Sembilan

1077 Kata
“Kamu lapar, tidak?” Kening gadis itu mengerut. Steve masih asyik dengan gawai yang dipegangnya. Membiarkan Irish menatapnya dengan sorot aneh. “Saya mau pamit pulang, Pak.” Akibat ucapannya, kepala Steve menoleh dan tersadar jika gadis yang masih duduk di sebelahnya sudah berdiri dan menyampirkan tas di pundak. Pria itu kemudian tertawa untuk alasan yang entah apa. Steve ikut bangkit berdiri untuk mengantarkan Irish ke depan sana. Sebelum mereka sampai di ambang pintu, langkah kaki Irish terlebih dulu berhenti. “Bapak mau ngapain?” Steve yang mengekori gadis itu dari belakang, memperlihatkan kunci mobil yang ia putar dengan telunjuknya. Sesekali digerakkan untuk lebih menunjukkan apa yang ia maksud. Namun nyatanya, Irish masih tidak mengerti dengan kode yang diberikannya. “Mobil saya sudah beres dan tidak ada lagi kerusakan. Ayo,” ajaknya hingga pria itu mendahului Irish yang masih terpaku di ambang pintu. “Ayo,” ujarnya sekali lagi. “Sekalian saya mau membeli makanan.” Irish gamang. Kedua tangannya saling bertaut. Isi kepalanya tiba-tiba mengarah kepada beberapa bahan masakan yang ada di dalam lemari pendingin yang tadi ia bereskan. Sebelum Steve benar-benar memasuki mobil, gadis itu mengucapkan sebuah kalimat yang sanggup membuat pria dengan rambut acak-acakan itu menaikkan sebelah alisnya. “Katanya mau pulang sekarang?” Irish melirik pergelangan tangannya. Memeriksa waktu yang tertera di jam yang melilit di sana. “Tiga puluh menit ..., saya rasa bisa pulang tiga puluh menit lagi untuk membuatkan dulu makanan untuk Bapak.” Bibir pria itu tertarik ke atas. Lengan yang menyentuh pintu mobil itu kembali ditarik. Steve mengikuti langkah Irish untuk masuk kembali ke dalam rumah. “Apa saja saya tidak masalah.” Steve menjawab saat Irish menanyakan ia ingin dimasakkan makanan seperti apa. Gadis itu mengangguk dan mulai berkutat di dapur. “Kalau saya mandi dulu, tidak apa-apa?” Kepala pria itu menyembul dari balik tembok. Irish meliriknya beberapa saat sebelum kepalanya mengangguk dan mengatakan, mengapa ia harus merasa keberatan? Ini adalah rumah Steve. Ia hanya bisa menurut saja tanpa banyak bertingkah. Pria itu masuk ke dalam kamar. Suara desisan nasi saat Irish menumpahkannya ke dalam wajan mulai terdengar. Apa lagi dibarengi dengan semerbak wangi aroma bawang goreng yang sebelumnya sudah ia potong-potong sebagai bumbu utama nasi goreng sayur yang sedang dibuatnya. Entah kapan pria itu menanak nasi, yang jelas saat ia membuka lemari, makanan pokok itu hanya tersimpan begitu saja dan hampir mengering. Irish mengambil piring untuk menuangkan hasil masakannya. Menyiapkan gelas baru juga untuk menuangkan sebuah jus yang ada di dalam lemari pendingin. Menurutnya, orang yang baru pulang bekerja akan sangat membutuhkan sesuatu yang segar, seperti minuman ini. Karena tadi otaknya tidak berfungsi dengan baik, makanya belum terpikirkan untuk memberikan sebuah jus yang ada di dalam botol kepada Steve. Kali ini kepalanya sudah bisa diajak bekerja sama lagi. Atau tidak. Saat wangi parfum itu menghampiri hidungnya, mengalahkan aroma nasi goreng yang ada di hadapannya, kesadaran Irish hampir saja menguar. Sama seperti uap dari nasi yang ada di piring. Steve melewatinya untuk menaruh handuk basah ke belakang. Ada sebuah besi jemuran di sudut kiri. Mungkin itu tempat tujuan Steve. “Saya hanya bisa membuatkan nasi goreng saja.” Pria itu mengangguk dengan senang. Tangannya meraih gelas yang terisi jus mangga dan menyeruputnya sambil berdiri di samping Irish. “Saya tidak ingat jika masih memiliki jus di dalam kulkas,” ujarnya pelan. Lalu tangannya menarik kursi untuk kemudian mendudukinya. Tangan kanannya bergerak untuk menyapu uap dari nasi goreng hingga harum itu menembus hidungnya. Senyuman Steve tercetak di sana. Satu suapan masuk ke dalam mulut dan mata pria itu menutup untuk kemudian merasakan sensasinya dalam-dalam. “Keras,” gumamnya. Irish tertawa tidak sadar saat melihat kerutan di kening Steve timbul setelah sendok itu kembali ke tempatnya semula. Di atas piring. “Suruh siapa tidak memasak nasi sebelum berangkat kerja?” Lalu mengatupkan mulut setelah sadar akan kalimat yang baru saja ia ucapkan dengan seenak hati. Irish kira, akan ada sorot marah dari pria di dekatnya karena kalimat itu. Namun, ketakutan itu tidak terjadi. Yang ada, Steve malah terkekeh pelan. “Kamu bisa masak, ternyata. Rasanya enak, terlepas dari nasi yang keras ini.” Steve memasukkan suapan keduanya ke dalam mulut. “Kalau masakan seperti itu sih, ya bisa. Yang ribet seperti rendang, tongseng, dan banyak bumbu itu belum bisa.” Steve hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. “Saya juga tidak terlalu suka masakan ribet.” Irish bergeming. Apa maksudnya? Pria itu kembali fokus pada makanannya, lalu memandang Irish yang masih berdiri di dekat meja makan kecil itu. Sendok itu terangkat dengan sebuah senyum kecil. “Mau?” Irish langsung menggeleng. “Bapak saja.” Gadis itu melirik jam yang ada di pergelangan tangannya. Sudah lebih empat puluh menit dari ucapannya yang hanya perlu tiga puluh menit untuk membuatkan pria itu sebuah makanan. Maka, inilah saatnya untuk pamit pulang yang sesungguhnya. “Sebentar, saya antarkan saja. Jam segini bus sudah susah, kan?” Untuk mengucapkan kalimat itu, Steve membutuhkan banyak waktu untuk memasukkan suapan terakhirnya ke dalam mulut. Untung saja pria itu tidak tersedak. Irish bahkan masih bisa melihat jika rambut Steve belum kering sepenuhnya. “Ayo,” ucapnya setelah membawa kunci mobil dari dalam kamar. Irish mematung, masih di tempatnya. Gadis itu membawa segelas air mineral untuk diberikan kepada Steve. “Bapak belum minum.” Untuk sejenak, pria itu terdiam dan merenungi tingkahnya yang ceroboh dan menjurus aneh. Karena tidak biasanya ia melupakan kebutuhan mineral tubuh itu. Apa lagi setelah makan. “A-ah, ya. Saya memang sengaja mengambil kunci mobil dulu sebelum minum.” Steve mengambil gelas yang disodorkan gadis itu meski harus melihat wajah Irish yang menahan tawa. “Saya pulang sendiri saja, bisa. Jika bus sudah jarang, masih ada angkutan umum. Tidak usah repot-repot. Lagi pula Bapak baru pulang kerja, kan? Pasti lelah.” “Saya hanya baru pulang kerja. Bukan habis kuliah, belajar, lalu bekerja seperti kamu. Cepat, saya antar saja.” Penerangan di depan rumah tidak seterang di ruangan tengah. Namun itu cukup untuk menyembunyikan semburat merah yang ada di pipi Irish. Tenang saja, hatinya yang menghangat tidak akan ada yang mengetahuinya. Kecuali mungkin seorang pria yang juga memiliki perasaan yang sama. Steve menahan senyumannya untuk tidak mengembang saat melihat gadis yang rambutnya diikat, namun Irish menyampirkan anak rambut ke belakang telinga. Padahal tidak ada yang harus dirapikan di sana. Rambut indahnya baik-baik saja. Steve mengangkat tagannya untuk kemudian menyentuh puncak kepala Irish. Gadis itu sontak terkaget. Terlebih setelahnya, bukan hanya sebatas sentuhan. Melainkan rambutnya diacak pelan dengan suara tawa yang renyah dan berat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN