"Sejak pertama kali aku menatap matamu, aku memiliki suatu keyakinan bahwa kau adalah jodohku"
*****
"Selamat pagi, Tuan Edward"
Seluruh pegawai Angkasa Corps berdiri menyambut sosok bertubuh tinggi dengan wajah tampan yang khas akan perpaduan Indonesia dan Amerika dengan manik coklat madunya.
Ya. Dia adalah Edward Darius Allan, pemilik dari Angkasa Corps. Tetapi dibalik wajahnya yang tampan tersebut, tersimpan keangkuhan yang selalu memandang orang sekitarnya dengan rendah kecuali orang tuanya. Ya, itulah Edward. CEO tampan yang angkuh.
Tak ada satupun pegawai yang dihiraukan olehnya. Padahal banyak sekali orang yang mengagumi kejeniusannya dalam mengembangkan perusahaan yang diberikan ayahnya, George Arch.
"Selamat pagi, Tuan Edward",sapa Milena sekretaris Edward.
"Milena, hari ini akan ada orang yang mengantarkan catering. Panggil penanggungjawab catering tersebut ke ruanganku",ujar Edward tanpa sedetik pun melirik ke arah sekretarisnya.
Jangan membayangkan kisah CEO yang terpikat dengan sekretarisnya, karena bagi Edward sekretarisnya tidak akan pernah pantas untuk disandingkan dengan dirinya.
Angkuh bukan? Ya.. begitulah Edward.
"Baik, tuan Edward",jawab Milena seraya menunduk
Setelah pintu ruangan telah ditutup rapat olehnya, Edward melangkah menuju meja kerja kebanggaannya. Ia mendengus perlahan.
"Dasar, orang-orang bodoh tidak berguna. Mereka menunduk hanya demi pekerjaan mereka",gumam Edward angkuh.
*****
Disisi lain, Alleta tengah berdiri dengan kepala mengadah menatap gedung pencakar langit yang menjulang dihadapannya. Mulutnya menganga tanpa suara, matanya membulat terkagum melihat gedung yang luar biasa itu dan secara otomatis memicing saat terkena pancaran matahari dari langit.
"Wow..",gumam Alleta
"Permisi"
Alleta bergerak salah tingkah saat pegawai keamanan gedung menghampirinya.
"Oh, ya. Saya dari Felicha Catering mengirim pesanan makanan untuk acara kantor siang ini"
Petugas itu tersenyum "Saya Dedi kepala keamanan kantor ini, mari silahkan ikuti saya"
*****
Alleta
Aku mengikuti petugas keamanan yang memperkenalkan dirinya sebagai Pak Dedi, ternyata ia memanduku ke receptiont.
"Selamat pagi, selamat datang di Angkasa Corps. Ada yang bisa saya bantu?"
Wow! Ramah sekali resepsionis perusahaan ini. Cantik pula!
"Pagi, ehhmm saya Alleta dari Felicha Catering datang mengantar pesanan untuk acara kantor hari ini"
"Ah, baik nona Alleta. Pihak kami akan membantu membawa makanannya, anda diminta untuk menemui tuan Edward CEO dari perusahaan kami di ruangannya"
"Hah? Kenapa? Apakah ada yang salah, mbak?"
Seketika bayangan seorang CEO bertampang garang, perut buncit, dan sudah berumur yang memarahi dengan seram hinggap di kepalaku. Iiih takut, aku tidak mau dimarahi!
"Mohon maaf tapi saya kurang tau. Silahkan, kami akan mengantar anda ke ruangan eksekutif"
Selama di lift aku melirik tubuhku, humm.. pakaianku tidak terlalu formal sih, tapi masih cocoklah.
Ting!
Pintu lift terbuka, kakiku masih terasa kaku untuk digerakan. "Mari nona Alleta"
"Oh, iya"
Aku melihat seorang wanita cantik dengan tubuh tinggi semampai berdiri menyambutku seraya tersenyum.
"Selamat siang, nona Alleta. Perkenalkan saya Milena sekretaris Tuan Edward. Terima kasih atas kehadirannya, Tuan Edward meminta anda untuk bertemu dengan beliau. Mari saya antar", Aku mengangguk (lagi) dan mengikuti pegawai perusahaan itu (lagi).
Tok! Tok! Tok!
Suara panggilan yang mempersilahkan masuk terdengar dari dalam, Milena membuka pintu ruangan tersebut. "Permisi tuan Edward, nona Alleta penanggungjawab catering hari ini sudah datang"
"Suruh ia masuk dan kau bisa kembali ke mejamu", ucap seseorang dari dalam ruangan di depanku.
"Silahkan nona", aku mengangguk lagiiii! Astaga sepertinya aku bisa dinobatkan menjadi nona mengangguk setelah ini.
Setelah pintu ruangan ditutup dari luar, aku memberanikan diri menatap orang yang berdiri dibalik meja kerja. Dan... oh Tuhan! Inikah yang dimaksud dengan indah pada waktunya?
*****
Mata keduanya bertemu, saling menilai satu sama lain. Namun sayang penilaian mereka sangat jauh berbeda.
Ya Tuhan, inikah yang dimaksud dengan indah pada waktunya? Tampan sekali pria ini, apa ini jawaban dari doaku semalam?, pikir Alleta.
Cih! Kenapa aku harus bertemu dengan makhluk yang paling tidak aku inginkan? Wanita gemuk yang menjijikan, pikir Edward.
*****
Mataku mengekor pria tampan yang beranjak dari meja kerjanya dan duduk di sofa dekat jendela ruangan. Ruangan ini sangat mewah, sama persis seperti ruangan-ruangan eksekutif di serial drama televisi kesukaanku. Andai pria dihadapanku sekarang tidak setampan ini, aku pasti akan lebih memilih terkesan dengan desain interior yang wah ini.
"Silahkan duduk", sautnya.
"Ya, terima kasih Tuan", aku berjalan dan duduk di hadapan si tampan bernama Edward. Jika disandingkan nama kami sepertinya cocok, Edward dan Alleta tuh kan!
"Ehm... jika boleh saya tau apa ada hal yang salah dari catering kami, Tuan?", tanyaku hati-hati.
Kudengar ia mendengus pelan, eh.. Aku salah tanya ya?
"Aku dengar ibumu yang menolong adikku saat kabur, benarkah?"
"Ah, iya betul. Ibu menceritakan kepada saya tentang hal itu tadi pagi"
"Lalu?"
Aku mengernyit "lalu?", tanyaku mengulang pertanyaannya.
"Lalu apa yang kalian inginkan sebagai imbalan telah menolong adikku? Sebutkan saja nominalnya"
Hatiku sedikit tersentil mendengarnya. Ini harus diluruskan.
"Oh, emh maaf sebelumnya Tuan Edward. Ya, saya akui memang usaha keluarga kami masih tergolong usaha kecil rumahan. Tapi Ibu saya menolong Edwin dengan ikhlas tanpa tau siapa orang tua Edwin sebelumnya, kami juga tidak akan meminta uang sedikitpun sebagai imbalan", jelasku.
Aku menatapnya, tapi aku menemukan tatapan tak wajar ketika melihatku. Wajahnya menatapku seperti pamandangan yang menjijikan. Apakah penampilanku saat ini sangat tidak pantas? Tapi, sepertinya ia bukan orang yang hobi merendahkan orang lain.
"Cih, tidak ada yang namanya menolong tulus dengan hati di dunia ini asal kau tau",gumam Si tampan Edward itu sangat dingin.
Kalau orang awam pasti akan sakit hati mendengar ucapannya yang sangat merendahkan seperti itu. Tapi aku tidak merasa kesal sedikitpun, kali ini aku yakin Edward adalah sosok berhati baik. Ia bersikap angkuh seperti ini mungkin karena ia tidak pernah menemukan orang yang tulus kepadanya. Aku tersenyum dan menggeleng pelan padanya.
"Anda salah, di dunia ini masih banyak orang yang bertindak tulus dari hati, asal kau tau Tuan. Salah satunya adalah Ibu saya. Beliau selalu mengajarkan saya dan kakak saya untuk melakukan segalanya dengan hati yang ikhlas. Ibu saya juga selalu menanamkan sikap tolong menolong terhadap orang lain dan...."
"Aku tak meminta nasihat gadis gemuk sepertimu! Yang kutanyakan adalah berapa nominal yang kau minta!", sentak Edward memotong ucapanku.
Aku terdiam mendengarnya. Lantas aku memberinya sebuah senyuman. "Dan aku tidak butuh senyum itu", ucapnya lagi.
Aku sedikit mendengus geli, kenapa di mataku ia begitu lucu sih? Bolehkah aku tertawa?
"kau menertawaiku!?", ucapnya keras. Oh, jangan sampai dia salah paham.
"Tidak sama sekali, tuan. Tapi saya punya satu pertanyaan boleh?", pintaku.
"Apa itu?", gumamnya.
"Apa kau percaya takdir?"
Wajah angkuh itu terlihat kaget hanya sepersekian detik dan kembali menjadi dingin dengan sangat cepat lalu menatapku dengan sangat dingin.
"Apa maksud pertanyaanmu itu?"
"Tidak ada maksud apapun", jawabku.
"Aku tidak akan menjawab sebelum kau menjawab pertanyaanku"
"Baiklah, saya akan menjawab. Saya tidak meminta nominal berapapun, saya dan keluarga saya tulus menolong Edwin. Dan jika anda percaya akan takdir, saya punya sebuah firasat bahwa... bahwa pertemuan kita tidak berhenti sampai sini", lantangku.
"Kau..."
Cklek!
Kami menoleh ke arah pintu yang tiba-tiba dibuka seseorang tanpa diketuk dan muncullah seorang anak laki-laki terlucu yang pernah kulihat.
"Kakaaaaaaak!", anak tersebut berlari ke arah Edward dan melompat memeluk Edward yang tidak bereaksi apapun terhadap anak kecil yang memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’. Eh, tunggu dulu, jangan-jangan dia adalah Edwin, tampan sekali! Lucu dan menggemaskan! Ya ampun ingin rasanya aku menarik Edwin dan mengajaknya bermain sekarang juga!
"Edwin, kenapa kau bisa ada disini?", tanya Edward dengan geram. Tuhkan benar dia Edwin, tapi kenapa Edward dingin sekali dengan adiknya?
"Aku kangen kakak, bolehkan aku bermain sama kakak hari ini?" pinta Edwin. Kasihan sekali anak ini, ia begitu memohon hanya untuk bermain dengan kakaknya. Apakah ia benar-benar kesepian di rumahnya? Bolehkah ia bermain denganku saja? Aku sedang libur kuliah juga toh.
"Tidak bisa, Ed. Kakak sibuk hari ini", lagi-lagi Edwar menjawab pertanyaan Edwin dengan ketus.
"Yaaah, tapi Edwin ingin pergi ke taman bermain hari ini kak", Edwin yang merajuk benar-benar lucu. Aiih, aku gemas sekali dengannya!
"Kakak sibuk Ed, kau pergi dengan pengawalmu sa..."
"Ehm, bagaimana kalau sama kakak saja Edwin?", tawarku yang entah muncul keberanian darimana menginterupsi perkataan Edward, sontak kakak-beradik itu beralih menatapku. Bedanya Edward menatap tidak suka dan Edwin menatapku dengan semangat.
"Kakak siapa? Wajah kakak mirip tante Felicha", tanyanya. Aku tersenyum manis kepadanya.
"Yup! Aku anaknya tante Felicha, Ed", mata Edwin berbinar dan berlari ke arahku
"Benarkah? Kakak cantik sekali sama seperti tante Felicha cantiknya!",seru Edwin
O'ow, sepertinya wajahku merona. Ini pertama kalinya aku dipuji cantik oleh orang lain walaupun yang memujiku itu anak kecil.
"Terima kasih, kau juga sangat tampan, Ed",jawabku
Kudengar dengusan merendahkan dari Edward, namun aku dan Edwin sama sekali tidak tertarik untuk menghiraukan.
"Ayo kak, kita ke taman bermain sekarang saja. Kakak bilang tadi mau ajak aku bermain kan?", ajak Edwin.
"Tentu, ayo!", seruku tak kalah bersemangat. Edwin menggandeng tanganku dan menarik untuk berdiri.
"Tunggu dulu! Kau tidak bisa pergi begitu saja dengan Edwin, aku tidak mengenalmu dan aku tidak percaya jika Edwin bersamamu!",bentak Edward
Aku merasa tangan Edwin bergetar dalam genggamanku. Kasian sekali anak ini, ia tampak ketakutan melihat kakaknya menggertak seperti ini. Aku tersenyum lagi, oh Tuhan sepertinya aku jatuh cinta kepada pria angkuh ini. Entahlah, sepertinya perasaanku kali ini langsung memilihnya sebagai orang yang aku sukai. Berikan aku cara untuk mendapatkan hatinya.
"Sepertinya aku menyukaimu, Tuan", ungkapku.
"Apa kau bilang?!", sentaknya.
"Saya bilang ‘sepertinya aku menyukaimu Tuan Edward’, saya yakin anda mendengarnya dengan jelas", ucapku.
"Kau pikir kau ini siapa berani mengatakan hal seperti itu kepadaku, lancang!"
"Saya seorang manusia, sama seperti tuan. Dan setiap manusia berhak menunjukan rasa sukanya kepada siapapun. Saya rasa hal tersebut bukanlah sesuatu yang lancang", tegasku.
"Dan tidak perlu khawatir soal Edwin, saya akan menjaganya sepenuh hati. Saya menyayangi Edwin dan menganggapnya seperti adik saya sendiri, kami permisi"
"Ayo Edwin", ajakku.
"Ayo kak", seru Edwin dengan sangat riang.
Kami meninggalkan ruangan CEO angkuh yang sedang termenung tanpa kata. Firasatku benar-benar mengatakan bahwa ada sebuah ikatan takdir yang mengatur pertemuan kami. Dialah yang akan menjadi takdirku!
*****