Aku masih ingat setelah menciumku dia berkata, "bibirmu manis. Aku suka rasanya."
Benarkan? Aku tidak mungkin salah dengar waktu itu karena telingaku memang mendengarkan kalimat tersebut.
Duh, Ardigo! Kamu selalu membuat aku ketar-ketir sendiri!
Bughh....
Wajahku terkena bantal sofa yang dilempar sang empunya. Siapa lagi kalau bukan si Andira. Geezzz... Tega banget sih menyiksa teman sendiri.
Aku mengelus kepalaku yang terkena bantal sofa sambil melirik Andira dengan tajam. Sedangkan dianya malah cengengesan dan memasang wajah tak bersalah. Damn!
"Sakit, astaga!"
Andira mengibaskan rambutnya ala iklan shampo, "abisnya lo di ajak ngomong malah ngelamun." Ucapnya kalem.
Aku mendesis, lalu membalas melemparkan bantal sofa tersebut sampai mengenai hidung peseknya.
Andira terlonjak kaget lalu meringis sambil mengelus hidung peseknya. Hidungnya memerah karena terkena seranganku. Rasain! Siapa suruh mulai duluan. Melihat Andira kesakitan membuatku tertawa puas. Sedangkan dianya menatapku dengan tajam layaknya singa yang siap menerkam daku hidup-hidup.
Aku memeletkan lidah dan langsung kabur keluar apart sebelum Andira melemparkan aku pakai wajan.
Dan jodoh pasti bertemu seperti lagu Afgan. Nih buktinya, aku keluar Ardigo sang suami masa depan pun keluar dari tempat persembunyiannya. Duh... Tuhan memang memberikan jodoh yang tepat. Apalagi sang calon jodoh dalam radius 1km dari hadapanku.
Ardigo terlalu tampan walau hanya memakai pakaian casual. Atasannya memakai kemeja kotak-kotak berlengan panjang tetapi di gulung dia sampai batas siku. Bawahannya ia memakai celana jeans. Duh, cakep sekali.
"Eh, mau pergi ya?" Tanyaku setelah meneliti tubuhnya dari atas sampai bawah.
Ardigo melengos, "mau pergi atau nggaknya bukan urusan lo." Balasnya cuek.
Aku tersenyum, "ikut dong." Pintaku sambil bergelayut manja di lengannya. Ardigo mendengus pasrah dan membiarkan tanganku bergelayut di lengannya yang kekar.
"Gue tidak ada bilang mau pergi."
"Tapi kamunya keluar dari apart. Jadi jangan beralibi kalau kamu gak pergi."
Ardigo mendengus, "terserah lo, deh. Yaudah lo ikut, sekalian temani gue nonton."
Asiiikk...
Mimpi apa aku semalam nonton berdua dengan Ardigo?
***
Senangnya... Nonton dibayarin, beli popcorn juga di bayarin. Makan malam? Tentu saja dibayar juga sama suami masa depan.
Dan sekarang kami lagi makan di Mc.Donald's. Percaya gak percaya, Ardigo mulai sedikit terbuka. Hanya sedikit tidak lebih. Mungkin 5 dari 100%. Walaupun begitu aku sangat bersyukur pada Tuhan karena Ardigo sudah mulai terbuka padaku. Dia sedikit menceritakan anak perusahaan Wijaya Group yang dia jabati sebagai General Manager sekarang ini. Tapi hanya sementara karena dia belum menemukan pengganti karena dia juga harus menjadi Direktur di Dubai karena Om Aldy a.k.a ayahnya ingin cepat pensiun. Tuhkan, dia sudah mulai menerima kehadiranku di dalam hidupnya. Dan aku sangat bahagia!
Dari nonton film sampai film selesai Ardigo tidak marah karena tanganku selalu menempel di lengannya. Dan itu semua adalah keajaiban dunia.
"Selesai makan, kita kemana lagi, my future husband?"
Ardigo melotot, "jangan memanggil gue dengan sebutan itu." Geramnya yang di tahan karena mana mungkin Ardigo memarahiku atau sekedar mengomeliku di tempat umum. Karena akan menurunkan citra dirinya sebagai cowok tampan dan disukai wanita-wanita termasuk aku.
Aku terkekeh, "my future husband..."
Ardigo makin melototkan matanya, kini tatapan itu tatapan yang sangat menyeramkan. "Namiraaaa!" Geramnya frustasi. Lagi-lagi di saat ia memanggilku dengan sebutan 'Namira' jantungku berdetak dua kali lebih cepat mengalahkan detakkan jarum jam di jam tanganku.
Ardigo tidak bisa menahan emosinya. Aku menyeringai senang karena berhasil mengerjainya. Setidaknya pria ini gampang di gangguin karena cepat baperan. Dan aku sangat menikmati dengan cara mengganggunya agar dia marah. Entah mengapa kemarahannya membuatku semakin jatuh cinta.
"Oke oke... Kalau tidak mau di panggil seperti tadi, ada syaratnya!" Aku menatap Ardigo dengan sunguh-sungguh. Dia mengangguk sambil memakan kentang gorengnya.
"Baik, apa syaratnya?"
Aku tersenyum m***m, "cium aku, tepatnya di bibir!"
Ardigo terbelalak, "lo gila!" Tunjuknya di wajahku memakai kentang goreng yang digigitnya separuh.
Aku mengedipkan sebelah mataku, "aku gila karenamu..."
Ardigo mendengus kasar, "dasar sinting!" Gumamnya sambil memasukkan kentang tersebut kedalam mulutnya.
Aku terkekeh, gila sama sinting sama aja kali. Hal yang tak terduganya adalah Ardigo benar-benar menciumku dibibir.
"Lo adalah wanita yang paling teraneh yang pernah gue temukan." Katanya selepas ciuman yang ia berikan.
Mungkin bagi orang yang normal --bukan berarti aku gak normal-- itu adalah kalimat yang menyakitkan akan tetapi bagiku kalimat yang dikatakan Ardigo adalah kalimat yang sangat romantis.
***
Sudah tiga bulan ini aku mengejar pria itu. Dari modusin, memberi makanan kesukaannya dengan hasil jerih payahku yang dibantu oleh Andira karena Andira pandai memasak.
Semua sudah kulakukan tetapi hasilnya tetap nihil.
Pria itu belum bisa membuka hatinya padaku. Yang lebih nyeseknya lagi, terkadang Ardigo setiap malam minggu membawa teman kencannya ke apartnya. Dan pikiran negatif pun berkecamuk didalam otakku. Wanita yang dibawanya selalu berbeda. Dan hal itu membuat dadaku terasa remuk redam.
Sahabatku dengan sabar membujukku untuk tidak memikirkan sepupunya yang b******k. Mengencani wanita berbeda setiap minggunya dan dia sering membawa wanita yang berbeda itu kedalam apartementnya. Pasti di antara kalian berpikir bahwa Ardigo dan teman kencannya melakukan hal yang 'iya-iya'. Begitu pula denganku. Walaupun begitu hatiku masih memilihnya. Tak peduli sebrengsek apa dirinya, aku memang begitu bodoh. Sangat bodoh sampai-sampai aku pun mencintai sifat brengseknya.
"Nami... Ini sudah tanggal 8, lo masuk kampus tanggal 26 maret, kan? Berarti sebentar lagi lo bakal tinggalin gue." Ucapnya terdengar lirih.
Aku tersenyum sambil memandang indahnya sunrise dari balkon apartementnya Andira. Kami berdua sama-sama terpaku memandang matahari yang menyinari Irlandia.
"Gue gak tinggalin elo selamanya, Dir. Toh, kalau liburan, kan gue masih bisa ngunjungi elo sama Ardigo." Kataku sambil nyengir menghadap ke Andira.
Andira memukulku lebih tepatnya menjitak kepalaku membuatku meringis kesakitan. Sialan. Nih anak emang kejamnya kebangetan deh.
"Lo mah bukannya mau ngunjungi tapi mau modusin Ardigo, kan? Lo kira gue gak tahu sama sifat 'aneh' lo." Gerutunya sambil mendengus kesal. Mendengar hal itu membuatku tertawa dengan kencang. Emang sahabat yang pengertian, tahu aja kalau aku mau modusin Ardigo.
Andira mendelik, "ketawa aja terus, gigi lo hilang baru tahu rasa!" Ucapnya ketus.
Aku menghentikan tawaku dan nyengir tanpa rasa bersalah. "Ya sebagian mau modus sebagiannya memang benar kalau gue mau kunjungi lo."
Andira mencebikkan bibirnya, "oh... i'm gonna miss you if you back to Indonesia, Nam." Kata Andira dramtis lalu memeluk tubuhku dengan erat.
Saking eratnya pelukan itu membuatku sesak nafas jadinya.
"Dir... Lo menyakiti..kuh.."
Andira melepaskan pelukkannya lalu memasang wajah tak bersalah dan menyeringai, "hehehe... maaf ya, abisnya lo enak di peluk. Badannya empuk gimana gitu berasa peluk guling jadinya."
Duh sialan!
"Serah lo deh. Eh, gue mau bikin sarapan buat Ardigo dulu, ya. Bye!" Pamitku. Andira mengangguk lalu aku beranjak dari kursi santai menuju dapur Andira.
Membuat sarapan untuk Ardigo simple aja. Gak usah ribet bangetlah, cukup roti isi salad sayur dan telur mata sapi saja.
Aku berkutat dengan semua bahan-bahan sarapan untuk Ardigo, sesudah menyiapkan sarapannya aku pun meletakkan hasil karyaku di dalam kotak Tupperware. Setelah selesai, aku membersihkan diri agar tubuhku tetap wangi.
Selesai sudah mempersiapkan diri, aku membawa hasil masakkanku dan membawanya ke apartement Ardigo. Enak benar ya suka cowok yang tinggal lima langkah sudah sampai di depan pintu doi.
Memantapkan hati serta menetralkan jantung yang berdekat semakin abnormal, akupun mengetuk pintu apartement Ardigo, tidak sampai 15 detik, pria itu sudah membuka pintunya.
Mataku melebar melihat pemandangan yang... err... sangat menakjubkan di pagi hari. Duh, kalau begini bangun pagi terus nggak akan pernah nyesal deh. Seriusan!
Ardigo hanya memakai handuk yang dililitkan di pinggangnya, menampakkan otot-otot di lengannya serta d**a bidangnya yang kotak-kotak. Biar kutebak, itu d**a ada 8 kotak! See.... ternyata memang 8 kotak saat aku hitung dengan teliti.
"Menikmati pemandangan, huh??"
Suara teduh nan dinginnya membuatku mengalihkan pandanganku dari perut eight pack-nya. Matanya menatapku dengan tajam. Bola mata saphire itu membulat lebar.
Aku garuk-garuk salah tingkah. Kepergok deh melihat perutnya dengan mupeng (muka pengen). Habisnya, perutnya sangat sexy, kayak di dalam iklan s**u L-Men. Pasti sering fitness nih.
"Hehe... tahu aja, habisnya kamu menggiurkan, jadi pengen makan kamu. " Ucapku diselingi kikikkan kecil.
Ardigo bergidik, "dasar gila! Mau apa sih datang kemari? Tiap hari ganggu hari gue melulu." Judesnya. Dan setiap kejudesan, dan sifat dinginnya membuatku semakin semangat mengejar dirinya. Lebih tepatnya mengejar cintanya. Aku semakin penasaran sama sikap dia yang sangat dingin dan acuh tak acuk pada diriku. Apa dimatanya aku ini parasit sampai-sampai pertama kali bertemu dia mengibarkan bendera perang kepadaku yang kubalas bendera panah asmara agar Ardigo jatuh cinta kepadaku.
Sayangnya dalam kurun tiga bulan benih cinta itu belum ada. Dia masih bicara dengan ketus, menatapku dengan enggan, dan terkadang dia emosian melihat wajahku jika dihadapannya. Tapi itu semua tidak membuat diriku patah semangat mendapatkan hatinya. Apapun yang kulakukan walaupun dia tidak suka, pasti jauh didalam lubuk hatinya dia mulai terbiasa dengan sikap bar-bar dan modusku.
"Mau kasih ini buat sarapan kamu." Ucapku sambil memperlihatkan kotak makanan di depan wajahnya , seketika wajahnya mundur dua senti.
Ardigo mendengus kesal, "makanan lagi? Gue masih bisa beli atau masak sendiri sarapan gue jika perut gue lagi lapar. Jadi lo gak usah repot-repot tiap hari membuatkan sarapan yang isinya roti salad sayur dan telur mata sapi. Lo kira gue gak bosan tiap hari lo paksain gue makan yang kayak begini? Lama-lama perut gue enek!"
Emang bikin enek ya tiap hari sarapannya roti salad sayur dan telur mata sapi?
Aku menunduk, perkataannya membuat pertahananku hancur. Dia membuatku hampir mengeluarkan air mata. Susah-susah membuat sarapan untuknya dan inikah hasilnya? Ditolak mentah-mentah setelah sekian lama ia belum pernah menolak sarapanku karena aku memaksakannya untuk mencoba hasil karya yang aku buat.
"Dan satu lagi, berhenti untuk meminta morning kiss sama gue. Karena permintaan lo yang itu membuat lo seperti p*****r yang di jual di pinggir jalan. Lo pernah bilang itu ciuman pertama lo, itu pasti hanya alasan atau kebohongan yang lo buat-buat, kan? Lo pikir gue percaya kalau lo sebelumnya belum pernah ciuman yang nyatanya ciuman beberapa bulan yang lalu gue beri lo selalu menagihnya setiap hari. Dan, gue masih ragu lo masih virgin atau nggaknya. Lo seperti bi..."
"CUKUP!"
Aku tidak kuat. Inikah hasil mengejar cinta yang aku idamkan? Di hina dengan perkataan yang tidak enak didengar di telingaku. p*****r. Itukah yang dilihat dari matanya saat menilai diriku? Sumpah demi Tuhan, aku masih virgin. Bibir ini hanya pernah dirasa oleh Ardigo seorang. Aku memang pernah meminta ciuman kepadanya, tapi dia menghina diriku kalau aku tidak jauh dengan seorang bi*ch.
Tanpa sadar aku menjatuhkan kotak bekalku. Tanpa mengambilnya justru aku malah berlari meninggalkan dirinya yang mematung di tempat yang sama. Aku tidak kuat, aku akan memesan tiket ke Indonesia dalam waktu dekat.
Braakkk...
Aku membuka pintu apartement Andira dengan kasar. Lalu tubuhku merosot di pintu. Air mata terus mengalir di pipi. Penghinaannya membuat hatiku semakin sakit.
"Lo kenapa sih? Kok tampilan loe kacau gitu?" tanya Andira bingung yang entah kapan dia udah ada di depanku.
"Hiks... Aku benci Ardigo, Dir!" kataku kesal sambil sesenggukkan.
Aku membuang hingus di baju Andira. Entah kenapa Andiranya malah gak apa-apa aku membuang hingus di bajunya.
"Hueee... Aku gak cinta lagi sama Ardigo! Tidak akan!" bentakku kesal lalu jedotin kepalaku di pintu kayu saking kesalnya.
"Kenapa sih, ceritain deh sama gue!" pinta Namira sambil mengelus pundakku.
Aku mengusap air mataku, "huhu... si Ardigo bilang jangan pernah gangguin aku lagi! Hiks.. masa dia bilang aku pengrusuh dalam hidupnya. Kalau gitu aku balik ke Indonesia aja lah, soalnya aku gak mau ketemu Ardigo lagi." Putusku lalu menelusupkan wajahku di dalam telapak tangan. Dalam ucapanku ada yang berdusta, mana mungkin aku bilang yang sebenarnya pada Andira kalau aku dihina Ardigo kalau aku tak jauh dari seorang bi*ch.
"Jadi loe nyerah Nam sama sepupu gue?" Tanya Andira diselingi kekehan kecil. Dasar! Harusnya tuh merasa sedih di saat temannya sedih, ini malah terkekeh. Lebih baik menyerah daripada dihina p*****r.
Dengan cepat aku mengangguk.
"Yakin nih udah menyerah, gak mau berusaha lagi? Masa udah dibilang begitu lo-nya udah nyerah sih." Godanya.
Aku mengangguk sebagai tanda jawaban.
Andira menghela napas, "yaudah jangan di masukin dalam hati, sifatnya Digo emang kayak begitu dari oroknya."
Aku mengangguk lagi karena tidak tahu harus berkata apa. Karena membahas tentang Ardigo membuatku kehilangan kata-kata.
"Dir, semoga kamu sabar ya karena tetanggaan sama si kampret satu itu." kataku sambil tersenyum tipis.
"Si kampret?"
Aku mengagguk cepat, "itu lho sepupu loe yang nyebelinnya amit-amit. Nyesel gue suka sama dia." Gumamku sengit.
"Dir, temani gue ke kamar apartnya Ardigo yuk, ada barang yang ketinggalan nih."
Andira mengernyit, "apaan yang ketinggalan?" tanyanya mulai kepo.
"Adalah, nanti juga bakal tau, tapi kalau aku sendirian ke apartnya, aku tidak punya nyali lagi untuk bertemu dengannya. Mungkin ditemani olehmu keberanianku kembali." jelasku. Ini adalah sebuah alasan yang klise. Aku hanya tidak mau bertemu dengan Ardigo lagi tanpa ditemani Andira.
Andira mengangguk paham, "yasudah, jangan lama ya!"
Dan disinilah kami, berada tepat di depan kamar apartnya Ardigo. Setelah memencet bel empat kali, pintu pun terbuka.
Sempat terkejut juga Ardigo karena kedatangan kami. Raut wajahnya shock melihat aku datang.
"Lho ada apa lagi?!" tanya Ardigo matanya menatapku dengan wajah bersalah (?) Entahlah aku juga tidak tahu.
Satu tamparan keras mengenai pipi kanan Ardigo. Dan aku tidak menyesalinya, malah aku menyukurinya. Tamparan itu adalah balasan karena dia sudah menghinaku.
"Aku menyesal karena mencintai pria pecundang sepertimu!" Kataku lalu meninggalkan dirinya.
Ardigo... kenapa kau sejahat itu? Apa aku di dalam dirimu? Kenapa dia tega mengataiku seorang p*****r. Aku bukannya marah sama sikap dinginnya, dan menolak hasil karya roti salad itu, hanya saja aku hanya marah karena dia mengataiku seorang bi*ch.
Aku bersumpah tidak akan mengejar cintanya lagi. Tidak akan pernah!
--Priska Savira—