Finally, aku mendapatkan tiket menuju Singapore hari ini juga, tetapi aku harus pergi larut malam. Karena pesawat akan landing pukul 12.30 A.M. Maka aku harus cari tempat penginapan lagi di singapore karena aku harus transit di negara singa tersebut sampai aku menemukan tiket pesawat menuju Jakarta.
Aku mengemasi pakaianku ke dalam koper. Sebenarnya aku masih ingin di sini. Masih ingin lebih dekat dengan Ardigo. Sayangnya aku sudah lelah, lelah di sakiti dan lelah di... Hina.
Pelacur. Seperti itukah aku di matanya? Kukira aku bisa menggapai Ardigo nantinya. Menggapai hatinya yang beku. Tapi, hasilnya sia-sia. Semua percuma kulakukan. Malah aku di hina p*****r.
"Lo serius mau ke Jakarta, Nam?" Suara Andira membuatku berhenti mengemaskan pakaian. Aku mendongak ternyata dia berdiri bersandar di ambang pintu sambil menatapku yang sedang mengemas.
Aku menghela napas panjang, "iya, sebenarnya sih gue masih mau disini bareng lo, tapi karena gue nantinya bakal bertemu lagi sama Ardigo, lebih baik tidak usah." jelasku.
Andira hanya mengangguk. "Lo kalau sudah di Jakarta kabarin gue ya."
Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan dari Andira.
"Emang Ardigo apain lo sih sampai lo mau balik ke Jakarta?" Lanjutnya penasaran.
Aku menghela napas, "gue gak bisa ceritain sekarang, maaf."
Maafkan aku, Dir. Aku belum siap menceritakan semuanya padamu. Jika hatiku sudah bisa melupakannya, dan melupakan rasa sakit yang ia berikan aku pasti siap cerita.
"Gak apa kok kalau lo belum siap cerita."
Lihat, dia adalah teman yang paling pengertian. Dia bisa memahami rasa sakitku.
***
Jam 11.30 P.M aku sudah sampai di bandara bersama Andira. Kami menuju kesini naik taksi. Awalnya Andira menawariku untuk diantar sama Ardigo ke bandara. Aku menolak karena aku masih belum siap bertemu dengan pria itu. Karena Andira belum tahu masalah kami, aku hanya bilang kalau aku tidak mau mengganggu malam panjangnya.
Andira menurut lalu memanggil taksi dan sampailah kami di bandara. Karena perutku lapar, aku memutuskan makan di Nando’s bersama Andira.
"Nami, gue memang gak tahu masalah kalian apa. Tapi, bisakah suatu saat nanti lo kasih tahu gue masalahnya apa? Biar gue paham ada apa dengan dirimu dan Ardigo."
Aku mengangguk, hari ini aku lebih banyak diam sejak insiden tadi pagi.
"Nami, dimakan ayamnya, jangan ditatapin mulu."
Aku menghela napas, lalu memakan ayam dengan tidak nafsu. Memang aku lapar, tapi saat pesananku terhidang, entah kenapa nafsu makanku hilang. Perlahan aku memakan makananku tanpa nafsu sama sekali.
Setelah selesai makan, aku dan Andira menunggu di ruang tunggu dalam diam. Aku sama Andira sama-sama tidak tahu mau membahas tentang apa untuk membuka pembicaraan.
Lalu panggilan menuju Singapore pun terdengar, aku dan Andira berpelukan sebentar.
"Hati-hati ya, Nam. Semoga sampai tujuan."
Aku mengangguk, "makasih, Dir. Lo juga, pulang ke apart hati-hati ya."
Andira hanya mengacungkan jempolnya, "aman itu. Lo gak mau kasih salam perpisahan sama suami masa depan lo?"
Mendengar itu membuat mood-ku menjadi turun. "Nah."
Andira tersenyum tipis, "baiklah, kalau sudah sampai di SG kabari gue ya."
***
Sudah dua hari aku malas keluar rumah. Mama dan Papa yang sudah tiga hari ini di Jakarta menatapku dengan raut bingung. Biasanya aku suka berkeliaran di mall, sekarang malah berdiam diri di rumah.
Kalau Mama sudah tahu alasan mengapa aku bertahan di dalam rumah, karena selama aku di Ireland aku menceritakan pada Mama tentang Ardigo, tetapi tentang aku di claim dia sebagai p*****r, aku tidak mengatakannya pada Mama.
Kini aku menghirup udara segar pada sore hari di balkon. Melenyapkan sejenak pikiranku tentang Ardigo.
"Masih galau?" Suara Mama menyentakkanku dari lamunan. Aku hanya tersenyum tipis lalu Mama duduk di sampingku.
Aku bersandar di pundak Mama. Aku iri sama Mama dan Papa, dulu Mama selalu mengejar Papa, bisa dibilang nasib aku dan Mama sama. Sama-sama mengejar cintanya. Tapi pada akhirnya Mama mendapatkan hati Papa sedangkan aku? Mendapatkan hati Ardigo hanyalah bayangan semu.
"Anak Mama pulang dari Irlandia bukannya bahagia malah wajahnya muram. Sayang, mungkin Ardigo bukan jodohmu, ayoklah ceria lagi seperti biasa. Mama merindukan kamu yang selalu ceria bukan yang sekarang ini, kamu seperti tidak semangat hidup." Ucap Mama sambil terkekeh.
Aku memukul pundak Mama dengan lembut, "Mama, ih, Nami hanya sedih aja, berarti usaha Nami sia-sia mendapatkan Ardigo. Padahal Nami cinta banget sama Ardigo." Curhatku pada Mama. Kalian tahu? Curhat sama Mama itu sangat menyenangkan. Jadi kita bisa berbagi cerita kehidupan masing-masing. Beda halnya dengan Papa, Papa kalau diajak curhat orangnya terkesan tak peduli.
Mama mengelus rambutku, "Nami, cinta boleh egois. Sekarang Mama tanya sama kamu, kamu cinta sama Ardigo alasannya apa?"
Aku berpikir sejenak, "karena dia ganteng, mungkin."
Mama terbahak, "cuma dia ganteng aja? Gak ada alasan lain yang masuk akal kecuali dia ganteng?"
"Mama, Nami cinta Ardigo tanpa alasan. Bahkan Nami di tolak, dicaci, dimarahi, diomelin pun Nami terima saja. Karena Nami selalu berusaha mendapatkan Ardigo. Malah Nami berpikir bahwa lama-lama Ardigo bakal luluh, tapi itu semua gagal Ma, Nami tidak bisa mengetuk pintu hatinya Ardigo. Nami...." aku terisak, aku tidak mampu mengeluarkan isi hatiku lagi pada Mama. Karena mengingat itu semua jantungku berdenyut nyeri.
"Sshhh...." Mama memelukku, "Mama salut sama perjuanganmu untuk mendapatkannya, Mama senang karena sikapmu yang berani dan tangguh. Gagal karena cinta sudah biasa, nak."
"Jadi Nami harus bagaimana?"
"Lupakan dia secara perlahan. Mama tahu kamu pasti bisa!"
***
Tanggal 26 Maret, tepat di mana aku memulai masuk kuliah. Kini aku berjalan menuju ruang kelasku.
Tiba-tiba saat di depan pintu kelas bahuku di senggol seseorang membuat tubuhku sedikit terhuyung.
"Maaf, aku tidak sengaja."
Aku menoleh, dihadapanku berdiri seorang pria berperawakan tinggi. Matanya menatapku dengan sorot bersalah. Aku mengerjapkan mataku kembali ke alam sadar.
"Ah, tidak papa."
Pria itu tersenyum lega, "syukurlah kalau tidak apa-apa. Kamu jurusan pariwisata?" Tanyanya.
Aku mengangguk sambil membalas senyumnya. "Iya,"
Pria itu mengangguk paham, "aku Mario, jurusan akuntansi. Salam kenal." Ucap pria yang bernama Mario itu sambil mengulurkan tangan kanannya.
Aku membalas uluran tangannya, "Namira Ariana Faryana. Jurusan pariwisata. Salam kenal kembali."
Mario tertawa begitu pula denganku. Lalu kami melepaskan jabat tangan. "Sampai jumpa!" Katanya sambil melambaikan tangan dan menjauh dari kelasku.
Aku melambai, "sampai jumpa kembali,"
***
Aku memarkirkan mobilku diperkarangan rumah. Tapi ada satu mobil yang agak familiar terparkir di perkarangan. Aku berusaha mengingat siapa pemilik mobil tersebut.
Bagas! Ya... Bagas Hadi Bramantyo.
Lantas aku keluar dari mobilku, memastikan apakah benar itu Bagas atau tidak.
"Assalamu'alikum...." Salamku saat sudah di ambang pintu. Dan dugaanku ternyata benar, di sana Bagas sedang duduk sambil membaca koran.
Bagas meletakkan korannya, "wa'alaikumsallam, lihatlah Nami my little sista. Do you miss me..?"
Aku mengangguk dan memeluk tubuh Bagas, "of course yes, Bagas."
Bagas memelukku, "pretty, please call me Mas Bagas! Dimana sopan santunmu, hah?" Ucapnya sambil mencubit ujung hidungku.
Aku terkekeh geli lalu melepaskan pelukanku di tubuhnya, "gak enak ah, kenapa pula harus memanggil Mas Bagas? Nanti dikiranya jualan sate dipanggilnya Mas." Kataku sambil memeletkan lidah.
Bagas mengacak rambutku dengan kasar, "kau sangat pandai mengelak ternyata. Aku ini Photografer bukan Mas tukang sate." Katanya dengan nada sebal yang dibuat-buat.
Aku hanya mengedikkan bahu, "terserah! Eh, mana oleh-oleh dari Belanda?"
Bagas tersenyum, "ada nanti aku kasih. Jadi mau cerita siapa Ardigo?"
Tubuhku menegang, bagaimana bisa Bagas tahu tentang Ardigo??
"Kok kamu tahu Ardigo? Dari siapa?"
Bagas menyuruhku untuk duduk di gazebo belakang sebelum dia berbicara. Aku hanya menuruti kemauannya.
"Mama yang kasih tahu."
Duh Mama...
Jangan heran kenapa Bagas memanggil Mamaku dengan sebutan 'Mama', karena sejak Bagas lahir ibunya meninggal dunia, jadinya yang memberi asi waktu Bagas masih bayi itu Mama, karena Mama waktu itu pengen banget punya anak sebelum Mama hamil aku. Maka Mama menganggap Bagas itu sebagai anak sendiri. Jadi sampai sekarang Bagas memanggil kedua orangtuaku Mama dan Papa.
"Hey! Malah melamun. Cepat ceritakan!" Sentak Bagas, membuatku mengerjap karena kaget.
Aku menggaruk tengkukku. "Tapi, aku belum siap menceritakan secara detailsnya sama kamu. Karena... Mengingat itu semua membuatku sakit, Gas."
Bagas tersenyum lalu mengelus rambutku dengan lembut.
"Bicaralah, keluarkan semua keluh kesahmu dan aku siap menjadi penopang tubuhmu jika kamu tidak sanggup menceritakan semuanya."
Aku menghela napas dengan kasar. Mencoba menenangkan jantungku yang bergemuruh saat memulai bercerita tentang antara aku dan Ardigo. Memang sulit, tapi aku harus mencoba menceritakan semuanya pada saudara sepersusuanku. Karena dia pasti bisa memberikan solusinya.
Aku menceritakan dari pertama pertemuan hingga akhir penolakkan dan Ardigo mengataiku p*****r.
"Sialan! Pria yang seperti dia harus diberi pelajaran!"
***
Malamnya aku bergelung di tempat tidur sambil bermain w******p membalas pesan dari Andira. Andira sekarang sudah di Indonesia bersama pria itu (Ardigo). Mereka kembali ke Indonesia karena mereka ada hal yang lebih penting di sini. Kalau Andira dia harus berhenti kuliah di Irlandia dan melanjutkan jabatannya menjadi kepala sekolah di Anderson Internasional School. Kalau Ardigo? Aku tidak peduli dengannya apa alasan ia ke Jakarta.
Malas membalas pesan dari Andira, aku memutuskan untuk menelpon Andira via w******p.
"Diraa... Kapan-kapan main kerumah gue lah..." Ucapku di saat telepon sudah diangkat.
Hening.
Dira belum membalas ucapanku.
"Haloo... Dira, mana suara lo? Kok gak di jawab sih."
Andira berdeham diseberang sana. "Hai, bagaimana kabarmu?"
Degg....
Aku meneguk ludahku susah payah. Ternyata yang berdeham dan berbicara bukan Andira. Ini suara yang sangat aku hapal. Suara Ardigo.
Susah payah mencoba melupakan dirinya, malah dia kembali, eh maksudku suara dirinya yang kembali, tetapi suara dinginnya yang khas membuatku kembali gagal move on.
"Andira mana?" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Nam, maafkan aku."
Ya Tuhan, suaranya berbeda. Terdengar lembut dan tulus. Apakah ini mimpi di malam hari??
"Aku tanya, Andira mana?"
Tidak, aku tidak boleh luluh sama permintan maafnya.
"Aku tahu kamu masih marah. Bisakah kita luruskan kesalahanku waktu itu?"
"Tidak, sampai kapanpun kau tidak pantas untuk dimaafkan!"
Setelah aku menjelaskan pada Ardigo, aku menekan tombol merah yang bertuliskan call end.
Apa yang harus kulakukan? Apa aku sanggup memaafkannya setelah dia menyakiti hatiku sedalam-dalamnya? Mampukah aku?
--Priska Savira--