belum bekerja!? Peluh di dahinya mengalir. Aku menyingkap selimutnya dan mendapati dirinya basah akan keringat. Astaga, dia bisa makin parah jika dibiarkan memakai pakaian yang basah keringat ini. Dengan gerakan cepat aku membuka kopernya dan mencari pakaian berbahan nyaman untuk digunakannya. Aku menemukan satu set piyama bergambar strawberry, lengan pendek dan celananya yang sebatas paha. Segera aku kembali padanya. Tiba-tiba tubuhku menegang menyadari satu hal. Siapa yang menggantikan pakaiannya? Dengan kondisinya seperti itu mustahil ia bisa mengganti pakaiannya sendiri. Terpaksa... Tanpa berpikir panjang aku membuka selimutnya. Ia mengerang dan matanya terbuka. "Kau harus ganti baju, tubuhmu penuh keringat",ujarku sedatar mungkin. Saat aku akan mengangkat atasan yang ia gunakan ia menahan gerak tanganku dengan lemah dan menggeleng. "Biar.. aku saja", desahnya menahan rasa sakit. "Mana mungkin kau bisa melakukannya sendiri. Demi Tuhan Alleta, jangan keras kepala!", geramku yang menyingkirkan tangannya. Dengan gerakan perlahan aku membuka atasannya. Dan.. oh tidak. Mataku terfokus pada dua gundukan bulat sempurna yang terbungkus bra dengan indah. Tidak terlalu besar, tapi terlihat sangat nyaman untuk.... Hentikan Ed! Kulihat ia memalingkan wajahnya karena malu. Aku memakaikan pakaian yang baru dan tubuhku merespon gila saat tanganku menyentuh kulit lembabnya. Aku mengetatkan rahang menahan gejolak yang sudah menguasai tubuhku. Aku beralih ke celana panjangnya. Ia menahan tanganku saat akan menyentuh celanannya. "Cukup atasannya saja", sergahnya. "Tidak. Celanamu juga sangat basah. Kau tak perlu khawatir, aku biasa melihat wanita cantik dan seksi memakai bikini di Amerika. aku tak bernafsu sedikitpun melihat tubuhmu", matanya manatapku dengan terluka. Kau pembohong Ed, lalu apa yang meronta jauh di bawah sana huh!. Jantungku berdegup kencang saat menyentuh ujung celananya. Perlahan kutarik dan OH NO! Miliknya terbungkus rapi dibalik celana dalam berwarna baby pink. Aku memejamkan mata, menarik nafas dan dengan sekali tarik celana panjangnya sudah terlepas. Dengan cepat tetapi lembut aku memakaikan celana pendek yang bersih. Tatapanku kembali terpaku melihat pusat dibalik celana dalamnya. Setelah selesai aku kembali menyelimutinya dan masuk ke dalam kamar mandi. Aku harus mandi air dingin untuk menjinakan sesuatu yang sudah siap disana. ***** Edward mendapati Alleta yang meringkuk kedinginan saat keluar dari kamar mandi setelah meredakan hawa panas tubuhnya. Ia mengambil remote AC memaksimalkan temperatur agar lebih hangat dan menempatkan diri di samping Alleta. Entah dorongan dari mana ia meraih pinggang Alleta, mengubah posisi kepalanya agar berbantalkan lengannya dan merengkuhnya dengan erat. "Ed?", Alleta yang tersadar dari tidurnya bingung mendapati Edward tengah berusaha mendekap tubuhnya. "Ssst diam, tidurlah. Ini adalah obat demam paling mujarab", ujar Ed seraya mengusap punggung Alleta dengan lembut. Alleta menatap Edward dengan pandangan bingung. Kepalanya memang sakit, tapi lebih sakit hatinya yang menyadari bahwa semuanya hanyalah semu. Ia menatap Edward yang perlahan wajahnya mendekat kearahnya. "Kenapa kau..." Alleta menghalangi bibir Edward dengan jarinya saat sudah hampir menyentuh bibirnya. Tidak akan kubiarkan ia menciumku lagi, pikir Alleta. Edward yang sudah memejamkan matanya langsung membuka kembali kelopaknya untuk menatap Alleta karena merasakan bibirnya tidak menyentuh bibir yang ia tuju. Tangan Edward terulur menarik telapak tangan Alleta namun Alleta bertahan. "Aku sedang sakit parah. Kau bisa tertular. Menjauhlah",gumam Alleta. Mata Edward menatapnya tajam. "Lalu? Bagaimana penjelasanmu saat aku sudah menukar saliva denganmu ketika makan?", tenggorokan Alleta tercekat mendengar pertanyaan Edward yang sangat v****r itu. Tanpa bicara Edward mengarahkan telapak tangan Alleta ke pinggangnya. Tangannya terukur mengusap punggung Alleta. Lengannya yang menjadi bantal Alleta ditekuk untuk menahan tengkuk Alleta dan melumat bibir Alleta dengan lembut. Lidahnya menelisik mengajak lidah Alleta bermain, ia mencecap, melumat dan menggigit tanpa henti seakan ingin memakan Alleta. Tangannya semakin nakal membelai b****g gemuk Alleta. Alleta yang lemah tak berdaya hanya mampu mencengkram kaos yang dikenakan Edward di bagian pinggang. Alleta melenguh saat Edward bermain nakal di bokongnya. Namun disaat yang sama Alleta sudah hampir kalah dengan rasa kantuknya. Efek dari obat dokter dan aktivitas mereka saat ini. Perlahan kesadarannya terseret, dan gerakan bibirnya melemah. Edward yang sudah diambang batas pertahanannya mengerang saat mengetahui Alleta tertidur ditengah aktivitas yang menurut Edward baru akan dimulai. Perlahan namun pasti, dengan berat Edward melepas pagutannya. Dan benar saja, Alleta sudah terlelap dengan bibirnya yang masih basah dan bengkak. Astaga! Gadis ini benar-benar! Dengan menahan gairahnya Edward merengkuh tubuh Allera erat. Berbagi hawa panas di tubuh masing-masing dan perlahan tapi pasti Edward tertidur. Sangat lelap. Nyaman. Dan sesuatu yang belum pernah  ia temukan selama ini. Dan Edward adalah Edward. Ia mempercayai pikirannya yang hanya menganggap semua aktivitasnya ini sebagai bentuk taat pada ayahnya yang memberi ancaman untuknya. Tanpa mendengar kata hatinya yang berlawanan dengan pikirannya. ***** Sinar mentari menembus tirai kamar berusaha membangunkan dua insan yang tengah berpelukan. Keduanya sangat nyaman tak terusik sedikitpun oleh cahaya yang menyilaukan dari arah luar. Salah seorang diantaranya mulai terusik rasa nyeri yang ia rasakan. Matanya terbuka secara perlahan dan langsung menatap objek yang menurutnya sangat indah. Ia tersenyum di tengah rasa sakitnya. Tubuhnya terasa berat, kepalanya masih berdentum dan perutnya masih terasa mual. Diperhatikannya wajah tampan yang hanya berjarak beberapa centi dari hadapannya. Terasa begitu nyata. Gadis itu berpikir, apakah ia bisa menikmati pemandangan ini selamanya? Tubuhnya masih terengkuh oleh tubuh kekar yang masih terlelap. Perlahan ia gerakan tangannya untuk menyentuh wajah tampan tersebut. Ya, Alleta mencoba menyentuh wajah yang tampak damai dalam lelapnya. Dan akhirnya, tangannya berhasil menyentuh wajah Edward. Dengan lembut ibu jarinya membelai wajah pria tersebut mulai dari alis, tulang pipi hingga rahang dan menghentikan gerakannya. "Don't stop it (Jangan berhenti)" Sontak Alleta menarik tangannya takut ketika mengetahui Edward telah bangun dari tidurnya. Dan benar saja, kedua manik indah itu terbuka dan menatapnya dengan tajam. "Kau takut denganku?", tanyanya tiba-tiba. Alleta menggelengkan kepala lalu menganggukan kepalanya dan seketika menggelengkan lagi kepalanya. Entah kenapa Edward terkekeh melihat tingkah aneh gadis didepannya. Alleta tercenung melihat Edward yang terkekeh geli kepadanya. Dan kekehan itu tampak sangat tulus. "Bagaimana kondisimu? Masih sakit?", tanya Edward. Alleta mengangguk lagi. "Well, aku harus membuatkanmu bubur sepertinya. Kenapa kau selalu mengusik ketenangan hidupku? Semenjak kau muncul dihidupku, aku selalu mendapatkan kesialan kau tau itu? Setelah kau sembuh dan kita kembali ke Jakarta, aku harap kau tidak muncul lagi dihadapanku", geram Edward. Dasar pria plin-plan, baru beberapa detik yang lalu ia bersikap sangat lembut dan sekarang tiba-tiba saja ia bertingkah menyebalkan kembali seperti semula. Kenapa sangat sulit untuk memahamimu, Ed? Pikir Alleta yang menatap pria yang sedang berjalan kearah pintu dengan sedih. Gadis itu kembali menitikan airmatanya, ia bingung dengan hidupnya. Apakah sebegitu menjijikannya ia hingga tidak ada pria yang menyukainya? Ia mengerang merasakan sakit dikepalanya yang semakin menjadi. Alleta hanya ingin merasakan rasanya dicintai, tak bolehkah? ***** Edward yang memasuki kamar dengan membawa nampan berisi bubur buatannya berdecak melihat Alleta yang tengah mengernyit kesakitan seraya memegangi kepalanya. "Bangun. Sarapan lalu minum obatmu agar aku bisa lekas terbebas dari tempat menyebalkan ini", perintahnya. Alleta mengangguk dan menuruti perintah pria tersebut. Edward sedikit kaget melihat reaksi Alleta yang hanya menurut, padahal ia berpikir gadis itu akan melawan lagi. Dengan perlahan Alleta mengambil mangkuk berisi bubur buatan Edward dan menyendokan ke mulutnya dengan hati-hati. Ia tersenyum lemah. "Terima kasih, bubur ini pasti akan lebih lezat jika lidahku tidak mati rasa seperti saat ini", ungkapnya. Edward hanya diam mematung memperhatikan gerakan Alleta tanpa terlewat sedikitpun. Ia mengetahui bahwa Alleta sedang memaksakan untuk memakan bubur buatannya yang masih lebih dari setengah. "Sudah hentikan, tidak perlu memaksakan. Aku tau kau sudah kenyang", saut Edward yang kemudian mengambil mangkuk dipangkuan Alleta. "Sekarang, minumlah obatmu", pinta Edward dan lagi-lagi dituruti oleh Alleta tanpa kata. Edward yang merasa perutnya lapar sejak pagi meraih mangkuk berisi sisa bubur yang dimakan Alleta dan melahap bubur tersebut dengan sangat lahap membuat Alleta terperangah. "Edward, itu kan sisaku, nanti kalau kau tertular bagaimana?", ucap Alleta panik. Edward hanya mengangkat bahunya cuek. "Aku lapar, aku hanya membuat satu mangkok untukmu, toh ini masih banyak. Lagipula sejak kemarin juga kau sudah menukar salivamu denganku kan. Aku tidak mudah sakit sepertimu", jawabnya tanpa menghentikan aktivitas makannya. Tak taukah ia bahwa gadis didepannya sedang menahan rasa malu akibat kata-katanya yang v****r? Alleta meneguk ludahnya, ia ingin mengatakan suatu hal pada Edward. Tapi... ia takut Edward kembali marah kepadanya. "Ed", panggil Alleta takut-takut. Edward menghentikan kunyahannya dan menatap dengan curiga. "Apa yang kau ingin katakan?", tanyanya. "Mmm...", Alleta bergumam ragu, Edward mendecakkan lidahnya dengan kesal. "Katakan apa yang ingin kau katakan sekarang atau tidak sama sekali", tekan Edward. Dalam hati Edward merutuk perkataannya yang telah membuat Alleta terlihat semakin pucat. "Bolehkah.. bolehkah aku meminta selama disini aku mohon jangan bersikap kasar kepadaku? Aku berjanji, setelah ini aku akan menjauhi semua tentangmu, entah itu keluargamu maupun Angkasa Corps. Bahkan, jika Edwin ingin bertemu dengankupun aku akan mencari alasan untuk tidak bertemu dengannya. Aku berjanji, ketika kita kembali ke Jakarta, hidupmu tidak akan terusik oleh kehadiranku  lagi. Tapi please, jangan mengucapkan atau bersikap kasar seperti yang kau lakukan sebelumnya", ungkap Alleta. Edward diam menatap Alleta dengan tatapan yang tidak dapat dipahami. Alleta berusaha menelisik namun gagal. "Ok", jawab Edward. Alleta tersenyum lemah, ia lega sekaligus sakit. Lega karena setidaknya Edward tidak akan bersikap kasar lagi kepadanya, tapi juga sedih. Sedih karena sebesar itu kebencian pria tersebut kepada dirinya sampai-sampai semudah itu menyetujui permintaan Alleta. "Terima kasih", ucap Alleta. "Aku turun untuk mengembalikan mangkuk ini dulu", ujar Edward seraya mengusap rambut Allea asal. Jangan menangis, Al. Semua ini permintaanmu, jangan menjadi gadis lemah dan cengeng, ucap Alleta di dalam pikirannya. Tak berselang lama, Alleta mengernyit melihat Edward kembali dengan sebuah baskom dan handuk kecil. "Untuk apa?", tanya Alleta. "Untuk membasuh wajahmu, rasanya pasti tidak nyaman. Setidaknya menyegarkan", jawab Edward. Alleta mematung mengekori gerakan Edward yang tengah memeras washlap dan duduk disamping Alleta. perlahan pria itu mengusap wajah Alleta membuat manik gadis tersebut otomatis terpejam, menikmati wajahnya yang terasa hidup kembali terkena kain basah dan hangat. Matanya terbuka ketika usapannya turun ke leher, tatapannya bertemu dengan tatapan Edward. Keduanya terdiam menikmati suasana canggung menimbulkan keinginan terlarang yang diinginkan keduanya. Entah siapa yang memulai, bibir keduanya sudah bertemu. Ciuman lembut yang mampu membuat keduanya melayang, Alleta mengangkat tangannya dan mengalungkannya ke pundak Edward. Saling mencecap dan menikmati satu sama lain. Setidaknya, ia memiliki kenangan indah dengan Edward sebelum kembali ke dunia nyata dan pergi dari kehidupan pria yang berada di dalam rengkuhannya. Pagutan terlepas untuk mencari kehidupan melalui oksigen. Bibir merekah, nafas yang panas, dahi yang saling menempel dan manik yang saling bertatapan seakan menjelaskan apa yang mereka inginkan. "You're my first kiss, Edward", bisik Alleta. "So that you", balas Edward Tanpa berpikir panjang, keduanya kembali memagut satu sama lain. saling menyalurkan hasrat masing-masing tanpa memikirkan apa yang akan terjadi hari esok. Entah itu perpisahan entah itu persatuan. ***** "Ed", panggil Alleta yang baru saja selesai menikmati makan malam. Kali ini Edward memesan dari luar, ia terlalu malas untuk memasak. "Hmm", sahut Edward tanpa mengalihkan tatapannya pada layar ponsel. "Boleh aku meminjam ponselmu unruk menghubungi Ibuku? Aku merindukannya, ia pasti mengkhawatirkanku", pinta Alleta. "Tidak boleh", jawab Edward. "Lho, kenapa?", tanya Alleta. "Pokoknya tidak boleh", jawab Edward. "Tidak ada bantahan, Alleta. besok akan kupanggilkan dokter Citra untuk memeriksa keadaanmu", ujar Edward. Alleta memajukan bibirnya kesal "galak", gumamnya. Ia beranjak dari sofanya dan meninggalkan Edward menuju kamarnya. Ia masih merasa pusing dan mual, untuk itu ia memilih untuk berbaring di ranjang dan memejamkan mata. Alleta menempati kasurnya yang hangat, menaik selimut hingga sebatas mulut dan tidur menghadap tembok. Menikmati suasana hening dan berusaha untuk menahan sakitnya. Tak berselang lama, terdengar suara pintu terbuka. Alleta merasakan pergerakan di ranjang yang ia tempati. Dan benar saja, sepasang tangan melingkari tubuhnya dari belakang dengan lembut. "Kau sudah tidur?", tanya Edward. "hmm.. hampir", jawab Alleta tanpa membuka mata. "Kau kedinginan?", tanya Edward lagi. "Lumayan", jawab Alleta lagi. Tangan Edward meraba perut Alleta yang terkena tendangan dan tumpahan sup panas. "Apa masih nyeri?", tanya Edward. "tidak sesakit beberapa hari yang lalu", jawab Alleta. Gadis itu membuka matanya dan membalikan tubuhnya. Dengan ini ia berhadapan persis dengan Edward. Tatapan keduanya bertemu. "Jangan terlalu banyak bertanya, nanti aku sulit melupakanmu", ucap Alleta. "Tidak perlu dimasukan ke hati, aku hanya memenuhi janjiku untuk bersikap baik kepadamu", jawab Edward. "Apakah ciuman-ciuman itu juga termasuk dari perjanjian kita?" "Entahlah, tapi ciumanmu tidak buruk" Alleta tertawa dengan ringan. Entah kenapa ia tertawa, yang jelas ia merasa lucu mendengar jawaban Edward. Tanpa ia sadari, pria dihadapannya sedikit terpesona mendengar suara tawanya tadi. "Kau itu lucu, tapi jahat, kejam pula. Tapi kayaknya sulit untukku melupakanmu. Apalagi Edwin, adikmu itu sangat menggemaskan, Ed. Aku suka sekali mengajaknya bermain, kalau aku punya adik seperti Edwin pasti aku mmft" Edward menutup mulut Alleta dengan ciuman yang langsung dibalas oleh Alleta. Keduanya saling mengeratkan pelukan masing-masing dan hanyut dalam kecupan. Edward meremas b****g Alleta dan menariknya semakin mendekat. Desahan Alleta terdengar begitu merdu di telinga Edward. Tanpa berpikir panjang, Edward memutar posisi membuat Alleta terperangkap di bawahnya. Suasana begitu intim ketika keduanya saling bertatapan dengan deru nafas panas dan kelembutan bibir yang habis dicium. Edward mengecup rahang Alleta dan turun keleher gadis tersebut. Alleta mendorong d**a Edward untuk mengingatkan, tapi gagal. Edward semakin merapatkan tubuhnya dan kembali melumat bibirnya dengan kuat. Alleta menahan erangannya ketika tangan Edward mulai meremas dadanya pelan. Tangan Alleta menarik tangan Edward untuk menghentikannya hingga akhirnya pria itu melapas pagutannya. "Tidurlah", gumam Edward seraya beranjak dari ranjang. "Kau mau kemana?", tanya Alleta. "Mandi" "Mandi?" "Aku pria normal yang sangat berhasrat, biarkan aku mandi kalau kau tak ingin besok pagi berujung tanpa helai denganku", jawab Edward. *****   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN