Tujuh

1262 Kata
“Gimana?” Jeni mengunyah makanannya dengan santai. Rok pendek yang dikenakannya tersingkap saat satu kakinya dinaikkan ke atas kaki yang lain. Paha mulus gadis itu terlihat jelas. Sangat berbanding terbalik dengan seorang gadis yang terdiam dengan buku di tangannya. Irish menunduk memperhatikan kata tiap kata yang tertera di sana. Mengenakan kaus putih bergaris, dipadukan dengan celana jins panjang yang membentuk kakinya. “Gue ambil,” jawab Irish yang mampu membuat Jeni tersedak seketika. Dengan santai, Irish mengambilkan minuman dan menyodorkannya kepada si gadis berambut pendek yang di pundaknya terdapat tato, hingga kontras dengan warna kulitnya yang putih mulus. “Gue gak salah denger, nih?” Jeni memandang Irish dengan tatapan menggoda. “Enggak,” jawab Irish. “Gue mau bilang dulu sama Ibu, balik dari sini. Tapi udah pasti, gue ambil tawarannya.” Jeni tersenyum lebar. “Gitu, dong. Masalah gaji, entaran aja kita rundingin lagi, ya. Kalo elo rasa kurang, tenang. Gue yang bilang ke nyokap.” “Ga masalah berapa pun gajinya, Jen. Gue emang lagi butuh kerjaan banyak.” Kali ini Irish memandang Jeni setelah menutup bukunya. “Kapan gue bisa mulai kerja?” Jeni terdiam beberapa saat untuk mengingat sesuatu di dalam kepalanya. “Karena kemarin ada beberapa orang yang mulai nempatin penginapan di sana, jadi mungkin secepatnya aja. Besok gue kabarin elo langsung, deh.” “Oke,” jawab Irish. Tidak lupa gadis itu mengucapkan terima kasih kepada Jeni. “Santai aja, kali. Eh, omong-omong, di sana ada orang baru yang sewa penginapan lumayan lama, loh. Cakep, anjir. Dari mukanya sih, udah ada umur, ya. Tapi asli, masih keliatan cocok sama gue. Hhmmph.” Jeni membungkam mulutnya sendiri karena membayangkan seorang pria dewasa yang ada di kepalanya begitu dalam. “Elo, cowok mulu yang dipikirin,” timpal Irish. “Dih, elo juga bakal berpikiran sama kayak gue kalo udah liat tampangnya. Elo bakal berpikir, hangatkan aku, Mas. Peluk diriku dan bawa aku tenggelam dalam bayangmu.” Gadis dengan rok di atas lutut itu menggeliatkan badannya dengan gerakan sensual. Yang mana hal tersebut mampu membuat Irish merasa mual. “Gue duluan, ya.” Irish bangkit dari duduknya dan menyampirkan tas di punggung. “Ck, mau ke mana sih? Masih sore, juga.” Jeni memandang temannya itu dengan bibir merah merekahnya yang memberengut. “Resto. Jadwal gue sekarang. Elo lupa, ya?” Yang didapat Iris dari wajah Jeni hanya delikan malas. “Mau bolos, enggak? Kita main aja ke tempat gue. Males, nih anak-anak pada sibuk sendiri. Gue jadi enggak ada temen.” Irish menggeleng dengan ringisan. “Enggak bisa, Jen. Sori, ya.” “Gue ganti duit part time elo.” “Sori,” desahnya sekali lagi. Irish sudah berbalik arah meninggalkan si gadis berambut pendek. Ada senyuman miring di bibir Jeni setelah Irish berjalan beberapa langkah ke depan sana. “Gue ganti dua kali lipat.” Seperti dugaannya, langkah Irish langsung terhenti di sana. Satu. Dua. Tiga. “Mau main ke mana, emangnya?” Irish menyengir semangat. Senyuman di bibir Jeni merekah senang saat melihat temannya kembali duduk menemani di meja ini. “Ke mana aja, yang penting gue seneng.” “Oke,” jawab Irish seraya mengangguk. “Gue minta DP buat beli minum, dong.” “Ambil.” Jeni mengedikkan dagunya ke mesin minuman yang ada di samping. Irish berseru dengan semangat. Mereka berdua tertawa. *** Rasa-rasanya, Irish menyesali keputusannya untuk bolos dari kerja paruh waktunya di resto hanya untuk menemani temannya bersenang-senang. Karena di dalam pikirannya, bersenang-senang ala Irish adalah pergi ke sebuah taman bermain dan menaiki semua wahana yang ada di sana. Atau berbelanja, dan ia dengan setia membawakan seluruh belanjaan Jeni. Mengekori gadis itu dari belakang. Syukur-syukur, kalau gadis itu memberikan satu pakaian untuk Irish. Yang harganya tidak akan pernah ia bayangkan hanya untuk satu potong baju. Namun lihatlah sekarang. Bukan mall atau tempat bermain seperti yang ada di pikiran Irish. Tapi gadis itu malah mengajak Irish untuk menuju tempat ‘bermain’ ala Jeni. Sebuah club di mana untuk masuk ke dalamnya, harus menunjukkan sebuah kartu yang entah apa namanya. Irish belum pernah melihat sebelumnya. Bukan KTP, bukan pula kartu kredit. “Ayo,” ajak Jeni. Ternyata, alasan gadis itu mengganti pakaiannya dengan baju pendek adalah untuk ini. Sebenarnya, Jeni juga memintanya untuk mengganti pakaian. Namun, ia menolak. “Mau ngapain ke sini, Jen?” Suara dentum musik dengan lampu gemerlap yang ada di sana mungkin menjadi alasan Jeni tidak menjawab pertanyaannya. Atau, itu hanya alasan karena tidak ada yang bisa dijelaskan kepada gadis baik-baik seperti Irish yang dengan polosnya bertanya, mereka ke tempat ini untuk melakukan apa. “Udah, ikutin aja gue. Santai aja, elo enggak bakal di apa-apain, kok.” Jeni merangkul pundaknya hingga tubuh mereka sejajar. “Kecuali, elonya yang mau.” Kemudian tertawa. “Mau apa?” Belum sempat Irish mendengar jawaban dari temannya, lengannya terlebih dulu ditarik Jeni untuk menuju sebuah ruangan di mana suara riuh dari luar tidak terdengar lagi. Ada sebuah televisi raksasa di sana. Ruangan yang tidak terlalu besar itu dikelilingi oleh sofa empuk di pinggirnya. Membentuk huruf U dengan meja yang ada di tengah-tengah. Ada meja lain di sudut ruangan. Banyak gelas yang ada di sana. Irish tidak berniat bertanya kali ini. Ia sudah tahu jika botol-botol kaca itu merupakan minuman beralkohol. “Temenin gue main di sini, ya. Elo boleh nyanyi atau pesen makanan aja.” Jeni berjalan menuju meja yang terdapat botol dan minuman yang baru saja menjadi perhatian pertama Irish saat masuk ke ruangan ini. Gadis itu duduk di sofa panjang itu dengan tenang. Mencoba tenang saat Jeni juga mengikutinya untuk duduk persis di hadapannya. “Mau?” tawar gadis itu dengan mengangkat gelasnya yang sudah berisi minuman berwarna seperti urin. Irish jelas menggeleng. “Sayangnya, di sini enggak jual boba. Gimana, dong?” Jeni menertawai wajah polos Irish yang memandangnya dengan tatapan aneh. “Enggak usah kaget gitu, dong. Elo kan tahu gimana keseharian gue selama ini. Santai aja, Rish.” Ditenggaknya minuman dalam gelas itu hingga tandas. Jeni mengerutkan dahinya dengan puas. “Gue ngapain di sini, selain nemenin elo?” Irish berusaha biasa saja setelah temannya itu menyandarkan tubuh ke sofa. Kakinya dinaikkan ke atas meja. Kaki putih mulus itu terlihat dengan jelas. “Temenin aja, udah. Anterin gue juga ke rumah kalo gue teler, ya.” Tawa bercanda itu menguar kembali. Tapi Irish tidak yakin jika itu adalah sekadar guyonan semata. “Ini masih sore, Jen.” “Emang mabok ada waktu-waktunya, Rish?” Gadis itu tertawa kembali. Telunjuknya mengarah ke layar besar di dinding. “Suara elo bagus, kan? Nyanyi aja, gue mau dengerin elo nyanyi.” Sontak Irish langsung menggeleng. Mata Jeni memicing menatapnya. “Tiga kali lipat gue bayar elo asal mau nyanyi.” Tanpa menunggu detik selanjutnya, Irish mengambil mikrofon untuk kemudian memilih lagu apa yang akan ia nyanyikan. Jeni tersenyum lebar. “Gue rebahan aja, oke. Nyanyi yang enak, ya Mbak.” Jeni seriusan merebahkan tubuhnya di sofa sana setelah menenggak satu gelas minumannya lagi. Gadis itu terlihat lelah dengan keadaan. Irish tidak mau bertanya apa yang sedang terjadi di kehidupan temannya. Ia sudah cukup lelah juga dengan permasalahannya. Lagi pula, permasalahan Jeni pasti bisa teratasi karena gadis itu memiliki uang banyak. Setidaknya, dalam pikiran Irish, uang banyak bisa membantu menyelesaikan masalah. Apa pun itu. Lihatlah salah satu contohnya. Gadis rambut pendek yang sebagian menutupi keningnya itu bisa tersenyum lebar setelah matanya mengerjap teler. Irish mulai memperdengarkan suaranya. Instrumen itu langsung bersanding indah dengan suara halus milik Irish. “Si anjir, malah nyanyi lagu First Love buat orang mabok.” Jeni bergumam saat Irish menyanyikan lagu milik Nikka Costa itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN