Bab 1. Tawaran Mengejutkan
“Maya, menikahlah dengan suamiku.” Ucapan Clara terdengar penuh keyakinan, dan penekanan.
Kalimat itu menghantam ruangan seperti bom yang meledak. Maya menatap Clara dengan mata membelalak, tangannya gemetar. Nampan kecil yang tadi diletakkan di meja hampir terjatuh. Sementara itu, Bagas langsung memutar tubuhnya ke arah Clara, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang tak bisa ia sembunyikan.
Clara Salsabila adalah seorang publik figure yang terkenal di dunia hiburan dan bisnis, dikenal dengan pesona dan karier cemerlangnya. Ia juga istri dari Bagas Pratama, seorang CEO sukses di sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang teknologi dan inovasi. Sebagai pasangan yang tampak sempurna di mata publik, kehidupan mereka tampaknya penuh kemewahan dan kebahagiaan, namun di balik itu, mereka harus menghadapi tantangan besar yang menguji hubungan mereka, terutama mengenai perbedaan pendapat tentang keluarga dan karir.
“Clara, apa maksudmu?” tanya Bagas dengan nada setengah berbisik, berusaha menahan emosinya.
Bagas sangat mendambakan seorang anak, berharap anak tersebut bisa menjadi penerus perusahaan yang telah dibangunnya dengan susah payah. Baginya, keturunan adalah segalanya, bukan hanya untuk melanjutkan warisan, tetapi juga sebagai simbol keberhasilan dan kelanjutan dari impian yang telah ia capai bersama Clara. Namun, bagi Clara, memiliki anak adalah ancaman besar bagi karirnya. Sebagai seorang publik figur, ia merasa kehadiran seorang anak akan merusak tubuhnya, mengurangi popularitasnya, dan menghambat impian-impian besarnya di dunia hiburan.
Konflik ini semakin memuncak ketika Bagas terus mendesak Clara untuk mempertimbangkan kemungkinan memiliki anak. Clara yang tetap teguh pada pendiriannya, merasa terpojok dan mulai mencari jalan keluar yang mungkin bisa menyelamatkan pernikahannya tanpa mengorbankan karirnya. Setelah berpikir panjang, Clara akhirnya membuat keputusan yang mengejutkan. Ia memutuskan untuk memberi jalan bagi Bagas untuk menikah lagi—dengan Maya, asisten rumah tangga mereka yang telah bekerja hampir tiga tahun bersama mereka.
Clara tetap tenang, bahkan tersenyum kecil. “Aku serius, Mas. Aku sudah memikirkan ini baik-baik. Maya adalah wanita yang tepat. Dia rendah hati, baik, dan pasti bisa menjadi ibu yang luar biasa untuk anakmu.”
Maya bangkit dari tempat duduknya, tubuhnya terasa lemas. “Maaf, Bu Clara. Saya ... saya nggak mengerti. Ini ... ini nggak masuk akal.”
Clara segera menahan gerak Maya dengan suaranya yang lembut namun penuh otoritas. “Dengar, Maya. Aku tahu ini terdengar mengejutkan, tapi ini adalah solusi terbaik. Aku tahu kamu butuh bantuan finansial untuk pengobatan ayahmu. Aku juga tahu Bagas ingin seorang anak, sesuatu yang nggak bisa aku berikan. Kamu bisa membantu kami, dan aku akan ... aku akan memberimu uang 1 Milyar jika kamu bersedia menikah dengan Mas Bagas.”
Bagas menatap Clara dengan amarah yang tertahan. “Clara, kamu nggak bisa mengambil keputusan sepihak seperti ini. Ini hidup kita, bukan permainan.”
Clara mengalihkan pandangannya ke Bagas. “Aku hanya ingin kita tetap bersama, Mas. Kalau aku nggak bisa memberimu anak, setidaknya aku bisa memberikan solusi. Maya orang yang tepat, percayalah.”
Maya berdiri terpaku, merasa seperti berada dalam mimpi buruk. Ia ingin menjawab, tapi kata-kata tak kunjung keluar dari mulutnya. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya, bagaimana mungkin seseorang bisa mengajukan permintaan semacam ini dengan begitu dingin dan terencana?
Akhirnya, dengan suara bergetar, Maya berkata, “Maaf, Bu Clara. Saya nggak bisa menerima tawaran ini.”
Namun, Clara hanya tersenyum. “Pikirkan dulu, Maya. Aku tahu kamu akan berubah pikiran. Apalagi saat ini ayahmu sedang terbaring tidak berdaya di rumah sakit. Semua ini demi kebaikan bersama.”
Maya menatap Clara dalam, matanya terlihat begitu yakin dengan apa yang akan ia katakan. “Maaf, Bu. Saya rasa nggak ada yang perlu dipikirkan lagi, sampai kapan pun saya akan tetap menolak permintaan Bu Clara. Walaupun saya harus mengorbankan kesembuhan ayah saya sendiri.”
Maya segera meninggalkan ruangan dengan langkah gontai, sementara Bagas hanya bisa menggelengkan kepala, merasa pernikahannya telah memasuki fase yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Setelah Maya pergi meninggalkan ruang tamu dengan langkah gontai, suasana di ruangan itu berubah tegang. Bagas, yang sejak tadi menahan emosinya, akhirnya meledak.
“Clara, apa yang sebenarnya kamu pikirkan?!” Bagas berdiri, menatap istrinya dengan tatapan tajam. “Kamu nggak bisa seenaknya membuat keputusan seperti itu, apalagi melibatkan orang lain tanpa persetujuan mereka!”
Clara tetap duduk tenang, meskipun wajahnya mulai menunjukkan sedikit kekesalan. “Aku hanya mencoba mencari solusi, Mas. Kamu tahu aku nggak ingin memiliki anak. Tapi aku tahu itu penting untukmu. Bukankah ini jalan keluar yang terbaik?”
Bagas mendengus, berjalan mondar-mandir di depan Clara. “Jalan keluar terbaik? Dengan meminta Maya, asisten rumah tangga kita, untuk menikah denganku? Kamu sadar betapa nggak masuk akalnya itu? Kamu bahkan nggak memberiku waktu untuk bicara atau mempertimbangkan apa yang kamu rencanakan!”
Clara menghela napas, matanya menatap Bagas tajam. “Aku sudah mempertimbangkan ini dengan matang. Aku ingin kamu bahagia, Mas. Aku tahu kamu butuh keturunan, dan aku nggak mau mengorbankan karir ku. Maya adalah pilihan yang ideal. Dia orang yang sederhana dan nggak akan menuntut lebih.”
Clara merasa bahwa Maya adalah sosok yang tepat untuk melahirkan keturunan bagi Bagas tanpa mengganggu posisinya dalam kehidupan sosial dan profesional. Dengan rencana ini, Clara berharap bisa mempertahankan posisinya sebagai istri sah Bagas, sambil tetap menjaga karirnya tetap berada di jalur yang ia inginkan.
Bagas berdiri di hadapan Clara, napasnya tersengal, tampak kesal dan kecewa. “Clara, aku nggak ingin anak dari wanita lain. Aku ingin anak dari istriku, dari kamu! Aku mencintaimu, bukan Maya atau siapapun juga. Kenapa kamu nggak bisa mengerti itu?”
Clara menatapnya dengan tatapan tajam, seolah mengukur setiap kata yang keluar dari mulut suaminya. “Mas, aku tahu kamu ingin anak. Tapi aku sudah memutuskan, dan keputusan itu nggak akan berubah. Aku nggak mau mengorbankan karir ku hanya demi seorang anak.”
Bagas terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri. “Karirmu? Kamu lebih memikirkan karir mu daripada kebahagiaan kita, Clara. Aku ingin kita membangun keluarga, bukan hanya kehidupan yang penuh dengan prestasi dan popularitas. Aku ingin anak kita, bukan hanya sorotan media dan penggemar yang menghujani kamu.”
Clara mengerutkan dahi, suaranya tetap tegas dan penuh keyakinan. “Mas, kamu nggak ngerti. Kehadiran anak akan merusak segalanya. Tubuhku, penampilanku, semuanya akan berubah. Orang-orang akan mulai melupakan siapa aku, dan mereka hanya akan melihat aku sebagai seorang ibu. Dan itu akan menghancurkan karirku sebagai publik figur. Semua yang sudah aku bangun selama ini, akan hilang begitu saja.”
Bagas merasa ada kekosongan yang dalam. Dia menatap Clara dengan rasa sakit yang jelas di wajahnya.
Clara terdiam sejenak, menatap Bagas dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan. “Kamu nggak perlu bingung, Mas. Karena aku sudah membuat keputusan. Jika kamu ingin anak, kamu harus menemukannya di tempat lain. Aku nggak bisa memberimu itu.”
Setelah perdebatan yang tak terhindarkan, Clara merasa emosinya hampir tak tertahankan. Dengan langkah cepat, ia bangkit dari sofa, tanpa berkata sepatah kata pun, dan berjalan menuju pintu ruang tamu. Bagas yang masih terdiam, merasakan kehadiran Clara yang semakin menjauh, semakin berat di hatinya. Namun, Clara tidak memperdulikan itu. Ia hanya ingin melarikan diri dari kenyataan yang begitu menyesakkan.