Eksas bergegas menuju lobi utama dengan alat pel di tangannya. Suaranya dipanggil melalui handy talkie beberapa menit lalu, tapi ia harus menyelesaikan tugas di lantai tiga terlebih dahulu. Langkahnya dipercepat, dan ia mencoba mengatur napas yang memburu.
Saat sampai di lobi, ia langsung melihat seorang perempuan berdiri dengan tangan bersilang di d4da. Di depannya, ada noda kopi besar yang menyebar di lantai marmer. Cangkir pecah tergeletak tidak jauh dari sana.
"Kamu ini, kenapa lama sekali?" bentak perempuan itu dengan nada tajam, membuat beberapa orang di sekitar melirik mereka.
Eksas mengangkat wajah, berusaha tenang meski hatinya terasa tertekan. "Maaf, Bu. Saya baru dari lantai atas."
"Bukannya bekerja, kamu malah asik sendiri."
Pupil mata Eksas sedikit membesar. Sepertinya pegawai perempuan di depannya salah paham. Dia langsung menjelaskan, "saya bekerja, Bu. Saya membersihkan ruangan di lantai tiga."
"Alasan! Kalau kamu bekerja sebagai cleaning service, ya tanggung jawab kamu di sini dulu, bukan yang lain. Ini lobi, tempat banyak tamu. Mau mereka lihat kekacauan begini?"
Eksas menunduk, menahan rasa malu yang tiba-tiba menyeruak. Ia tahu ia sedikit terlambat, tapi komentar itu terasa berlebihan. Apalagi masih ada cleaning service yang lain.
"Maafkan saya, Bu," ucap Eksas pelan sambil mulai membersihkan noda kopi di lantai. Tangannya bergerak cepat, berharap situasi ini segera berakhir.
Perempuan itu mendengus. "Lain kali jangan buat saya menunggu seperti ini lagi. Kalau tidak bisa kerja cepat, sebaiknya cari pekerjaan lain saja."
Eksas terdiam, merasakan matanya mulai memanas. Ia tidak ingin membalas ucapan itu, tapi kata-kata perempuan tersebut menghujamnya seperti duri tajam.
Setelah beberapa menit, lobi kembali bersih. Eksas membereskan alatnya dengan gerakan pelan, mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu dan kesal.
Saat ia hendak berbalik pergi, suara lain tiba-tiba terdengar. "Bu Lea, Anda tidak perlu terlalu kasar begitu, kan?"
Eksas menoleh dan melihat seorang pria muda berdiri di dekat meja resepsionis. Pria itu adalah Deon, salah satu pegawai di perusahaan ini.
"Dia bekerja keras, Bu. Kalau terlambat sedikit, itu bukan berarti dia tidak bertanggung jawab," lanjut Deon dengan nada tenang namun tegas.
Lea mendengus lagi, lalu melambaikan tangan dengan malas. "Ya, terserah. Saya hanya ingin semuanya profesional."
Deon tersenyum tipis. Setelah Lea pergi, ia menoleh ke Eksas. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya, suaranya lebih lembut.
Eksas mengangguk pelan. "Terima kasih, Pak."
Deon memandangnya sejenak sebelum tersenyum. "Kerja bagus, Eksas. Jangan terlalu dipikirkan, ya."
Eksas hanya bisa membalas dengan senyum kecil, meski hatinya masih terasa berat. Ia tahu bahwa pekerjaannya sering dipandang rendah oleh sebagian orang, tapi ia juga sadar bahwa ini adalah cara terbaik untuk menghidupi dirinya dan Elzin. Bagaimanapun, ia harus tetap bertahan.
Setelah selesai membersihkan lobby, tiba-tiba kepala cleaning service, Pak Tamri, memanggilnya ke ruang staf. Wajah Pak Tamri terlihat serius, namun ada senyum kecil terselip di sudut bibirnya.
"Eksas, mulai besok kamu yang bertanggung jawab membersihkan ruangan direktur utama setiap pagi," kata Pak Tamri tanpa basa-basi.
Eksas terkejut. "Saya, Pak? Kenapa saya?"
Pak Tamri tersenyum tipis. "Pekerjaanmu selalu rapi dan teliti. Pak Daffa pasti tidak akan komplain kalau kamu yang melakukannya."
Eksas terdiam. Nama itu—Daffa. Meski ia sudah terbiasa mendengar orang menyebutnya sebagai direktur utama, hati Eksas tetap berdenyut aneh setiap kali nama itu disebut.
"Tapi Pak-"
"Apa kamu ingin menolak?" potong Pak Tamri langsung.
Eksas tidak lagi bisa membantah. Dia hanyalah bawahan disini sehingga harus melakukan apa yang disuruh oleh atasan.
"Tidak, Pak."
Wajah Eksas terlihat tidak baik-baik saja.
"Baguslah. Kerjakan dengan baik dan jangan membuat masalah."
Eksas mengangguk dengan wajah pucat. Dia tidak ingin bertemu dengan Daffa sama sekali. Tapi dia malah mendapat tugas untuk membersihkan ruangan Daffa setiap harinya. Eksas tidak mengerti, kenapa takdir hidupnya harus seperti ini.
Kabar tentang tugas baru Eksas tidak diterima dengan baik oleh rekan-rekan kerjanya. Saat makan siang di pantry, beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik sambil melirik ke arah Eksas.
"Pantas saja dapat tugas khusus dari Pak Tamri, wajahnya kan cantik," ujar salah satu wanita dengan nada menyindir, cukup keras untuk didengar.
"Iya, pasti Pak Tamri juga tergoda."
"Pastilah, apalagi dia janda. Kalau tidak menggoda ya apa lagi?"
"Ups, nanti kedengaran orang," sahut yang lain, terkekeh.
Eksas menunduk, berpura-pura sibuk mengaduk kopi di gelasnya. Meski ia mencoba mengabaikan komentar itu, d4danya terasa sesak. Ia tidak pernah meminta perlakuan istimewa, dan pekerjaan ini hanya sesuatu yang harus ia lakukan demi Elzin.
Namun, sindiran itu tidak berhenti sampai di situ. Ketika Eksas kembali ke ruang ganti, ia menemukan sapunya dipatahkan menjadi dua. Tulisan "TUKANG CARI PERHATIAN" dan "PENGGODA" tergores dengan spidol merah di lemari loker miliknya.
Hampir semua rekan kerja tahu jika Eksas memiliki anak. Janda anak satu, itulah yang sering mereka katakan kepada Eksas. Entah kenapa status janda begitu rendah bagi mereka. Padahal Eksas juga tidak ingin menjadi janda seperti sekarang. Entah apa status pernikahan Eksas sesungguhnya. Apalagi Daffa pergi begitu saja. Kemudian setelah 4 tahun, mereka kembali bertemu dan Daffa seperti orang yang tidak mengenalnya.