Bab 9. Berita Bahagia

1101 Kata
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, suasana di mobil terasa penuh ketegangan. Clara duduk di kursi penumpang dengan wajah cemas, matanya sesekali melirik ke arah Maya yang terbaring di pangkuan Bagas. Meski terlihat khawatir, Clara berusaha untuk tetap tenang dan berpikir positif. Namun, jauh di dalam hatinya, ada perasaan jengkel. Ia tidak ingin urusan Maya menjadi masalah besar yang akan merusak ketenangannya. Sementara itu, Bagas terlihat jauh lebih cemas. Matanya sesekali tertuju pada Maya yang masih tidak sadar, tapi di dalam pikirannya, ia tak bisa menahan harapan bahwa kehamilan Maya mungkin benar-benar terjadi. "Jika dia hamil... mungkin ini akan menjawab semua kekhawatirannya," pikirnya, meskipun ia tahu itu berarti ada banyak masalah yang harus dihadapi. Bagas memandang Clara dengan tatapan serius, mencoba meyakinkan dirinya sendiri untuk tetap tenang. "Semoga ini tidak terlalu serius," gumamnya, meskipun hatinya penuh dengan kecemasan. "Kita hanya perlu memastikan kalau semuanya baik-baik saja." Clara yang mendengar ucapan Bagas hanya mengangguk, tetapi tak sepenuhnya mendengarkan. Pikiran Clara berkecamuk, bertanya-tanya apakah benar-benar penting untuk memberikan perhatian lebih pada Maya, atau apakah itu hanya sebuah masalah sementara yang bisa mereka tangani dengan cepat. Yang jelas, Clara merasa jika Maya benar-benar hamil, itu akan memengaruhi kehidupannya lebih jauh, dan itu adalah sesuatu yang tidak ia inginkan. Sesampainya di rumah sakit, Bagas langsung membawa Maya masuk ke ruang gawat darurat, sementara Clara mengikuti dengan langkah cepat, tapi tidak bisa menghindari rasa tidak sabar yang muncul. Semua orang di rumah sakit tampak sibuk, dan suasana yang cemas membuat Clara semakin tidak nyaman. Bagas berusaha untuk tetap tenang meskipun pikirannya dipenuhi dengan rasa khawatir dan harapan yang bertentangan. Dalam diam, ia berdoa agar semuanya baik-baik saja, berharap bahwa masalah ini akan segera berakhir tanpa menambah beban di kehidupan mereka. Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki Dokter yang datang tergesa-gesa terdengar di luar ruang UGD. Wajah Bagas penuh kecemasan saat berhadapan dengan Dokter. Clara, yang tadinya memilih diam di lobby rumah sakit,akhirnya muncul dan berdiri di ambang pintu UGD dengan tangan terlipat, memasang ekspresi dingin meski rasa penasaran menggelayuti pikirannya. Setelah beberapa saat, dokter melepas stetoskopnya dan menatap Bagas dengan tenang. "Istri Anda baik-baik saja, Pak Bagas. Dia hanya kelelahan dan mengalami sedikit tekanan emosional," ujar dokter sambil menulis catatan di buku medisnya. Bagas menghela napas lega. "Syukurlah. Jadi, dia hanya butuh istirahat?" tanyanya. Dokter mengangguk, tetapi ia melanjutkan, "Namun, ada satu hal yang perlu Anda ketahui, Pak. Tadi, saat memeriksa kondisinya, saya menemukan bahwa Bu Maya saat ini sedang hamil muda. Usianya sekitar 6-7 minggu." Bagas membeku mendengar ucapan dokter itu. Untuk beberapa detik, ia tidak mampu berkata apa-apa, tetapi matanya perlahan melebar, menunjukkan keterkejutan sekaligus kebahagiaan. "Hamil...?" gumam Bagas nyaris tidak percaya, seolah kata itu memiliki makna yang begitu besar baginya. Clara, yang mendengar kabar itu dari kejauhan, langsung mengerutkan keningnya. Ia melangkah masuk dengan wajah tegang. "Tunggu sebentar, dokter. Apa Anda yakin?" tanyanya dengan nada yang agak tinggi. Dokter menatap Clara dengan sopan. "Tentu saja, Bu Clara. Gejala-gejala yang saya periksa sangat jelas, dan hasil awalnya menunjukkan bahwa Bu Maya sedang mengandung. Untuk memastikan lebih detail, saya sarankan Anda melakukan pemeriksaan lanjutan di rumah sakit." Clara mencengkeram sisi pintu dengan erat. Hatinya terasa bergejolak. Di satu sisi, kehamilan ini adalah tujuan awalnya meminta Bagas menikahi Maya. Namun, melihat ekspresi bahagia di wajah Bagas membuat perasaan iri dan amarah mulai muncul di hatinya. Setelah dokter pergi, Bagas mendekati Maya yang masih terbaring lemah. Matanya bersinar dengan kebahagiaan yang sulit disembunyikan. Ia menggenggam tangan Maya dengan lembut. "Terima kasih, Maya ... Terima kasih karena kau telah memberikan sesuatu yang selama ini aku dambakan," bisiknya dengan penuh emosi. Clara yang berdiri di belakang mereka hanya bisa mengepalkan tangannya. Dengan suara dingin, ia akhirnya berkata, "Bagus. Setidaknya semua ini nggak sia-sia. Tapi ingat, Maya. Setelah anak itu lahir, semuanya akan kembali seperti semula. Jangan pernah lupa posisimu." Clara segera berbalik dan keluar dari ruang UGD, meninggalkan Bagas yang masih menatap Maya dengan perasaan campur aduk. *** Keesokan harinya, Clara turun dari kamarnya dengan langkah anggun. Penampilannya yang rapi, mengenakan gaun mewah dan sepatu hak tinggi, mencerminkan dirinya sebagai seorang publik figur yang selalu tampil sempurna. Namun, senyum di wajahnya langsung memudar saat matanya menyapu ruang makan. Meja makan itu kosong. Tidak ada makanan yang biasa tersaji dengan rapi di atasnya. Clara mengerutkan kening, amarah mulai membara di dalam dadanya. "Maya!" serunya dengan nada tinggi, suaranya menggema di seluruh rumah. Namun, tidak ada jawaban. Clara mengulang panggilannya lebih keras, "Maya, di mana kau?! Apa yang kau lakukan sampai nggak menyiapkan sarapan?!" Beberapa saat kemudian, Maya muncul dari arah paviliun dengan langkah sedikit tergesa. Wajahnya terlihat lelah, tapi ia tetap mencoba tersenyum meski gugup. "Maaf, Bu Clara. Saya terlambat menyiapkan sarapan. Saya baru saja menyelesaikan pekerjaan di paviliun," jawab Maya dengan suara pelan. Clara tidak menerima alasan itu. Dengan langkah cepat, ia mendekati Maya dan menatapnya tajam. "Kau pikir ini rumah siapa? Aku nggak peduli apa alasanmu. Tugasmu di rumah ini adalah memastikan semua berjalan dengan baik. Sarapan adalah hal paling dasar, Maya!" bentaknya. Maya menunduk, merasa bersalah. "Maaf, Bu Clara. Saya akan segera menyiapkan makanannya," katanya sambil berbalik menuju dapur. Namun, Clara tidak puas. "Nggak ada 'akan'! Aku nggak mau mendengar alasan lagi! Kau ingat posisimu, Maya. Jangan pikir karena kau sekarang sedang hamil anak Mas Bagas, kau bisa seenaknya mengabaikan tugasmu!" ucapnya dengan nada mengejek. Bagas, yang baru saja keluar dari kamar, mendengar suara keras Clara. Ia langsung berjalan ke ruang makan dan mendapati istrinya sedang memarahi Maya. "Clara, apa lagi sekarang?" tanyanya dengan nada tegas, mencoba meredakan ketegangan. Clara menoleh, menatap Bagas dengan mata penuh amarah. "Apa lagi? Lihat sendiri! Nggak ada sarapan di meja ini. Kau pikir aku pantas diperlakukan seperti ini di rumahku sendiri?!" Bagas menyadari ketegangan yang semakin memuncak, baik di antara mereka berdua maupun situasi yang melibatkan Maya. Ia merasa, setelah kejadian yang menegangkan itu, mungkin akan lebih baik jika mereka berdua keluar sebentar untuk melepaskan sedikit ketegangan. Tanpa berkata banyak, Bagas memandang Clara dan berkata dengan lembut, "Clara, bagaimana kalau kita makan di luar? Aku rasa kita butuh sedikit waktu untuk menenangkan diri." Clara yang masih tampak cemas dan sedikit jengkel, menatap Bagas sejenak. Namun, setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. "Baiklah," jawab Clara, meskipun masih ada rasa tidak nyaman yang tersisa di hatinya. Ia merasa tidak ingin berlama-lama berada di rumah sakit, apalagi setelah situasi tadi yang membuatnya semakin bingung tentang apa yang sebenarnya terjadi. Bagas, yang tahu Clara masih terjebak dalam kekhawatiran dan perasaan campur aduk, berusaha sekuat tenaga untuk menciptakan suasana yang lebih santai. Ia tahu bahwa ini bukanlah saat yang tepat untuk membahas masalah besar, dan ia ingin memberikan sedikit pelarian agar Clara bisa sejenak melupakan kejadian tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN