Empat

1052 Kata
Suara riuh kendaraan membuat suasana terasa ramai. Hiruk pikuk jalanan kota di malam hari rasanya lebih baik dari pada siang tadi. Setidaknya, malam hari seperti ini ada wangi jajanan kaki lima yang masuk ke indra penciuman. Asap dari bakaran sate di pinggir jalan dan wangi menyenangkan dari rempah-rempah masakan saat keduanya berjalan melewati pedagang tongseng, mampu membuat keadaan lebih baik dari pada hanya menghirup asap kendaraan bercampur debu jalanan yang tersapu angin. Ditambah lampu-lampu yang gemerlap, terpasang di sepanjang jalan trotoar. Temaramnya mampu membuat nyaman pejalan kaki. “Rumah kamu di mana?” Irish yang sedang berjalan dengan pandangan ke depan itu kemudian menolehkan kepala kepada seorang pria yang sedari tadi terus-terusan menatapnya. Entah itu memang nyata atau khayalannya saja, yang pasti Irish tidak mau memastikan perasaan itu lebih lanjut. Sedari tadi, yang dilakukan Irish hanyalah berusaha fokus menatap es krim di tangan dan jalanan di depan. “Saya sebutkan nama jalannya juga tidak akan Bapak ketahui.” Steve tertawa untuk tiga alasan. Ayo terka, untuk alasan yang mana pria itu menarik bibirnya hingga terdengar kekehan kecil meluncur dari sana. Pertama, untuk nada ketus yang diucapkan Irish. Kedua, untuk pembenaran jika gadis itu mengatakan nama jalannya, ia memang tidak akan tahu di mana letaknya. Lalu yang terakhir, untuk panggilan ‘Bapak’ yang keluar dari bibir Irish. Rasanya sedikit aneh saat mendengar panggilan seperti itu diucapkan gadis muda di sampingnya. Padahal selama ini, begitulah orang lain memanggilnya. “Saya bisa mengantar kamu pulang. Tapi mobil saya masih berada di bengkel, dan baru saja mendapat kabar jika kerusakannya sudah mereka atasi. Kalau mau, ayo pergi ke bengkel itu dulu,” jelas pria yang masih setia menatap seorang gadis yang kelihatannya tidak mau terlalu memedulikannya. Irish hanya menoleh sepersekian detik lalu memalingkan wajahnya lagi ke arah lain. “Tidak mau. Saya bisa naik bis saja dari sini. Kenapa harus repot-repot datang ke bengkel, jika saya bisa naik transportasi umum saat ini juga,” balas Irish masih dengan nada ketusnya. Lagi-lagi, Steve tertawa. Ada sebuah bangku kecil di pinggir jalan. Dan mereka memutuskan untuk duduk di sana. Ah tidak, sebenarnya Steve hanya mengikuti gadis itu saja yang tiba-tiba menghentikan langkah dan menjatuhkan bokongnya di sana. “Ini sudah malam, dan kamu perempuan. Sangat rawan jika ada laki-laki asing yang berusaha mengganggu kamu.” Pria itu memandang Irish dari samping. Wajahnya yang diterpa cahaya lampu jalanan tidak cukup untuk membuatnya bersinar. Namun, dalam remang seperti itu, rasanya cukup bagi seorang pria yang merasa nyaman memandang gadis itu dalam diam. Kepala Irish bergerak saat melihat kepala bus yang muncul di jalanan sana. Refleks, gadis itu bangkit dari duduknya. Irish segera melahap habis es krim yang di tangan dan menepuk-nepukkan tangan untuk membersihkan remahan cone di sana. “Terima kasih karena sudah menghawatirkan saya. Tapi lihat, saya baik-baik saja padahal sedari tadi ada seorang pria asing yang tiba-tiba mengajak makan bersama. Hingga saat ini, tidak ada hal aneh yang terjadi. Saya baik-baik saja karena sudah pandai menjaga diri. Jika sedari tadi tidak ada hal apa pun yang terjadi, maka di depan sana pun tidak akan ada hal yang bisa membuat saya takut. Tidak akan pernah ada laki-laki asing yang akan mengganggu saya, seperti yang tadi Bapak bilang. Saya bisa menjaga diri dan seharusnya tidak perlu ada yang diributkan.” Steve terperangah dengan kalimat yang keluar dari bibir Irish. Tidak ada jeda saat mengatakannya. Steve yang mendengar saja terperangah, tapi respons Irish hanya berupa delikan mata dengan dagu terangkat. Merasa hebat akan apa yang sudah ia lakukan selama ini. Yaitu berhasil menjaga diri. Tanpa gadis itu sadari, ada sebuah tarikan senyum miring yang Steve sembunyikan. “Ini,” ujarnya dengan memberikan satu lembar uang kecil. Irish membuka telapak tangan Steve karena pria itu malah terdiam meski sedari tadi sudah ia panggil beberapa kali. “Untuk ganti uang es krim. Uang makan tadi, tidak akan saya ganti, karena Bapak yang mengajak.” Irish segera menutup tangan Steve setelah dirinya berhasil memberikan uang itu. Bus semakin mendekat dan gadis itu dengan segera membuka jas yang sedari tadi tersampir di bahunya. “Jangan,” larang pria itu. “Sudah malam, dan kamu hanya mengenakan kaus pendek. Angin, apa lagi naik kendaraan umum. Pakai saja.” Tangan yang tadi disentuh gadis itu kini balik menyentuh bahunya untuk sekadar melekatkan jasnya lagi agar membungkus tubuh Irish. Rasanya hangat. Mungkin itu akibat jas yang tersampir menutupi bahunya. Ya, tentu saja. Memangnya apa lagi? “Tapi-“ “Saya sudah mendapatkan bayaran es krim dari kamu.” Steve menunjukkan selembar uang di tangannya. Sejumlah uang yang sama sekali tidak ia sangka akan gadis itu berikan. “Jadi sebagai gantinya, saya juga ingin memberikan sesuatu kepada kamu.” “Tapi tidak dengan jas ini juga,” tolak Irish. Gadis itu masih berusaha melepaskan jas di tubuhnya. Namun kedua tangan besar milik Steve tidak bisa ia lawan. Tenaganya tidak akan bisa Irish tandingi. Pria itu menekankan telapak tangannya di kedua sisi tubuh Irish. Jika pria itu menarik lengannya beberapa senti, mungkin itu akan menambah kehangatan karena tubuh mereka berpelukan. Namun, tentu saja hal itu tidak terjadi karena itu hanyalah sebatas khayalan Irish saja. “Saya tidak meminta menukarnya dengan uang kecil ini. Tentu saja kamu harus mengembalikan jas saya. Sekarang pakai saja dan lindungi tubuh kamu dari angin malam. Cepat bersiap, busnya sudah dekat.” Steve berjalan beberapa langkah ke depan sana. Melambaikan tangannya untuk menyetop bus. Saat tangan pria itu meninggalkan bahunya, entah mengapa ada sebuah perasaan hampa yang menimpa dadanya. Padahal, itu hanya sebatas telapak tangan saja. Gadis itu hanya bisa terdiam mendapat perlakuan seperti yang Steve berikan. Kedua tangan yang bertaut di depan perut yang kini tertutupi jas kebesaran itu menunjukkan betapa membingungkannya perasaan yang saat ini melanda hati gadis itu. “Hey, kenapa melamun? Ayo cepat.” Irish segera mengerjap dan membenarkan tas di pundaknya. Gadis itu menoleh sebentar sebelum kakinya naik ke dalam bus. Menatap Steve beberapa detik. “Memangnya kita akan bertemu lagi?” Steve tersenyum lebar dan mengedikkan bahunya. “Tidak tahu, lihat nanti saja,” jawabnya. Setelah itu, suara klaksonlah yang membuat pertemuan mereka sampai di sana. Irish hanya bisa menolehkan kepala saat bus mulai melaju, meninggalkan seorang pria yang telah membuatnya hangat. Entah tubuhnya yang hangat karena sampiran jas, atau hatinya yang menghangat karena diberikan perlakuan seperti tadi. Sebuah perlakuan yang sama sekali belum ia dapatkan dari pria mana pun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN