Enam

1108 Kata
Kedua mata itu saling berpandangan. Lalu ada sebuah sunggingan di bibir perempuan berjas putih dengan kacamata yang membingkai hidungnya. Irish mendengarkan penjelasan Cecil dengan saksama. “Masih sering kambuh?” Perempuan itu tersenyum kecil seraya memperhatikan layar komputer yang ada di depannya. Ia memandang Almira dan Irish secara bergantian. “Kalau terlalu kelelahan, Ibu pasti suka elus-elus dadanya. Dia enggak bilang, sih. Tapi aku tahu.” Irish berbisik kepada dokter di hadapannya. Mengabaikan sang ibu yang hanya terdiam di sebelahnya. “Aw,” ringisnya. Almira memelotot kepada Irish. Ternyata selama ini, ibunya mengamati penjelasannya kepada dokter Cecil. Wanita itu menjelaskan jika tidak ada yang harus dicemaskan karena selama ini tidak ada tanda-tanda kambuh yang sangat parah. “Loh, kirain Ibu enggak merhatiin aku pas lagi ngejelasin ke dokter.” Almira menyenggol lengan sang putri. Perempuan cantik yang mengenakan kacamata di balik komputer hanya bisa tersenyum. “Suka ada keluhan lainnya, enggak?” Almira kali ini yang menjawab. Jari-jari tangannya bergerak dengan mulut terbuka untuk membantunya menyampaikan maksud. Meski tetap, pada akhirnya Irish lah yang menjelaskan ulang bahwa tidak ada keluhan lainnya kecuali yang gadis itu tadi katakan. Dokter Cecil hanya tersenyum simpul, lalu mengucapkan syukur jika tidak ada keluhan lain yang dialami pasiennya itu. Cecil membuka kacamata dan berdiri dari tempatnya. “Hasilnya bisa diambil di depan, ya Rish.” Gadis itu mengangguk dengan senyuman. “Tapi Ibu enggak ada hasil yang aneh-aneh, kan dok?” Perempuan berjas putih itu menggeleng. “Enggak, kok. Cuma ya itu, sepeti kata kamu. Kalo Ibu suka kelelahan, diusahain jangan banyak ngelakuin hal-hal berat.” Terlihat raut lega dari Irish. Gadis itu mengucapkan terima kasih kepada dokter Cecil. “Ibu,” panggilnya seraya merangkul pundak Almira dengan lembut hingga ibunda Irish itu menoleh. Sebisa mungkin Cecil mengatakan kalimatnya dengan gerakan bibir yang jelas. “Jangan terlalu kecapekan, ya. Dijaga kesehatannya. Jangan makan yang terlalu berminyak. Jangan sering kedinginan. Sayang sama Irish, kan? Harus jaga kesehatan, ya.” Ibu dari Irish itu bisa mengerti hanya melihat dari gerak bibir saja. Karena selama ini, itulah yang ia lakukan jika berkomunikasi dengan orang lain. Tidak pernah merasa kesulitan sama sekali. Hanya saja, mungkin bagi lawan bicaranya, sedikit sulit untuk memahami perkataannya. Terlebih, bagi mereka yang sama sekali tidak mengerti bahasa isyarat. Almira akan mengandalkan gerakan tangannya. Sesederhana mungkin, agar orang lain mengerti maksudnya. “Iya, kalau sayang, jangan terlalu melakukan hal yang berat-berat, ya. Terus, kalau ngerasa hal yang aneh, sakit, sesek, langsung bilang ke Irish. Ibu beruntung, punya anak sebaik dia.” Almira mengangguk penuh untuk membenarkan apa yang telah dokter cantik itu katakan. “Saya sangat beruntung memiliki anak seperti dia.” “Ih, Ibu udah ah, ayo kita ambil hasil pemeriksaan sama obatnya. Dokter, makasih banyak. Kami pamit dulu.” Gadis itu menggandeng ibunya untuk keluar dari ruangan dokter. Irish tidak mau melepaskan pegangannya pada lengan Almira. “Makasih udah mau anter Ibu hari ini. Ibu seneng.” Irish hanya tersenyum lebar saja setelah langkah mereka berhenti hanya untuk menunggu Almira mengatakan kalimat itu dengan gerakan tangannya. “Ya udah, ayo. Mau aku bikin seneng yang lain, enggak?” Alis ibunya terangkat. “Kita makan seafood. Aku udah laper, nih.” Senyuman sang ibu langsung mengembang sempurna. Mereka segera menyelesaikan urusannya di rumah sakit itu. Tidak sedikit pun selama perjalanan mereka di dalam bus, Almira melepaskan genggamannya pada tangan sang putri. Wanita itu teramat senang akan segala hal yang diberikan Irish untuknya. Tidak adanya sosok ayah yang menemaninya tumbuh hingga sebesar ini, ternyata tidak terlalu berat. Itu karena ada Almira di sisinya. Ibu memegang takhta tertinggi di hidupnya. Irish sudah berjanji pada diri sendiri jika sampai kapan pun, tidak akan pernah meninggalkan Mira apa pun yang terjadi. “Ibu seneng, jalan-jalan berdua sama kamu kayak gini.” Irish memperhatikan pergerakan tangan sang ibu dengan fokus penuh. Bibirnya perlahan naik. Lalu merangkul pinggang Almira dengan hangat. Sehangat matahari yang menerpa kepala mereka di siang hari ini. Tidak terlalu panas karena ada pepohonan rindang yang melindungi mereka di sepanjang jalan. Sampai di tempat makan, gadis itu memperhatikan sang ibu yang sedang melahap cumi bakar di piringnya dengan lahap. Matanya tidak berhenti menatap Almira dengan perasaan bahagia bercampur sendu. Maaf, Irish enggak bisa bawa Ibu makan enak kayak gini setiap hari. “Ayo makan.” Almira memberikan satu potong udang ke piringnya. Wanita itu bahkan menggenggam tangan Irish untuk kemudian menyendokkan satu suap nasi ke mulutnya. “Ibu suapin. “ Mulutnya terbuka lebar untuk menerima suapan dari sang ibu. Irish kemudian tertawa sumbang. “Enak, Bu?” Almira mengangguk cepat. Senyumannya melebar saat menunjuk makanan mana saja yang paling lezat menurutnya. “Nanti kita ke sini lagi, ya.” Kedua tangan itu bergerak menandakan penolakan. “Enggak usah. Jangan sering-sering makan di luar kayak gini. Kalau ada uang lebih, mending ditabung aja buat keperluan kamu.” “Tapi Ibu suka, kan makan di luar kayak gini,” balas Irish. “Sebenarnya, Ibu suka-suka saja makan di mana pun. Asal sama kamu. Anak Ibu yang paling cantik.” Mira mencolek ujung hidung putrinya. Irish menjerit pelan di sana. “Iiih, tangan Ibu kotor kena bumbu cumi. Aaaah,” rengeknya membuat Almira tertawa bahagia. Keduanya melanjutkan makan dengan khidmat. Setelahnya, mereka pulang dengan menggunakan bus. Irish mengambil tempat duduk di dekat jendela agar Almira tidak terkena angin. Jendela itu tidak bisa ditutup dengan rapat. Ada semilir angin yang masuk melalui celahnya. Irish membuka jaketnya untuk kemudian disampirkan kepada bahu sang ibu. Wanita itu jelas menoleh. “Ngapain?” Tangannya bergerak dan langsung menarik jaket sang putri untuk dipakaikan kembali di tubuh Irish. “Pake aja, ini udah malem. Ibu kan gak kuat dingin.” “Enggak usah. Ibu enggak kedinginan, kok.” “Udah, pake aja Bu.” Jika sedang keras kepala seperti ini, ia jadi mengingat seseorang. Di mana mereka pernah berada dalam situasi seperti ini. Sama, kejadiannya di dalam bus juga. Persis seperti saat ini. Irish segera menggelengkan kepalanya di saat ingatan itu tiba-tiba datang. “Kenapa?” Ibu menyentuh tangannya yang ada di atas paha. Irish tersentak untuk beberapa saat dan kembali tenang setelah menyadari, jika yang barusan menyentuhnya adalah ibu, bukan orang lain. Gadis itu tersenyum canggung dan menggelengkan kepalanya. Bagaimana bisa ia memikirkan seorang pria asing yang bahkan di pertemuan pertama mereka, tidak banyak hal yang dibahas. Hanya dengan perhatian kecil seperti itu, hatinya bisa menghangat. Bahkan saat ini, saat kepalanya memikirkan kejadian saat itu, hatinya berdebar untuk alasan yang tidak jelas. “Kamu kenapa?” Genggaman tangan ibu yang mengerat membuat Irish tersadar lagi. Gadis itu menyandarkan kepalanya di bahu Almira dan memandang ke jendela luar sana. Tanpa sadar, bibirnya tertarik ke atas, dengan degup jantung yang masih belum mereda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN