Bertemu Kembali Setelah Menghilang
Eksas Nafisa, perempuan cantik berumur 28 tahun, merupakan ibu tunggal yang memiliki anak berusia tiga tahun lebih bernama Elzin. Empat tahun yang lalu, Eksas ditinggal oleh suaminya ketika sedang hamil. Sampai sekarang keberadaan sang suami tidak diketahui sama sekali.
Untuk menghidupi dirinya dan sang anak, Eksas merantau ke kota dan bekerja di perusahaan besar bernama Badran Group sebagai cleaning service. Dia memang lulusan sarjana, tapi dia tidak bisa melamar sesuai dengan jurusannya. Apalagi Eksas tidak punya pengalaman kerja dan sudah menganggur begitu lama.
"Hari ini Elzin tidak boleh menyusahkan bunda-bunda disekolah. Elzin harus menurut ya pada bunda-bunda," ujar Eksas sambil merapikan rambut anaknya yang kini berusia 3 tahun lebih.
"Iya, Mama."
Eksas menitipkan Elzin di tempat penitipan anak yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Hal ini berguna jika Eksas istirahat siang, dia bisa melihat anaknya walau hanya sebentar.
"Mama kerja dulu, jadi Elzin tidak boleh menangis."
"Iya, Mama. Eljin tidak akan menangis."
"Bagus. Anak Mama memang pintar dan baik." Eksas mengusap pucuk kepala sang anak. Kemudian mencium kedua pipi chubbynya.
Eksas bergegas ke tempat kerja. Dia tidak boleh terlambat sama sekali. Eksas juga harus datang lebih cepat dibanding pegawai lain karena dia harus membersihkan ruangan para pegawai perusahaan.
"Eksas..."
Eksas baru keluar dari mengganti pakaian. Dan rekan kerja sesama cleaning service sudah menunggunya.
"Iya, Mbak."
"Perutku sedikit sakit, apa kamu bisa menggantikanku membersihkan ruangan direktur?"
Eksas terkejut. Ruang direktur utama bukanlah ruang yang bisa dimasuki sembarang orang. Apalagi menurut gosip yang dia dengar, Direktur utama perusahaan memiliki fisik yang nyaris sempurna tetapi sangat dingin dan menakutkan. Jika ada pegawai yang melakukan kesalahan, direktur utama tidak segan-segan untuk memecatnya langsung.
Walau belum pernah melihat langsung tapi mendengar gosip dari para karyawan, sudah membuat perut Eksas ikut mulas.
"Tolong Eksas, perutku sakit sekali." Rekan kerja Eksas bernama Febby tampak kesakitan sambil memegang perutnya.
"Ba-baik, Mbak."
"Terima kasih Eksas, masih ada waktu tiga puluh menit. Kamu harus menyelesaikannya sebelum Pak Direktur datang."
"Ba-baik, Mbak." Eksas tidak bisa menolak. Dia langsung membawa peralatan untuk membersihkan ruangan pak direktur. Eksas harap dia tidak melakukan kesalahan dan bisa menyelesaikan tugasnya sebelum direktur masuk.
Febby juga sudah memberikan kartu akses khusus. Jadi Eksas bisa masuk ke area dimana ruang direktur berada. Lantai 36, letak ruangan direktur utama berada. Pintu lift terbuka dan Eksas langsung menuju ke ruangan direktur.
Bersih dan rapi. Itulah kesan pertama Eksas masuk ke sini. Dia baru pertama kali menjejakkan kaki ke lantai ini. Sedikit takjub karena terlihat sangat mewah sekali.
Eksas geleng-geleng kepala. Kenapa dia malah melamun tidak jelas? Padahal pekerjaan sudah menunggu.
Eksas menuju ke ruang direktur utama. Dengan hati-hati, ia mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Perlahan, ia mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci. Ruangan itu begitu megah, jauh lebih mewah daripada yang ia bayangkan. Meja kerja besar dari bahan yang mahal berdiri tegak di tengah, dihiasi tumpukan dokumen rapi dan laptop yang masih menyala.
Namun, sebelum Eksas sempat melangkah lebih jauh, sebuah suara dingin menggema di ruangan itu. "Siapa yang menyuruhmu masuk tanpa izin?"
Eksas tersentak. Dari balik kursi besar yang berputar, seorang pria berdiri dengan raut wajah penuh amarah. Direktur utama—seorang pria muda dengan jas mahal dan aura berwibawa. Tapi bagi Eksas, wajah itu lebih dari sekadar pemimpin perusahaan. Wajah itu adalah sosok yang telah menghantuinya selama empat tahun terakhir.
"Da-daffa" bisik Eksas, hampir tak percaya. Hampir saja dia terjatuh karena lututnya terasa lemas.
Daffa Areno Badran, direktur utama dari perusahaan Badran Group yang mirip sekali dengan suaminya, ayah putranya. Namun, tidak ada tanda-tanda pengakuan di matanya. Sama sekali tidak. Dia tidak terkejut sama sekali setelah melihat Eksas. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Apa yang barusan kamu katakan?" tanyanya dengan nada kasar.
Eksas tidak bisa menjawab sama sekali.
"Siapa yang memberimu izin untuk masuk ke sini tanpa mengetuk dan menunggu persetujuan saya? Apa kamu tidak tahu aturan?"
Eksas tercekat. Mulutnya terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar. Pikirannya kacau. Ini benar-benar Daffa—suaminya, orang yang telah meninggalkan dirinya begitu saja. Tapi bagaimana mungkin dia tidak mengenalnya sama sekali?
"Saya... saya menggantikan CS Febby untuk membersihkan ruangan ini, Pak," jawab Eksas dengan suara bergetar, mencoba menjaga profesionalitas meski hatinya hancur.
Daffa menghela napas panjang, seolah merasa pekerja seperti Eksas tidak pantas ada di hadapannya lebih lama. "Baik, lakukan pekerjaanmu cepat dan keluar. Saya tidak punya waktu untuk gangguan."
Dengan tangan gemetar, Eksas mulai membersihkan ruangan. Setiap langkahnya terasa berat. Ia tidak bisa berhenti memandangi Daffa dari sudut matanya. Bagaimana mungkin pria itu tidak mengenalinya?
Bagaimana mungkin pria yang dulu mencintainya dengan tulus kini berdiri di hadapannya dengan tatapan penuh ketidakpedulian? Apa yang terjadi pada suaminya empat tahun lalu?
Rasanya Eksas ingin melempar Daffa dengan benda apapun. Dia adalah pria sampah yang sudah membuat hidupnya hancur.