Delapan

1104 Kata
Ibu sudah tidur? Pesan itu sudah terkirim tiga puluh menit yang lalu, dan sampai saat ini belum ada balasan juga. Sedikit banyak, perasaannya senang. Bukankah itu artinya Mira sudah tertidur, sehingga tidak ada pesan jawaban yang masuk ke ponselnya? Irish membenarkan letak kursi meja makan yang hanya terdapat untuk duduk dua orang saja. Ya ..., memangnya untuk apa memerlukan banyak kursi, jika yang menempati hunian ini hanya satu orang saja? Seharusnya ia tidak berhak melakukan yang satu ini karena belum mendapat izin sang empunya rumah. Membuka lemari pendingin. Namun apa boleh buat, rasa hausnya tidak dapat terbendung. Sedangkan tidak ada air tersisa di dalam dispenser sana. Ternyata di dalamnya, terdapat beberapa bahan masakan yang masih segar. Terbungkus plastik dengan susunan acak. Memang benar jika ia mendapat informasi jika orang yang menyewa tempat ini belum ada satu minggu menghuni rumah yang tidak terlalu besar ini. Mungkin itu alasannya semua sayuran itu masih terlihat segar. “Beresin sekalian, deh. Toh, yang punya rumah enggak akan marah juga, kan?” Gadis itu bergeming seorang diri. Tangannya dengan cekatan merapikan letak plastik-plastik itu agar lebih terlihat enak dipandang dan juga menyisakan banyak tempat di dalam kulkas sana. Ini adalah hari keduanya bekerja. Hingga saat ini, Irish masih belum pernah bertemu dengan atasannya itu. Ia hanya mendapat informasi jika yang menyewa penginapan milik ibu Jeni ini adalah seorang laki-laki berumur. Gadis itu hanya mengantongi nomor teleponnya saja yang sampai saat ini hanya pernah ia gunakan sekali untuk mengirim pesan. Isinya mengenai informasi tempat ia menyimpan kunci rumah. Itu saja. Selebihnya, kontak itu tidak pernah ia hubungi lagi. Kontak Bapak Bedak tersimpan aman di gawainya. Jeni mengatakan jika nama laki-laki yang menempati rumah ini adalah Johnson. Bukankah itu adalah salah satu merek dagang bedak bayi ternama? Namanya terlalu sulit untuk tulis Irish. Takut salah dalam pengetikan. Jadi, gadis itu menyimpan nomor atasannya dengan nama Bapak Bedak. “Apaan sih gue, malah mikirin nama panggilan kayak gitu,” gumam Irish yang menepuk pipi dengan kedua tangannya setelah selesai membereskan semua bahan masakan itu. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan ia masih berada di rumah ini. Karena hari pertamanya bekerja tidak ada jadwal kuliah sore, maka ia bisa datang ke sini di siang hari setelah selesai dengan urusan pendidikannya. Dan Irish bisa memaklumi jika saat pertama ia bertandang ke sini tidak ada siapa pun. Mungkin penyewa rumah ini masih bekerja. Namun sekarang, sudah larut seperti ini, si Bapak Bedak masih belum pulang juga ke rumah. Apakah tidak akan terjadi hal apa pun jika ia hanya meninggalkan rumah dan menguncinya saja? Jika kemarin ia pulang saat matahari belum tenggelam, ia masih bisa menitipkan rumah kepada Mbak Ratna, pemilik rumah samping. Namun saat ini, hal tersebut rasanya tidak enak dilakukan karena akan mengganggu kenyamanan. “Ini kalo gue pulang sekarang, enggak bakal ada maling, kan ya? Tapi kalo ada yang ilang, terus yang punya rumah nyalahin gue, gimana? Masa iya, gaji belum keterima gue udah harus ganti rugi?” “Tidak ada yang harus kamu ganti.” Irish langsung membalikkan tubuhnya ke belakang saat suara berat itu masuk ke indra pendengarannya. Sebuah suara yang terasa tidak asing. “Loh?” Matanya membesar tak kala melihat siapa pemilik suara itu. Tanpa sadar jika telunjuknya mengarah kepada seorang pria yang entah kapan masuk ke dalam rumah karena tidak menimbulkan bunyi sedikit pun. Atau itu karena Irish terlalu terhanyut dengan pikirannya yang tidak-tidak. Steve membuka dua kancing kemejanya dan menatap Irish dengan santai. Ada sebuah tarikan senyum di bibirnya. “Ternyata kita bertemu lagi, ya.” Itu adalah bentuk sapaan dari pria yang sedang menyugar rambutnya ke belakang. Steve duduk di kursi. Matanya masih memandang seorang gadis yang terpaku menatapnya dengan tidak berkedip. “Bisa ambilkan saya air minum?” Irish mengerjap dan berusaha menyadarkan khayalannya. Jika ini benar khayalan. Tapi rasanya, semua yang terjadi saat ini sangat mustahil jika disebut dengan khayalan. Karena sosok Steve begitu nyata. Selain senyumannya lebarnya, Irish juga masih bisa mengenali pria itu dari wangi parfum yang tercium oleh hidungnya meski dari jarak yang tersisa. Sebuah wangi yang ia kenali dari jas pria itu. Masih ia ingat hingga sekarang. “Saya ambil sendiri, nih jadinya?” Steve bangkit dari duduknya. Irish segera menggeleng dan berlalu ke dapur untuk mengambilkan apa yang barusan pria itu pinta. Dari sekat dinding yang memisahkan ruang tengah dan dapur, ia masih bisa mendengar suara tawa pria itu. “Kamu seperti melihat hantu saja,” ujar Steve. Irish hanya terdiam sembari meletakkan gelasnya di hadapan pria itu. Masih berusaha tenang meski debaran di jantungnya hampir tidak terbendung. Pasalnya, ia sulit menerima jika pria yang ada di depannya ini adalah nyata. Karena selama ini, Steve hanya hidup di dalam bayangannya saja. Di dalam kepalanya. Tidak pernah sedikit pun menyangka jika mereka akan bertemu kembali. “Kamu tidak mau duduk dan masih mau memandangi saya seperti kamu melihat hantu?” Suara tawa itu terdengar lagi. Sebuah tawa yang sanggup membuat gadis itu tersadar jika selama ini memang Steve nyata. Ada di hadapannya. Bersamanya. Tidak hanya hidup di dalam kepalanya lagi. Pria itu menjentikkan jari di depan wajah Irish hingga gadis itu mengerjap. “Kamu pasti kaget karena kita bertemu lagi, bukan?” Steve mengambil gelasnya dengan satu tangan dan menenggak air dari sana hingga tandas. Irish memperhatikan dari samping setelah mendudukkan bokongnya di kursi sebelah Steve. Jakun pria itu naik turun sesuai irama tegukan tiap tegukan yang dilakukannya. “Sama,” gumam Steve yang langsung menolehkan kepala. “Saya juga kaget.” “Tapi dilihat dari mana pun, wajah Bapak tadi tidak menyiratkan kekagetan itu,” balas Irish. Suaranya baru bisa keluar. “Tentu saja. Saya sudah mendapat sedikit petunjuk dari Jeni.” Aaaah. Mulut Irish terbuka. Pantas saja. “Saya juga tidak menyangka jika Irish yang dibicarakannya adalah kamu,” lanjut pria itu. “Bapak baru pulang dari mana?” Gadis itu menatap Steve tanpa kedip. “Kenapa memangnya? Saya kelihatan acak-acakan, ya?” Pria itu mengambil ponselnya dan melihat tampilannya sendiri di sana. Irish menggeleng. Wangi sekali. Namun, jawaban itu hanya tertahan di ujung lidahnya saja. “Saya pamit pulang dulu.” Tangannya dicekal oleh Steve. Gadis itu terhenti di tempat. “Sebentar.” Satu tangan yang terbebas, digunakan Steve untuk menggulir layar gawainya. Tidak lama kemudian, suara dering terdengar dari meja di hadapan mereka. Nama Bapak Bedak memanggil, langsung tertera di gawai Irish yang kebetulan tersimpan di meja sana. Derai suara tawa Steve menguar di udara. Memenuhi ruang tengah yang tidak terlalu luas itu. “Kenapa kamu menggemaskan sekali?” Untuk alasan receh seperti itu, pipi Irish menyembulkan semburat merah. Padahal kata menggemaskan yang dikatakan Steve, sangat tidak cocok bagi dirinya yang sudah dewasa seperti ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN