Tiga

1437 Kata
Perempuan itu menunduk untuk mengetik beberapa kalimat di gawainya hingga tidak menyadari jika dua meter di depannya, ada tiang yang jika terkena kepala akan cukup untuk membuat pusing dan benjol setidaknya sebesar kelereng. “Awas, hati-hati.” Badannya tertarik ke belakang dengan sebuah tangan menghalangi dahinya. Irish mendongkakkan kepala hingga tatapannya bertemu dengan mata pria yang ternyata, jika dilihat dari jarak sedekat ini, terdapat jambang tipis dengan bentuk rahang yang tegas. Beberapa orang yang sedang berjalan di trotoar itu melihat risih ke arah mereka karena Irish dan pria itu lebih terlihat seperti pasangan yang sedang bermesraan di tempat umum, dengan tubuh gadis itu yang dipeluk dari belakang oleh pria yang belum diketahui namanya. “A-ah, ya. Saya tidak apa-apa.” Gadis itu segera melepaskan lengan kekar yang bertengger di bahunya. Irish berdiri dengan tegak dan berjalan lagi ke depan sana. Dilaluinya tiang menjulang yang hampir saja membuat dahinya benjol itu. Suara tawa renyah terdengar dari arah samping. Pria itu berjalan dengan kaki panjangnya hingga bisa mengikuti langkah Irish yang lebih dulu berjalan. “Kamu tidak kenapa-kenapa? Anak kecil jaman sekarang memang lebih mementingkan gawai kapan pun dan di mana pun. Menjadi ceroboh hanya karena gawai.” “Saya bukan anak kecil,” balas Irish dengan mata membulat. Gadis itu menatap kesal kepada pria yang justru tertawa melihat wajah memberengutnya. “Dan satu lagi, saya tidak cerob- aw.” Gadis itu terjembab di atas kerasnya aspal. Kakinya tersandung tangga. Sakitnya tidak seberapa. Malunya yang luar biasa. Irish menutup mata dengan perasaan dongkol bukan main. Kepalanya menunduk dalam, hingga sebuah kain menutupi kepala gadis itu sepenuhnya. Wangi ini adalah wangi yang sama dengan yang ia cium di bis tadi. Jas pria itu. “Sudah, diam. Kamu akan tambah malu jika memperlihatkan wajahmu.” Maka Irish terdiam menurut saat tubuhnya dipapah menuju ..., entah ke mana, karena matanya hanya dapat melihat jalanan di bawah saja. Gadis itu memberikan kepercayaan kepada pria asing yang memperlakukannya seperti mereka sudah kenal cukup lama. Irish tidak yakin jika beberapa jam sejak pertemuan pertama mereka di taman bermain tadi bisa dikatakan lama atau tidak. Yang pasti saat ini, ada sebuah rasa yang anehnya ia tidak merasa takut akan orang asing. Haruskah ia menamai perasaan itu sebagai kenyamanan? “Duduk dulu di sini. Saya akan membeli obat dulu di mini market sana.” Setelah dirasa pria itu tidak ada lagi di sana, Irish memberanikan diri untuk membuka jas yang melingkupi kepalanya. Gadis itu menoleh ke sekitar. Untung saja di sini tidak ada orang lain, sehingga ia tidak perlu merasa malu karena aneh kepalanya ditutupi jas seperti itu. “Pake segala luka, lagi,” keluhnya saat melihat ke bawah sana. Gadis itu menggerakkan kakinya dengan perlahan. Lalu terdengar ringisan setelahnya. Sakit langsung mendera pergelangan kakinya saat mencoba memutarnya pelan untuk memeriksa apakah jatuh tadi meninggalkan luka atau tidak. Ternyata memang kakinya terkilir, dengan luka baret menghiasi lututnya. “Jangan digerakkan seperti itu, atau kaki kamu tidak akan bisa diajak berjalan.” Pria tadi langsung berjongkok di hadapannya. Membawa kaki kanan Irish untuk diletakkan di atas lututnya. “T-tidak usah.” Irish berusaha menarik kakinya dari sana karena merasa tidak enak diperlakukan seperti itu oleh orang lain. Pria itu menatapnya. Membiarkan kepala mereka sejajar. “Kamu tidak mau diobati dan lebih memilih untuk saya gendong saja?” “Hah?” Irish membeo. Pria itu kembali tertawa. Atau menertawainya? Karena Irish merasa seperti itu. Lagi pula, tidak ada yang lucu di sini. “Wajah kamu menggemaskan sekali.” Irish terpaku seketika. Karena saat ini, pria di hadapannya melakukan hal yang tidak terduga dari sebelumnya. Bukan hanya suara tawa tidak jelas yang dilakukan pria itu. Melainkan sebuah sapuan di wajah bagian kiri. Tangan besar pria itu terasa hangat saat menangkup pipinya. Mau tahu hal yang lebih menyebalkan bagi Irish? Ya. Di sana, hanya dirinya yang merasa gugup. Jantungnya berdegup kencang dengan pandangan mata mengabur, pertanda gadis itu sedang merasakan sesuatu yang aneh di dalam tubuhnya. Seperti sedang demam, namun kali ini kamu merasakan sakit perut juga. Karena Irish merasakan sebuah gelenyar aneh sedang menghinggapi perutnya. Melilit, namun bukan karena lapar. “Ayo, kita makan. Saya lapar sekali, seharian ini hanya berjalan-jalan.” Irish tidak tahu jika pria itu sudah selesai mengobati kakinya. Karena sedari tadi, dia hanya terdiam memaku, menatap ke depan sana tanpa menyadari suara di sekitarnya sedikit pun. Sadar-sadar, ketika sebuah tangan besar itu terjulur di depan wajah. Tangan yang tadi menangkup pipinya dan memberikan sebuah perasaan aneh itu melambai pelan di sana. “S-sepertinya saya tidak bisa.” Kerutan di dahi pria itu terlihat setelahnya. “Ey, ayolah. Tadi kamu sudah berjanji untuk mengantarkan saya ke tempat makan yang enak,” ujarnya seraya menyenggol bahu Irish. “Kapan?” Pria itu tersenyum lebar. “Kalau kamu menolak, sudah pasti sedari tadi kamu tidak mau saya ikuti. Tidak mau berjalan bersama. Nyatanya, kita ada di sini sekarang. Berdua.” Irish tidak pernah tahu jika kata ‘kita’ akan menyebabkan jantungnya berdegup kencang seperti yang sedang ia rasakan. Karena selama ini, kata itu terdengar biasa saja. Namun tidak lagi begitu setelah pria asing di dekatnya tiba-tiba mengatakannya. Kita. Perempuan itu menahan senyumnya agar tidak mengembang. “Saya hanya akan membalas budi karena Anda sudah mengobati kaki saya.” Iris berjalan dengan setengah pincang. Mendahului pria yang hanya mengangguk pelan seraya menyembunyikan senyum lebarnya. “Kamu tidak penasaran dengan nama saya?” Irish menggeleng. Tidak salah lagi, maksudnya. Ia sangat penasaran dengan nama pria itu. “Tidak,” jawabnya. “Kalau begitu, saya saja yang penasaran. Siapa nama kamu?” “Irish,” balas gadis itu karena terlalu malas berdebat dengan orang asing. Orang asing yang sanggup membuat perasaannya tidak menentu hanya karena sebuah kata sederhana bernama kita. “Nama kamu bagus, seperti mata kamu. Irish,” gumamnya sembari mengangguk-anggukkan kepala kecil. “Terima kasih.” “Nama saya Steve.” Pria itu mendahului Irish untuk berjalan ke depan sana. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, dengan jas yang tersampir di bahu tegapnya. “Saya sudah bilang jika tidak penasaran dengan nama Anda.” Irish berteriak lantang. Steve berbalik dan hanya memperlihatkan senyum satu garisnya. Tangan kanan pria itu melambai, mengajak Irish untuk berjalan lebih cepat. “Kaki saya sakit, tahu,” rutuknya. Steve tertawa dan berbalik arah untuk kemudian menghampiri Irish lagi. “Sudah tahu kaki sedang cedera, malah sok-sokan baik-baik saja. Sini,” ujarnya sambil memapah tubuh gadis itu. Steve memberikan lengannya untuk dijadikan sebagai pegangan bagi Irish. Untuk membantu gadis itu. “Ck, lama sekali.” Tidak kunjung mendapat respons dari Irish, Steve yang sudah gemas sedari tadi karena melihat gadis itu tidak mau dibantu, mulai mengeluarkan inisiatifnya. Pria itu mengalungkan lengan di pinggang kecil Irish. Steve memapah tubuh yang lebih pendek darinya untuk menuju ke depan sana. “Cepat, tempat makannya keburu penuh. Saya tidak suka menunggu lama hanya untuk memuaskan perut saya agar kenyang. Saya orangnya tidak sabaran.” Mereka duduk berhadapan di sebuah tempat makan lesehan. Irish memandangi pria itu diam-diam. Kemudian menoleh kepada orang-orang sekitar. Ternyata ada juga beberapa orang yang mengenakan pakaian rapi ala kantoran yang duduk bersila di sebuah tikar tipis, sama seperti pria itu. Baiklah, jadi Steve juga tidak akan terlihat terlalu mencolok. “Lama. Saya ke sana dulu, ya untuk pesan.” Irish mengangguk. Pria itu mendekati gerobak di sebelah kiri. Wangi khas pecel lele sudah menusuk hidungnya sedari tadi. Pantas saja Steve tidak sabaran seperti itu. Dia saja yang sudah makan di tempat kerja tadi saja sudah merasa lapar lagi. Apa lagi Steve yang mengatakan jika seharian ini dihabiskan untuk berjalan-jalan saja. “Permisi, Kak. Ikut nyanyi, ya.” Irish mengangguk kepada tiga orang pengamen yang mulai memetik gitarnya dengan kecrekan yang dimainkan seiringan dengan suara satu pengamen tadi yang ternyata bagus juga. Irish hampir saja mengatakan kepada laki-laki itu untuk mengikuti sebuah ajang pencarian bakat. “Kakaknya sendirian aja, nih. Mau request lagu, enggak?” Irish yang ditanya seperti itu hanya tersenyum bingung. Kemudian kepalanya menggeleng pelan. “Enggak, nyanyi apa aja ter-“ “Lagu First Lovenya Nikka Costa, bisa enggak?” Steve datang dan langsung memotong ucapan Irish. Pria itu melipat kedua kakinya kembali di tikar tipis yang sama dengan Irish. “Wuih, bau-baunya lagi pacaran, nih. Bisa, Kak. Oke,  lagu first love buat kakaknya yang lagi falling in love, bakal kita mainin. Siap, frend. Tu ..., wa ..., tu wa ga.” Lalu alunan lagu itu mulai terdengar merdu. Irish memandang Steve tanpa berkedip. “Apa?” Pria itu menatapnya juga dan bertanya dengan suara pelan. Steve melanjutkan, “Mereka bilang kita lagi pacaran. Padahal kan belum, ya.” Pria itu tertawa merdu. Sedangkan Irish sibuk meredakan jantungnya yang bertalu. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN