Lima

1060 Kata
Ketukan di pintu membuat gadis itu bangun. Tidak lama kemudian, seorang wanita paruh baya muncul dari sana. Ada senyuman mengembang setelah pintu kamar terbuka sepenuhnya. “Ibu masak?” Tangan Irish bergerak dengan bibir yang tertarik ke atas. Wanita itu tersenyum sembari mengangguk. Di kedua tangannya, Almira membawa satu piring dan gelas dengan hati-hati. Irish segera membantu sang ibu untuk masuk ke dalam kamar. “Makanan kesukaan kamu”, katanya. Irish menerima piring dan gelas yang diberikan sang ibu. Meneguk air terlebih dahulu sebelum akhirnya melipat kedua kakinya untuk bersiap melahap masakan yang sudah dibuatkan untuknya. Tidak mungkin Irish menolak dengan mengatakan bahwa dirinya baru saja makan malam bersama orang asing. Gadis itu tidak akan bisa berkata jujur karena tahu, bahwa hal itu hanya akan menyakiti perasaan Almira saja. “Ibu sudah makan?” Mulutnya penuh. Namun, tangannya bergerak untuk menanyakan hal itu kepada ibu yang memandangnya dalam diam. Mira mengangguk. Wanita itu terus menatap sang putri dalam diam. Tentu saja dengan senyuman mengembang yang sedari tadi tidak pernah luntur dari bibirnya. Entah apa yang ada di dalam kepalanya, namun yang pasti sang putri bisa merasakan keanehan itu. Irish mengacungkan kedua jempolnya di hadapan sang ibu untuk memberitahukan bagaimana rasa makanan yang baru saja ia habiskan itu. Dia berusaha menyimpan pertanyaan akan tingkah laku ibu yang sedikit aneh. Menahannya sebentar hingga wanita dengan pakaian santai ala rumahan itu mau mengatakan yang sebenarnya, yang sedang dirasakan. Mira mengacungkan jempolnya juga untuk membalas tingkah Irish. Mereka tertawa bersama. Setiap malam, beginilah yang mereka habiskan. Saling terdiam dan memandang satu sama lain. Seolah itu bisa membuat keduanya semakin dekat. Meski tidak banyak kata yang keluar dari bibir Irish, Mira mengerti jika putrinya itu memiliki banyak sekali rasa sayang untuknya. “Besok mau makan apa?” Jari-jari Almira bergerak pelan. “Apa aja masakan Ibu, pasti aku makan.” Namun wajah murung itu semakin kentara di mata Irish. “Kenapa, Bu? Uang belanja abis, ya?” Gadis itu tersenyum menggoda untuk kemudian mencolek lengan sang ibu. Menusuk-nusukkan telunjuknya di sana. Meski gadis itu sudah berusaha bercanda dengan pertanyaannya, namun Mira sama sekali tidak ikut tersenyum. Wanita itu menggelengkan kepala. Irish hanya bisa menahan senyum jahilnya dan bangkit dari atas ranjang untuk membuka lemari. Mengambil dompet untuk kemudian diserahkan kepada sang ibu. “Besok jadwal kontrol Ibu, kan?” Almira tidak menjawab. Wanita itu terlihat ragu untuk menatap putrinya. Dengan perlahan, kedua tangannya terangkat. Jari-jari itu bergerak dengan raut wajah yang tidak semangat. “Ibu tidak usah kontrol besok. Pakai saja uangnya untuk kebutuhanmu. Pasti banyak hal yang harus dibeli, kan?” “Eiy,” gumam gadis itu yang langsung membuka dompetnya. Memberikan beberapa lembar uang kepada Almira. “Irish memangnya anak kecil? Sebelum memberikan ini kepada Ibu, aku juga sudah menyisihkan uang untuk keperluan pribadiku.” Tersenyum, gadis itu mengambil tangan sang ibu dan membuka telapaknya. Melakukan hal yang sama seperti apa yang ia lakukan kepada pria asing itu. Sebentar, mengapa ia malah mengingatnya di saat seperti ini? Irish menggelengkan kepalanya. Lembaran uang itu masih berada di atas telapak tangan Mira. Irish menangkupnya, menjadikan sebuah genggaman di sana. Senyumannya semakin melebar setelah matanya menatap sorot sang ibu yang hanya diam memandangnya. “Besok kontrol sama Irish, ya. Irish libur, kok besok. Kita pergi sama-sama.” Barulah setelah putrinya mengatakan hal tersebut, senyuman di bibir Almira perlahan mengembang. “Betulan?” Tanyanya. Irish mengangguk semangat. “Iya, habis kontrol, kita pergi makan berdua. Ibu mau seafood, kan ya? Besok kita makan seafood, ya.” Almira menyentuh dagunya dengan ujung tangan. Terima kasih, katanya. Wanita itu tersenyum menatap putrinya penuh sayang. Irish melipat semua jarinya kecuali jempol dan kelingking. Menggoyangkannya di depan d**a. “Sama-sama,” jawabnya. Setelah menyimpan bekas makannya ke dapur belakang, gadis itu menarik sang ibu untuk berbaring di sebelahnya. Mereka tiduran dengan tubuh saling berhadapan. Ada sebuah foto yang terpajang di atas meja. Foto seorang pria yang sedang memangku seorang anak perempuan yang rambutnya diikat dua. Begitu menggemaskan karena itu foto dirinya pada saat berusia tujuh tahun. Irish kecil sungguh menggemaskan. Gadis itu mengambil foto dengan cepat. Membawanya ke tengah-tengah mereka. Membiarkan Almira melihat foto suaminya juga. Irish mencolek lengan sang ibu. “Kenapa saat itu Ibu tidak ikut foto?” tanyanya. Jawaban yang diberikan Almira hanya sebatas gelengan saja. “Aku lucu, ya di sini.” Wanita itu mengangguk dengan cepat. Jari-jarinya bergerak tidak kalah cepat. Katanya, Irish saat kecil begitu mirip dengan mendiang sang ayah. Mulai dari bentuk hidung, kaki, hingga sifatnya pun banyak yang menurun. “Terus, aku mirip Ibu di bagian mananya?” Almira menaikkan matanya ke atas untuk berpikir sejenak. “Sifat yang tidak gampang menyerah. Mungkin itu sifat kamu yang mirip dengan Ibu.” Irish tersenyum lebar. Gadis itu mengangguk membenarkan. “Iya. Sifat yang satu itu aku dapat dari Ibu.” Irish membawa foto itu ke atas. Mereka memandangnya dengan tubuh yang terlentang menatap ke langit-langit kamar. Beruntungnya lampu kamar Irish belum dimatikan. Hal itu menandakan jika Irish memang belum berniat tidur sedari tadi. Gadis itu mana mau tidur dengan lampu yang menyala. Katanya, itu sama saja dengan tidur di tengah-tengah cahaya ilahi. Mana bisa tidur nyenyak. “Ibu tidur di sini aja, ya. Temenin aku.” “Kenapa?” “Tidak apa-apa, masa aku cuma minta ditemenin tidur harus ada alesannya, sih.” Irish langsung menggulingkan badannya hingga tubuhnya mengenai tubuh sang ibu. Kedua tangannya bergerak cepat untuk memeluk Almira hingga wanita itu tertawa karena perilaku putrinya. Kalau ayah masih ada, mungkin dia bakal bales kelitikin aku, ya Bu. Irish menatap sang ibu dengan senyuman. Kalimat tadi hanya bisa ia simpan di dalam hati saja. Almira pasti menyimpan segala bebannya selama ini. Kehilangan seorang suami, tentu saja bukan hal yang mudah. Mengambil peran sebagai ibu dan ayah sekaligus, begitu sulit. Mencari nafkah untuk menghidupi putri semata wayangnya jelas tidak bisa dikatakan lancar-lancar saja selama ini. Pasti ada waktu di mana Mira merasa kesulitan. Dan sekarang, waktunya aku balas budi sama Ibu. Meski pun enggak akan pernah bisa balas semua yang udah Ibu kasih ke aku. Janji, aku akan selalu buat Ibu seneng. Enggak akan pernah buat Ibu nangis, kecuali itu tangisan bahagia. Jari-jari Almira bergerak. “Kamu kenapa?” Seakan sadar dengan apa yang baru saja ia khayalkan, Irish mengerjap dan menggeleng. Mengatakan bahwa tidak ada apa-apa. “Aku udah ngantuk. Kita tidur, ya. Bentar, aku matiin lampunya dulu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN