Dibilang Tidak Bisa Mengurus Anak

737 Kata
Eksas berjalan tergesa-gesa menuju tempat penitipan anak, tangannya membawa tas berisi makanan kecil dan botol minum menjadi bekalnya hari ini. Ia baru saja menyelesaikan shift kerja yang panjang. Hari ini terasa sangat melelahkan, tidak hanya melelahkan bagi fisik Eksas tetapi juga bagi pikiran dan batinnya. Meskipun begitu, rasa lelah itu sedikit berkurang saat melihat senyuman kecil sanga anak, yang berlari menyambutnya kedatangannya. "Mama!" seru Elzin dengan wajah riang. Eksas tersenyum, berjongkok untuk memeluk pangeran kecilnya. "Hai, sayang. Apa yang Elzin lakukan hari ini?" Elzin mulai bercerita panjang dan lebar tentang apa saja yang ia lakukan selama berada di tempat penitipan anak. "Luar biasa. Anak Mama memiliki banyak teman." Eksas memuji sang anak dengan bangga. "Apa tadi Elzin menghabiskan makanan yang diberikan bunda?" Elzin mengangguk antusias. "Iya, Mama. Elzin menghabiskan makanan yang diberikan bunda!" Eksas tertawa kecil, mengelus kepala Elzin dengan sayang. "Anak Mama sangat pintar. Kalau begitu, sekarang kita pulang." Sebelum meninggalkan area penitipan anak, Eksas mengucapkan terima kasih kepada bunda-bunda yang menjaga anaknya. Dengan tangan kecilnya, Elzin menggenggam erat tangan Eksas, mereka berjalan menuju halte bus. Namun, ketika hampir sampai di trotoar, Elzin tiba-tiba melepaskan pegangan tangannya. "Mama, lihat! Ada balon warna-warni di seberang jalan!" seru Elzin, menunjuk ke arah kios kecil di seberang jalan. "Elzin, jangan—!" seru Eksas, tapi Elzin sudah melangkah cepat ke tepi jalan. Waktu seakan melambat ketika Eksas melihat sebuah mobil melaju dari arah kiri. Elzin, yang masih terlalu kecil untuk memahami bahaya, terus berjalan menuju aspal. Dengan panik, Eksas berlari mengejar putranya, ia juga berteriak sekuat tenaga. "Elzin, berhenti!" Tiba-tiba, bunyi klakson mobil memekakkan telinga. Mobil hitam yang melaju itu mendadak berhenti dengan suara ban yang berdecit keras. Hanya beberapa inci dari tubuh kecil Elzin, mobil itu berhenti total. Eksas segera menarik Elzin ke dalam pelukannya, gemetar karena ketakutan. "Ya Tuhan, Elzin, kamu tidak apa-apa?" tanyanya sambil memeriksa putranya dari kepala hingga kaki. Elzin, meskipun terkejut, mengangguk kecil. "Elzin...Elzin tidak apa-apa, Mama." Ketika Eksas mencoba menenangkan diri. Pintu mobil hitam itu terbuka, dan seorang pria berseragam, jelas seorang sopir, keluar dengan wajah khawatir. "Bu, Anda baik-baik saja? Anak Anda tidak apa-apa?" Eksas mengangguk cepat. "Maaf, Pak. Anak saya tidak sengaja—" Namun, sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, kaca mobil bagian belakang perlahan terbuka, memperlihatkan wajah seseorang yang membuat napas Eksas tertahan. Daffa. Pria itu duduk dengan santai, mengenakan jas mahal, dengan tangan kanan memegang ponsel. Tatapan dinginnya menusuk langsung ke arah Eksas, sementara bibirnya melengkung menjadi senyum sinis. Dari banyaknya orang, entah kenapa harus Daffa. Eksas tidak ingin bertemu dengan orang yang sudah meninggalkan dirinya. Bahkan ketika bertemu, Daffa malah pura-pura tidak mengenalnya dan menyebutnya sebagai perempuan penggoda. "Kalau tidak bisa mengurus anak," suara Daffa terdengar tegas, penuh sindiran, "lebih baik jangan punya anak sama sekali." Eksas mengangkat wajah, menatap Daffa dengan mata melebar. Kata-kata itu menghantamnya seperti palu, membuatnya sulit bernafas sejenak. "Pak..." kata Eksas pelan, suaranya bergetar. Ia ingin membalas, tapi Daffa memotongnya lebih dulu. "Bahkan hal sederhana seperti menjaga anak di jalan saja kamu tidak mampu," lanjut Daffa tanpa belas kasih. "Apa kamu pikir minta maaf bisa menyelesaikan semuanya kalau sesuatu yang buruk benar-benar terjadi?" Elzin, yang memeluk kaki ibunya, mendongak dengan bingung. "Mama, siapa itu?" bisiknya, tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Eksas menunduk, mengelus rambut putranya untuk menenangkannya. Meskipun begitu, Eksas menutupi wajah Elzin agar tidak bisa dilihat oleh Daffa sama sekali. Ia menahan napas, berusaha keras mengendalikan emosinya. "Terima kasih atas perhatian Anda, Pak," jawab Eksas akhirnya, suaranya tenang meskipun hatinya mendidih. "Saya akan lebih berhati-hati. Anda tidak perlu khawatir." Daffa mengangkat alis, tersenyum kecil dengan nada mengejek. "Ya, pastikan itu. Dunia ini terlalu keras untuk orang-orang ceroboh seperti kamu." Tanpa menunggu jawaban, Daffa memberi isyarat pada sopirnya untuk melanjutkan perjalanan. Mobil itu perlahan melaju, meninggalkan Eksas dan Elzin di pinggir jalan. Eksas berdiri diam, matanya berkaca-kaca. Ia tidak peduli dengan kata-kata Daffa tentang dirinya. Tapi yang menghancurkannya adalah sindiran itu datang dari pria yang pernah menjadi bagian hidupnya—pria yang seharusnya mengerti perjuangan yang ia lalui selama ini. "Mama?" suara kecil Elzin memecah lamunannya. "Apa sakit?" Eksas menggeleng, menunduk untuk memeluk putranya lagi. "Mama baik-baik saja, Nak. Maafkan Mama, ya, tadi Mama tidak hati-hati." Elzin menggeleng kecil, memeluk ibunya dengan manis. "Aku sayang Mama." Air mata Eksas akhirnya jatuh, tapi ia segera menyekanya. Ia tidak boleh lemah di depan Elzin. Bagaimanapun, ia harus menjadi orang tua yang kuat untuk anaknya, meskipun kata-kata Daffa terus menggema di benaknya. "Mama juga sayang Elzin."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN