Sepuluh

1162 Kata
“Bapak Bedak itu artinya apa?” Uhuk. Irish tersedak dalam lamunannya. Pria itu malah tertawa melihat tingkah gadis di sampingnya yang membesarkan mata setelah pertanyaan itu terlontar dari bibirnya. “Saya tidak tahu kalau itu nama panjang Bapak. Jadi, saya menamainya seperti itu karena takut salah dalam pengetikan.” Irish menjawab dengan menunduk. Jari-jari kurus itu memainkan ujung kaus yang dikenakannya. “Karena itu merek bedak bayi,” lanjutnya dengan pelan. Namun, hal itu cukup untuk membuat seorang Steve Johnson tertawa kecil karena melihat tingkah Irish yang demikian. “Saat seperti ini, malah kamu yang terlihat seperti bayi.” Tidak melihat ke arah sampingnya, pria itu masih memfokuskan pandangannya ke jalanan depan sana. “Saya simpan nomor kamu dengan nama Baby saja, ya kalau begitu.” Sontak, gadis itu menoleh dengan wajah kaget. Lalu menggeleng setelahnya. “Kenapa tidak boleh?” Baby itu, bahasa Indonesianya adalah bayi, kan? Namun, baby juga bisa berarti panggilan sayang. “Irish saja. Irish Daniara. Itu nama panjang saya.” Steve tidak menjawab. Pria itu hanya memperlihatkan senyum miringnya. Hanya membuat Irish berdegup kencang saja untuk alasan yang tidak jelas. Ia curiga jika Steve adalah keturunan dewa listrik. Ada tidak, ya dewa seperti itu? Karena setiap dekat-dekat dengan Steve, jantung Irish seperti tersengat sesuatu hingga membuat degupannya tidak dapat terkontrol. Seperti saat ini. Mata Irish tidak sengaja melihat sebuah buku yang ada di atas dashboard. Dijadikan alas tisu. Tangannya meraih benda itu dengan semangat. “Ini buku terjemahan Anthony Gill?” “Kamu tahu?” Dengan semangat, gadis itu mengangguk. Tangannya masih setia membelai permukaan sampulnya dengan takjub. “Saya baru baca sampai buku keempat.” “Mau baca? Ambil saja,” ucap pria itu dengan santai. Tidak berlaku demikian dengan gadis yang dipersilakan. Irish memandang balik Steve dengan tatapan tidak percaya. “Boleh memangnya?” Pria itu mengedikkan kedua bahunya. Jalanan yang mereka lalui terdapat banyak sekali polisi tidur hingga Steve harus sangat berhati-hati. Berhati-hati dengan jalanan di depan, dan senyuman mengembang gadis di sebelahnya. Melenceng sedikit, keduanya bisa membuat bahaya. “Kenapa tidak? Saya baru tahu kalau kamu suka membaca, ternyata.” Untuk urusan yang satu ini, ternyata Irish bisa bersahabat dengan Steve. Membicarakan sebuah hal kesukaan dengan orang yang tepat, tentu saja tidak ada yang bisa menandingi rasa senangnya. Itu yang Irish rasakan. Gadis yang terlihat judes dan selalu menjawab perkataan Steve dengan nada malas itu kini hilang entah ke mana. “Saya suka baca, saya suka buku. Saya suka dunia literasi. Dunia sastra, saya sangat menyukainya.” Irish kembali berceloteh dengan riang. Menceritakan jika Anthony Gill adalah salah satu penulis kesukaannya. Semua karyanya sudah ia ikuti dari lama. “Saya juga punya buku yang Ke Mana Pun Perahu Berlayar, Kamu Tempatku Berlabuh.” Gadis itu menutup mulutnya tidak percaya. “Saya mencarinya di setiap toko, masih belum ketemu.” Steve menepuk dadanya dengan bangga. “Tentu saja, ini buku sudah tidak diproduksi lagi.” Bahu Irish merosot. Bibir bawahnya tertekuk dengan raut wajah lesu. “Tapi katanya, ada satu penerbit yang akan mencetak ulang buku itu.” Wajah Irish menjadi cerah seketika. “Mungkin butuh beberapa bulan, atau bahkan satu tahun agar buku itu bisa dibeli terbit.” Secepat itu bahu Irish kembali merosot. “Jangan sedih begitu, padahal saya cuma mengarang.” Steve tertawa hingga pundaknya bergetar. Untung saja sekarang mereka sedang berhenti karena lampu lalu lintas di depan sana memperlihatkan warna merah. Beberapa detik seperti itu hingga Steve bisa melihat wajah marah Irish lebih lama. Sebuah pukulan melayang di bahu kirinya. Gadis itu masih memberengutkan wajah. Memandang sebal ke arah Steve. Pria yang berada di balik kemudi sama sekali tidak merasa keberatan akibat pukulan yang baru saja ia terima. Steve lebih fokus pada wajah yang entah mengapa sanggup menggelitik perutnya. “Saya bercanda,” ucap pria itu hingga wajah Irish kembali normal. “Bercanda di bagian mananya?” Tanya Irish dengan hati-hati. Steve tertawa kembali. “Kamu ini gadis yang berpikir panjang setelah dibohongi, ya.” “Tentu saja. Siapa pun akan melakukan hal yang sama jika dibercandakan sekali,” balasnya. Steve menggeleng. “Tidak. Tidak semua orang seperti kamu. Ada juga yang sembrono tanpa melihat dia pernah terjatuh ke dalam lubang.” “Maka saya bukan gadis seperti itu. Tidak akan pernah membiarkan diri sendiri jatuh di lubang yang sama,” ucapnya dengan penuh keyakinan. “Jadi, bagian mana bercanda yang Bapak katakan tadi?” Steve memicingkan mata. “Eiy, kamu ini selain gadis yang penuh kehati-hatian, ternyata tidak mudah menyerah juga, ya. Saya kira, kamu akan melupakan pembahasan ini.” “Bagian ada penerbit yang mau mencetak ulang bukunya, atau bagian tahun depan terbit?” “Tahun depan terbit,” jawab Steve pada akhirnya. “Berarti kalau begitu, masih ada kemungkinan terbitnya tidak sampai satu tahun ke depan, ya.” Gadis itu menghembuskan napas lega. “Tapi kamu harus ingat juga, jika menerbitkan buku tidak semudah dan secepat yang kamu kira.” “Tapi ini kan buku terjemahan, bukan naskah mentah.” Irish Tidak Mau Mengalah Daniara. “Tetap saja, namanya perusahaan penerbit, mereka memiliki jadwal cetak setiap buku yang harus mengantri. Bisa saja buku terjemahan itu mendapat antrian yang masih sangat lama.” Steve Tidak Mau Mengalah Part Dua Johnson. “Bapak menyebalkan.” “Kamu juga.” “Bapak lebih me-“ “Iya, saya lebih menyebalkan. Ini rumah kamu ambil jalan yang mana?” Steve akhirnya mengalah karena tahu jika sampai kapan pun, pembicaraan ini tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Satu sifat lagi yang ia tahu dimiliki gadis itu. Keras kepala. “Belok kanan.” Steve memutar kemudi ke arah yang disebutkan Irish. Mulai melajukan mobil dengan tenang. “Kamu besok ada jadwal kuliah?” “Kosong.” Pria itu menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu, bagaimana kalau besok-“ “Saya tidak ada jadwal kuliah, tapi ada jadwal kuli ah.” “Hah?” Steve mengerutkan keningnya. “Kuli ah. kuli, ah. Kuli, Pak. Bekerja. Bapak tidak tahu arti kata kuli?” Steve tertawa kembali. Ayo hitung, sudah berapa kali pria itu tertawa saat bersama Irish? Setelah pekerjaannya selesai beberapa saat lalu dan tidak ada satu pun hal yang membuat bibirnya tertarik. Lalu dunianya berubah setelah melihat sepasang sepatu yang ada di depan pintu rumah. Seutas senyum langsung mengembang begitu saja meski perasaannya belum yakin seratus persen jika pemilik sepatu itu adalah Irish. Si gadis yang telah mencuri perhatiannya sejak pertama bertemu. Semenjak pertama kali ia datang ke kota ini. “Sudah, di sini saja.” Gadis itu menegakkan tubuhnya dan membuka sabuk pengaman. “Kenapa di sini? Ayo, saya antarkan saja sampai ke depan rumah.” Irish menggeleng tegas. Bayangan para tetangganya yang akan mendapatkan satu bahan gosip di esok hari membuat bulu di tengkuknya meremang. Mulut-mulut ceriwis itu akan berbusa jika tidak ada bahan pergibahan saat memilik sayuran. “Di sini saja.” Irish menekankan. Steve hanya bisa mengiyakan dan mematikan mesin mobilnya. Sebelum gadis itu membuka pintu, Steve menghentikannya dengan sebuah kalimat. “Mau membaca buku berdua, di kamar saya?”

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN